30 Juli 2009

Prof. Yohanes Surya


Persiapkan Indonesia Raih Nobel 2020

Fisikawan pendidik dan peneliti ini telah berjasa membuka jalan bagi bangsa Indonesia untuk memasuki fase renaisans. Dia telah merintis jejak bagi murid-murid cemerlang sekolah menengah Indonesia masuk pada komunitas fisika pemula antarbangsa melalui Olimpiade Fisika Internasional dan kompetisi riset fisikawan muda beraras dunia: The First Step to Nobel Prize in Physics. Ia pun bercita-cita mempersiapkan peneliti Indonesia meraih Nobel tahun 2020.

Sehubungan dengan cita-cita itu, dia didaulat memimpin pusat penelitian nanoteknologi dan bioteknologi, dua bidang ilmu di gerai perbatasan, The Mochtar Riady Center for Nanotechnology and Bioengineering, yang Desember 2004 nanti resmi dibuka di Karawaci, Tangerang.

Peran pembuka jalan itu menutup peluang pria kelahiran Jakarta 6 November 1963 ini berkiprah dalam fisika nuklir, yang ia tekuni di Jurusan Fisika College of William and Mary, Virginia, AS hingga mendapat PhD (1994) dengan summa cum laude.

Tahun depan ia bermaksud menjala pelajar berlatar Badui, Kubu, dan Sakai untuk pelatihan fisika di Jakarta yang akan disertakan dalam olimpiade fisika tingkat nasional. Tak keliru kalau ia memantarkan diri dengan Yohanes Pembaptis.

"Bila Yohanes Pembatis mempersiapkan jalan bagi Yesus, maka Yohanes Surya membuka jalan bagi Indonesia meraih Nobel," katanya.

Menyuntik optimisme adalah bagian dari retorikanya saban mengajar di pusat pelatihan Tim Olimpiade Fisika Indonesia, Karawaci. Memimpin TOFI sejak ikut Olimpiade Fisika Internasional (1993), Yohanes Surya berhasil menyemai 55 pelajar SMU berbagai kota Indonesia (setiap tahun Indonesia mengutus lima peserta) bertanding fisika yang diadakan di Amerika, Asia, Australia, dan Eropa dengan hasil mengagumkan.

Sejak pertama ikut, langsung mendapat perunggu, Indonesia tak pernah berhenti membawa pulang penghargaan dari sana. Yohanes baru lega ketika tahun 1999 di Padova, Italia, peserta Indonesia mulai mendulang medali emas dari kompetisi yang menyertakan hampir 100 negara itu.

Sukses itu tak berhenti di sini. Pengalaman mengikuti olimpiade dengan prestasi membanggakan itu memudahkan Yohanes menghubungi perguruan tinggi papan atas AS melamar tempat belajar sekaligus beasiswa bagi alumni TOFI. Tak kurang Universitas Princeton memilih satu orang, Institut Teknologi Massachusetts (MIT) menerima tiga orang, Universitas Stanford mengundang satu orang, dan Institut Teknologi California (Caltech) memanggil satu orang. Belum lagi universitas bagus Amerika lain.

Dua di antaranya sedang dibimbing fisikawan penerima Nobel. Oki Gunawan, anggota TOFI 1993, kini dibimbing Daniel Chee Tsui di Princeton. "Kalau sudah dibimbing pemenang Nobel, riset mereka nanti tak mungkin kelas kacangan," kata dekan Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan ini. "Itu yang membuat saya makin optimistis, Indonesia tak lama lagi meraih Nobel."

Di dalam negeri, fisikawan yang lulus sarjana di UI tahun 1986 itu dengan senang hati memenuhi undangan pemerintah daerah hampir semua provinsi untuk menatar dan melatih guru fisika SLTP dan SMU. Perjalanannya ke daerah membuka jaringan yang memungkinkannya mengindrai murid pandai untuk ia rekrut entah buat TOFI entah buat lomba lain. Tahun ini, Septinus George Saa dari SMU Negeri 3 Waena, Jayapura, Papua, berhasil menjuarai The First Step to Nobel Prize.

Jaringan dengan daerah itu kemudian membuka jalan baru bagi Yohanes mencari anak jenius yang tersebar di seantero negeri. Di Yogyakarta ia menemui Indranu, putra sepasang dosen UGM, yang dalam usia sembilan sudah akrab dengan persamaan relativitas umum Einstein. Sempat mengalami kesulitan sebelum bertemu dengan Yohanes, Indranu kini mahasiswa teknik tahun pertama di UGM tapi, kata Yohanes, "Dia sudah bikin 15 makalah relativitas umum, kuantum gravitasi, dan superstring yang ia pelajari sendiri dan dinilai berkelas doktor oleh guru besar fisika Swedia."

Seakan merupakan kehendak sejarah bahwa ia pembuka jalan di jagat fisika, terbuka lagi kesempatan baginya menjadi fisikawan rombongan pertama yang membawa ekonofisika, cabang ilmu yang mengawinkan fisika dan ekonomi, di Indonesia. Bidang ini akan jadi pilihan kajian bagi mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan, yang didirikan tahun 2003 di mana ia duduk sebagai dekan.

Semangatnya menyelenggarakan pelatihan khusus fisika di Karawaci yang makan waktu satu sampai dua tahun itu bukannya tak mengundang kritik. Guru besar fisika ITB, Tjia May On, saat Olimpiade Fisika Internasional di Nusadua, Bali, mengingatkan sukses Indonesia dalam lomba ini tak dapat dijadikan ukuran keberhasilan pengajaran fisika di sini. Masalahnya, peserta olimpiade Indonesia mendapat perlakuan khusus dengan latihan ketat, sementara Amerika-yang tak sesukses Tiongkok atau Indonesia dalam peristiwa itu-mengandalkan muridnya dari sekolah biasa saja.

Sabtu, 20 Maret lalu Yohanes Surya dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam Fisika UPH. Dialah fisikawan Indonesia yang masuk jajaran ilmuwan "selebritis" di sini. Selain dikenal khalayak lantaran kadang muncul di televisi, juga karena tulisan populernya yang tak terhitung di koran-koran. Penjelasan singkatnya tentang peristiwa fisika dalam format kartun disiarkan beberapa koran dan telah diterbitkan sebagai buku.

Sehari-hari bekerja dengan fisika, Yohanes Surya memperistri Christina yang tidak mendalami bidang ini. Dia sarjana bahasa Inggris. Bertemu pertama kali di gereja 15 tahun silam, pasangan ini dikaruniai tiga putri: Chrisanthy Rebecca Surya (14), Marie Felicia Surya (5), dan Marcia Ann Surya (6 bulan).


Berikut percakapan dengan guru yang luwes bergaul ini.

TENTANG apa pidato pengukuhan Anda?

Ada contoh dari bidang keuangan. Sistem saham yang ruwet didasari oleh suatu konsep yang dikembangkan tahun 1990an. Namanya pengaturan diri sendiri. Konsep ini kemudian jadi bahasan utama saya dalam orasi kemarin, yang ternyata banyak saya jumpai dalam pengalaman sebagai fisikawan pendidik.

Apa itu pengaturan diri sendiri?

Gagasannya dari tumpukan pasir. Misalkan kita menumpuk pasir. Begitu mencapai ketinggian dan kemiringan tertentu, pasir yang kemudian kita tambahkan dari atas tumpukan itu akan berusaha mengatur diri sendiri sehingga kemiringannya selalu sama dengan kemiringan tadi.

Rupanya ada semacam pengaturan di alam: setelah mencapai keadaan kritis, suatu sistem akan mengatur diri sendiri. Yang menarik, proses pengaturan itu mengikuti hukum pangkat. Kalau divisualkan, hukum pangkat itu begini: beberapa elemen punya nilai tinggi, tapi bagian terbanyak dari elemen di dalam sistem itu mendadak bernilai kecil. Di alam hukum pangkat ini menguasai banyak bidang.

Mahasiswa saya bikin tesis mengenai demografi dan menemukan penyebaran penduduk Indonesia itu mengikuti hukum pangkat. Artinya apa?

Ada pengaturan diri sendiri dalam penyebaran penduduk. Orang akan mengorganisasi diri menuju tempat yang memberi keuntungan. Tempat seperti itu penuh dan hanya beberapa jumlahnya di tiap provinsi. Sebagian besar tempat lain yang sulit mendulang keuntungan langsung sepi.

Berlaku di seluruh daerah?

Ya. Tesis ini menjelaskan mengapa transmigrasi gagal. Begitu kita memindahkan sejumlah orang ke suatu tempat, mereka akan mengorganisasi diri. Bila tempat itu tidak menguntungkan, mereka akan kembali. Jadi, program transmigrasi tak terlalu bagus di sini.

Kecuali kalau dibuat daerah itu menarik dan mendatangkan uang?

Ya, itu mungkin bisa. Hasil pemilu kemarin mengikuti hukum pangkat juga. Kami sudah bikin analisis bagaimana korelasi antara partai dan jumlah pemilih. Yang paling tinggi: Golkar dan PDI-P. Perolehan partai lain langsung drop dan mengikuti hukum pangkat. Mengapa? Karena orang akan mengatur diri sendiri memilih mana yang menurut pikirannya sesuai dengan kemauannya.

Kalau diberi kebebasan, dia akan mengikuti hukum pangkat. Kalau ada rekayasa?

Ha-ha-ha. Itu enggak bisa. Makanya saya bilang, pemilu ini demokratis karena mengikuti hukum pangkat. Orang mengatur dirinya sendiri. Partai mana yang menang? Yang paling banyak kampanye dan paling memengaruhi orang.

Mengapa memilih topik ini?

Karena sekarang saya bekerja dalam ekonofisika. Saya mau analisis sosial itu lebih ke arah sistem kompleks.

Bagaimana menjelaskan pelatihan khusus yang Anda adakan untuk mengikuti olimpiade fisika dikaitkan dengan konsep mengatur diri sendiri? Amerika mencomot peserta dari sekolah saja.

Saya sebenarnya hanya memengaruhi siswa supaya dapat mengorganisasi diri dalam arti, mengatur diri sendiri untuk belajar dengan baik. Di Amerika kesadaran belajar sendiri sudah begitu besar. Walau enggak disuruh, orang belajar sendiri.

Di pelatihan itu saya sebetulnya cuma memfasilitasi. Anak belajar sendiri. Kami kasih buku supaya mereka mengatur diri sendiri dan mencapai hasil maksimal. He-he-he. Menurut saya, pelatihan itu enggak salah. Sekolah itu sama saja dengan pelatihan sebab di sekolah orang dilatih juga.

Kapan mengikuti pola Amerika?

Ke depan arah kita akan ke situ. Sekarang saya menulis buku latihan. Enam dari 16 buku yang saya rencanakan sudah jadi. Sepuluh sedang saya rapikan. Isinya soal dan penyelesaian bahan yang diujikan di olimpiade, serta soal mekanika dan elektromagnetik.

Kami akan sebarkan buku yang rencananya selesai tahun 2005 itu ke seluruh Indonesia. Semua orang bisa dapat, bisa belajar sendiri. Pada saat itu kompetisinya benaran. Target saya tahun 2006, Indonesia juara dunia. Nanti kita lihat hukum pangkat akan berlaku sebab setelah juara dunia, saya mau murid mengatur dirinya sendiri.

Jadi, enggak ada lagi pelatihan?

Tetap ada. Cuma beberapa bulan.

Orangtua anak jenius yang anaknya pernah Anda latih tak setuju Anda terlalu memaksa anak bekerja keras. Sudah pintar kenapa usaha harus luar biasa?

Sebab bakat enggak cukup. Harus kerja keras. Saya tidur tiga sampai empat jam sehari. Saya kerja keras: menulis, bikin video untuk memudahkan pengajaran fisika, mempersiapkan kuliah, dan merancang soal untuk pelatihan. Tidur pukul satu. Pukul empat pagi sudah bangun.

Saya melihat ternyata untuk meraih Nobel, enggak perlu pintar. Memang banyak yang pintar seperti Feynman, Gell-Man, atau Schwinger. Itu kan jenius. Top-toplah.

Tapi, ada juga yang tak terlalu pintar seperti Masatoshi Koshiba yang dapat Nobel tahun 2002. Dia itu semula tak diterima di universitas karena nilainya jelek. Profesor yang menguji kasih rekomendasi untuk dibawa Koshiba kepada profesor lain. Bunyinya "Saya tak kasih rekomendasi, tapi kalau Anda mau terima, silakan". Ternyata dia dapat Nobel. Karena kerja keras. Cerita seperti ini tak hanya dari satu pemenang Nobel.

Yang menarik juga adalah peran orangtua. Kebanyakan orangtua peraih Nobel itu memberi perhatian kepada anaknya supaya bisa berkembang. Orangtua Feynman mengarahkannya jadi fisikawan sejak SD. Terus Hooft. Orangtuanya memberi dia sejak kecil permainan yang mengasah logika.

Daniel Chee Tsui; orangtuanya buta huruf dan tinggal di desa. Mereka berkorban jual rumah supaya bisa menyekolahkan anak ke luar negeri.

Tapi, Feynman banyak main?

Ya, main waktu senggang. Selagi mahasiswa dan saat meneliti dia bekerja mati-matian. Belajar sampai pagi. Berpikir tanpa berhenti. Gell-Mann begitu juga. Menghitung dan menghitung terus, berpikir dan berpikir terus, sampai menemukan sesuatu.

Saya sering cerita bagaimana orang berpikir terus sampai menemukan sesuatu. Kalau seorang berpikir terus, menurut fisikawan Helmholtz, dia akan mengalami tiga fase. Pertama, fase inkubasi. Kedua, fase saturasi. Ketiga, fase pencerahan. Jadi, setelah jenuh sekali, dia tercerahkan. Pada masa pencerahan itu bisa keluar ide luar biasa yang bisa terucapkan tanpa sadar.

Gell-Mann menyebut sembarang saja tanpa sadar mengenai isospin pecahan pada sebuah ceramah di Princeton, padahal itulah yang selama ini dia cari. Berkat temuan itu dia dapat Nobel.

Saya sadar kalau enggak kerja keras, enggak ada apa-apanya. Kalau saya mau berarti, harus lebih dari pemenang Nobel itu, dong. Memang bakat bisa mendorong.


ANDA selalu menyebut tahun 2020, Indonesia meraih Nobel. Kenapa begitu antusias?

Karena dengan Nobel, Indonesia bisa lebih maju. Coba lihat Pakistan. Negara itu miskin. Sekarang orang bilang sains di Pakistan itu bagus karena ada Abdus Salam yang dapat Nobel. Jadi, Nobel semacam simbol yang akan menarik orang.

Orang Pakistan sekarang tertarik pada fisika karena Salam?

Betul, ada hubungannya. Karena dengan itu, Salam dapat menarik fisikawan Pakistan yang dia bimbing untuk bekerja dengan koleganya pemenang Nobel atau fisikawan di berbagai tempat sekelas Nobel.

Maksud Anda membentuk jaringan?

Persis. Seperti kita sekarang. Dengan bertahun-tahun dapat medali di olimpiade, kita punya tiga mahasiswa S1 di MIT, selain di Stanford, Caltech, dan Princeton. Hebat-hebat. Nilai mereka tinggi. Saya tanya, "Kok bisa?" Mereka bilang pelajaran tingkat 1 dan 2 terlalu gampang, jadi ada yang langsung ambil kuliah semester 9.

Evelyn, angkatan 2002 TOFI, di Stanford sekarang dibimbing Douglas Osheroff yang dapat Nobel 1996. Dia dipilih karena nilainya terlalu tinggi. Jadi, murid yang saya lihat bakal dapat Nobel kini diasuh peraih Nobel. Karena sudah jadi murid peraih Nobel, dia akan kecipratan cara berpikirnya. Nah, inilah yang kita harapkan dapat Nobel di masa mendatang.

Asuhan Anda pada maju, sementara Anda jadi pelatih. Tampaknya mengorbankan diri?

Saya mediator, fasilitator, dan merasa diciptakan untuk itu. Kalau Yohanes Pembaptis menyiapkan jalan bagi Yesus; Yohanes Surya membuka jalan untuk Nobel. Ha-ha-ha. Saya sudah bahagia dengan posisi ini. Mungkin ini peran saya. Saya pikir ini panggilan pribadi

Pernah merasa kesepian karena mengurus ini sendiri?

Sebenarnya saya menikmati. Saya tidak sendirian banget. Banyak orang mendukung. Setiap tahun banyak hal aneh terjadi. Selalu ada yang bantu menyediakan dana, sejak saya pimpin TOFI tahun 1993 sampai sekarang. Mulai orangtua murid, Radius Prawiro, Mochtar Riady, sampai Departemen Pendidikan Nasional yang kini menyerap olimpiade sebagai program nasional. Sambil itu, saya membuka bidang yang frontier.

Bidang apa itu?

Nanoteknologi, suatu teknologi di mana kita memanipulasi atom atau molekul untuk menghasilkan produk baru tapi terdepan. Mochtar Riady mengajak saya membangun pusat riset nanoteknologi dan bioteknologi di Karawaci.

Yang termasuk nanoteknologi di pusat ini adalah terapi genetika dan manipulasi atom. Ke depan, dengan manipulasi atom ini, orang memperkirakan dapat mengubah batubara jadi emas sebab dengan mengubah kedudukan atom-atom pada molekul batubara, ia bisa jadi emas.

Di bidang bioteknologi, nanoteknologi itu mengubah gen-gen. Kita bisa dapat tanaman yang jauh lebih bagus. Pengobatan kanker sekarang melalui nanorobot. Di Amerika sudah diusahakan bagaimana robot membawa obat kanker ke sasaran yang tepat

Kedua bidang ini, nanoteknologi dan rekayasa genetika, sangat frontier. Mochtar Riady bilang mau mendirikan pusat nanoteknologi. "You mau pimpin enggak," katanya. Kita mau Indonesia bisa bermain di atas juga. Saya bilang oke.

Siapa yang akan bergabung?

Saya kumpulin tokoh terkenal di bidang ini dari AS, Jerman, Jepang, dan pemenang Nobel, Calude Cohen Tannoudji. Saya kontak dengan beberapa teman. Felix Mesak, orang Indonesia peneliti di Pusat Terapi Kanker Ottawa, yang menemukan obat kanker. Dia sangat terkenal, penilai untuk jurnal nanoteknologi yang amat prestisius. Kemudian Sinta Limantara dari Satya Wacana yang ahli dalam pemanfaatan klorofil dan dapat Hadiah Humboldt dari Jerman. Juga Kebamoto dari UI.


Bagaimana dengan laboratorium?

Akan dibangun di Karawaci. Laboratorium yang sangat canggih. Mahal, tapi (Pak) Mochtar sudah siap sebab dia ingin di masa tuanya ingin menyumbangkan sesuatu buat ilmu pengetahuan. Ini akan jadi tempat buat orang Indonesia menemukan hal-hal hebat, satu jalan untuk dapat Nobel entah fisika, kimia, biologi karena ketiga bidang ini jadi dasarnya.


Anak Anda ketularan fisika?

Chrisanthy kelihatannya ketarik sama fisika. Dia siswi SMP, tapi banyak baca buku fisika universitas.

Anda paksa dia?

Bukan. Mungkin karena banyak ketemu dengan anak-anak olimpiade. Itu mungkin yang saya sebut tadi self organizing, mengatur diri sendiri. He-he-he. Jadi, dia kepengaruh. Mungkin pikirannya orang lain bisa, kok saya enggak bisa. Dia mau belajar, mau tunjukin ke saya.

Anda membimbing dia?

Secara khusus enggak. Kalau ada pertanyaan, saya layani. Kelihatan dia mau belajar. Yang kedua masih 5 tahun. Mungkin karena self organizing juga, lihat kakaknya, dia mau belajar juga. Ha-ha-ha. Saya mulai dengan matematika SD, pelajaran kelas tiga. ►Kompas, Minggu, 16 Mei 2004, Pewawancara: Salomo Simanungkalit

Tidak ada komentar: