16 April 2009

Tungku Supriyanto Berkonsep Energi Petani

Sumber: Kompas Kamis, 16 April 2009 | 03:14 WIB Oleh FX Puniman


Beberapa bulan setelah menjadi Direktur Hutan Pendidikan Gunung Walat, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, di daerah Cibadak Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tahun 2003, Supriyanto melihat warga setempat sering menebangi pohon untuk kayu bakar. Hasil survei menyebutkan, dalam sehari sekitar 10 meter kubik kayu bakar keluar dari hutan pendidikan Gunung Walat.

Dalam benak Supriyanto muncul pertanyaan, mengapa penduduk tidak memilih menggunakan ranting pohon untuk kayu bakar? Mengapa mereka memilih menebang pohon? Dari para penebang pohon itu pula dia memperoleh jawabannya. Rupanya, warga sekitar Gunung Walat lebih suka menebang pohon karena energi api yang dihasilkan ranting tidak cukup besar.

Di sisi lain, alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini merasa khawatir penebangan pohon akan berdampak terhadap krisis energi, terutama bahan bakar fosil yang terus menipis.

Supriyanto lalu terpikir memanfaatkan energi yang berasal dari biomassa, seperti rumput, limbah kayu, semak belukar, ranting kayu, dan potongan bambu, yang sesungguhnya amat mudah diperoleh di pekarangan.

Berdasarkan temuan dan kekhawatiran itulah, Supriyanto kemudian mulai memfokuskan diri untuk membuat teknologi pedesaan yang sederhana dengan bahan bakar yang mudah diperoleh dari limbah lingkungan setempat.

”Konsep yang saya pergunakan adalah farmer energy atau energi petani. Teknologinya harus sederhana, mudah, murah, tidak berisiko, tetapi efisiensinya tinggi,” katanya.

Ia lalu menjadikan tungku sebagai pilihan untuk diteliti. Beberapa artikel tentang tungku di berbagai negara, termasuk dari Indonesia, dia pelajari.

Bertemu ahli arang

Di tengah upaya mempelajari tungku tersebut, Supriyanto yang juga peneliti di Seameo Biotrop (Pusat Studi Regional Penelitian Biologi Tropis) bertemu dengan Robert Flanagan, ahli bio-charcoal (arang) dari Finlandia yang menjadi tamu Biotrop.

Flanagan dikenal sebagai salah seorang peneliti yang mengembangkan tungku pyrolysis di China. Ia bekerja sama dengan Pusat Penelitian Bambu Cina (Inbar).

Bersama Flanagan, Supriyanto sering terlibat dalam berbagai diskusi tentang

penelitian tungku untuk model kebutuhan energi yang sedang dikerjakan. Penelitian mulai dilakukan sejak sekitar tahun 2005. Dia mencoba mulai dari membuat tungku tradisional berbahan dasar tanah liat, semen, besi, dan kaleng bekas drum oli.

”Barulah pada percobaan yang kesembilan bisa berhasil. Sebuah tungku yang ideal untuk warga setempat terwujud. Tungku ini

saya beri nama tungku ’Jimat’, kependekan dari enerji hemat agar mudah diingat dan diucapkan,” kata Supriyanto.

”Tungku Jimat relatif sederhana dan berbahan limbah. Bahan bakarnya juga merupakan limbah dan dibuat dengan konsep energi petani,” katanya seraya menyebutkan, pembuatan tungku dilakukan di bengkel perajin musik tradisional di daerah Sukabumi.

Hemat energi

Mantan Pembantu Dekan III Fakultas Kehutanan IPB ini mengemukakan, teknologi tungku dengan konsep energi petani yang dikembangkan itu relatif efisien. Secara teknis di sini juga menggambarkan proses pyrolysis, yakni konsep teknik pembakaran yang meminimalkan penggunaan oksigen. Ruang yang minim oksigen itu lalu dimampatkan untuk meningkatkan suhu sehingga timbul asap. Asap itu kemudian diubah menjadi gas melalui satu ruangan bersuhu antara 300 derajat dan 600 derajat celsius.

Pada saat terjadi proses pyrolysis, ada tiga sumber panas, yakni kayu atau bahan organik lain untuk menghasilkan api dan asap. Asap kemudian diubah menjadi gas. Melalui ruangan bersuhu tinggi, gas terbakar menjadi energi. Sisa dari proses itu menghasilkan arang. Arang inilah yang lalu menjadi bahan bakar ketiga.

Di dalam konsep itu, secara teknis harus ada alat lain, yakni generator yang terbuat dari tabung besi. Fungsinya untuk menyimpan dan menimbulkan panas yang berasal dari bahan bakar yang terbakar, juga bisa menjaga ruangan agar tetap bersuhu 300-600 derajat celsius. Pencapaian suhu ini penting untuk mendapatkan pembakaran yang sempurna. Sementara itu, akselerator berfungsi mempercepat penyemprotan udara panas.

Tungku Jimat, menurut Supriyanto, sangat tepat untuk masyarakat pedesaan, daerah transmigrasi, warga pinggiran kota, dan pedagang makanan kaki lima.

”Tungku Jimat ini hemat energi, bahan bakarnya juga gratis karena berasal dari limbah yang diperoleh dari pekarangan rumah, tak merusak lingkungan, dan berbasis pertanian,” tambahnya.

Di samping itu, bahan baku tungku juga berasal dari limbah yang relatif murah, seperti drum oli, dan tak berisiko meledak. Energi yang dihasilkan pun cukup besar.

”Oleh karena tak menggunakan bahan bakar minyak, penggunaan tungku Jimat bisa menghemat pengeluaran uang belanja keluarga,” katanya.

Kini, tungku Jimat dalam proses pengujian untuk memenuhi kriteria Standar Industri Indonesia (SII) guna memperoleh hak kekayaan intelektual.

Sangat efisien

”Uji kinerja dan teknis untuk memperoleh efisiensi termal yang memenuhi SII sedang dilakukan,” tutur Supriyanto yang juga berkonsultasi dengan Profesor Teiss, ahli energi petani dari Belanda.

Tentang efisiensi tungku ciptaannya itu, menurut Supriyanto, bisa dibuktikan karena dari 1 kilogram bahan bakar berupa ranting, limbah kayu, dan bambu, dapat digunakan untuk memasak selama sekitar dua jam. Limbahnya hanya berupa 10 gram abu.

”Jadi, dari 1.000 gram bahan bakar yang digunakan itu, tinggal 10 gram yang menjadi abu. Sebanyak 990 gram telah dikonversi menjadi energi atau bisa dikatakan tingkat efisiensinya sebesar 99 persen,” ujar Supriyanto tentang penelitiannya selama sekitar tiga tahun itu.

FX Puniman, Wartawan Tinggal di Bogor Selengkapnya...

Vaksinasi Cegah Hepatitis

sumber: Kompas

Pengendalian Harus Berbasis Riset
Kamis, 16 April 2009 | 03:34 WIB

Jakarta, Kompas - Tingginya angka kasus hepatitis menjadi beban kesehatan masyarakat, terutama bila sudah kronis dan mengakibatkan kanker hati. Padahal, penularan virus itu bisa dikendalikan dengan vaksinasi dan deteksi secara dini disertai pengembangan riset penyakit itu.

Peneliti senior hepatitis Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, David Handojo Muljono, Rabu (15/4) di Jakarta, menyatakan, sebagai daerah endemi penanganan hepatitis di Indonesia harus terkoordinasi dengan baik. Hal ini terkait pendataan, penelitian klinik, dan pengobatan.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Unggul Budihusodo menyatakan, pencegahan hepatitis bisa dilakukan dengan menghindari cara hidup berisiko tertular hepatitis. Caranya antara lain tidak menggunakan narkoba suntik, tidak berhubungan intim tanpa pengaman dengan pasangan terinfeksi hepatitis, tidak menindik dan menato tubuh dengan alat tidak steril.

Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Departemen Kesehatan Ali Sulaiman menambahkan, penularan virus hepatitis bisa dicegah dengan pemberian vaksin hepatitis. Saat ini sudah ada vaksin hepatitis A dan B, tetapi hepatitis C belum ada vaksinnya. Vaksinasi hepatitis B amat diperlukan mengingat jenis hepatitis ini kronis dan berbahaya bagi keselamatan jiwa penderita.

”Upaya preventif itu sangat murah tetapi bisa mencegah kejadian fatal yang sangat memberatkan pasien, keluarga, dan pemerintah,” kata Ali. Bila menderita hepatitis B, apalagi terjadi sirosis dan kanker hati, biaya pengobatan amat besar.

”Vaksin hepatitis B aman diberikan kepada bayi,” ujarnya. Bila sudah diberi vaksin sesuai dengan jadwal imunisasi yang direkomendasikan Ikatan Dokter Anak Indonesia, tubuh bayi akan membentuk kekebalan tubuh terhadap virus hepatitis B.

Imunisasi hepatitis B bisa mencegah penularan virus itu sejak usia dini. ”Makin dini usia seseorang terkena hepatitis B, kemungkinan penderita mengalami sirosis dan kanker hati saat dewasa kian besar,” kata Ali.

Di banyak negara, vaksin itu terbukti efektif dalam menurunkan angka kasus hepatitis B. Di Taiwan, misalnya, vaksinasi itu telah dilakukan sejak tahun 1984. Hasil evaluasi 10 tahun kemudian menunjukkan, angka kasus penyakit itu menurun drastis dan mencegah kanker hati.

Hasil studi di Indonesia juga menunjukkan, prevalensi hepatitis B di lokasi penelitian menurun drastis dari 7,6 persen menjadi hanya 1,6 persen. ”Ini juga berarti kita sudah memutuskan mata rantai terjadinya infeksi hepatitis B,” ujarnya.

”Yang memprihatinkan bila penularan terjadi pada bayi baru lahir dari ibunya. Penularan itu sulit dicegah dengan vaksinasi,” kata Ali menambahkan.

Pemberian vaksin hepatitis B juga diperlukan bagi penderita hepatitis A dan C untuk mencegah infeksi ganda karena infeksi ganda hepatitis lebih buruk gejalanya dan mempercepat terjadi sirosis hati daripada menderita satu jenis hepatitis.

Sejauh ini vaksin hepatitis B telah masuk dalam program nasional imunisasi dasar rutin. Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Tjandra Yoga Aditama, hepatitis kini dimasukkan dalam program infeksi saluran pencernaan lain tetapi masih terbatas program nasionalnya.

Berbasis riset



David menyatakan, sebagai daerah endemik hepatitis, penanganan penyakit itu harus berbasis riset. Apalagi di Indonesia ada lebih dari 500 etnik dengan sifat imunologi atau respons kekebalan tubuh berbeda-beda.

Karena virus hepatitis B bisa bermutasi, penelitian berkala tentang karakteristik virus harus dilakukan. ”Riset itu juga untuk mengetahui pola resistensi virus terhadap obat-obatan,” ujarnya.

”Pendataan hepatitis juga harus dikoordinasi dengan baik agar tidak tumpang tindih dan lebih efisien,” kata David. Selain itu, jejaring peneliti hepatitis perlu diperkuat untuk saling tukar informasi dan mewujudkan kemandirian riset hepatitis. (EVY)

Selengkapnya...

15 April 2009

Rubai, Eksportir Gula Merah

Sumber: Kompas Rabu, 15 April 2009 | 03:02 WIB Oleh Runik Sri Astuti

Jika Anda berkunjung ke Jepang dan mencicipi berbagai makanan olahan berbahan gula merah, seperti sirup, kecap, atau kue-kue basah, jangan mengira itu asli Jepang. Sebab, bahan gula merahnya itu ada yang berasal dari Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Sudah 14 tahun Achmad Rubai (70) menjadi duta gula merah tradisional Indonesia ke Jepang. Dia menjadi produsen sekaligus eksportir tunggal untuk produk gula merah.

Selama belasan tahun menekuni bisnisnya, Rubai tidak pernah absen melakukan pengiriman karena produknya telah mendapat tempat tersendiri di hati bangsa Jepang, mengalahkan produk sejenis buatan China, Vietnam, Thailand, India, dan Bolivia.

Sedikitnya 300 ton atau sekitar 15 peti kemas ukuran 20 kaki gula merah memasok pasar di Jepang setiap tahun. Dengan harga gula merah saat ini yang mencapai Rp 5.000 per kilogram, omzet Rubai mencapai lebih dari Rp 15 miliar per tahun.

Permintaan gula merah produksi Rubai terus meningkat walaupun kondisi pasar global tengah lesu. Itu karena produknya telah dikenal berkualitas bagus. Kadar gulanya mencapai 87 persen dengan kadar air hanya 5 persen.

Kelebihan inilah yang sulit ditandingi para kompetitor dari negara lain. Kualitas produk yang dihasilkan pesaing jauh di bawah produk Indonesia, tetapi mereka memiliki kelebihan yang tidak bisa dipandang remeh, yakni penawaran harga yang jauh lebih murah.

Gula merah buatan China dan Vietnam, misalnya, selisih harganya bisa mencapai sekitar 30 persen. Itu karena biaya produksi di kedua negara tersebut jauh lebih murah dibandingkan di Indonesia.

”Inilah yang menjadi masalah bagi eksportir di Indonesia pada umumnya. Kami sering kalah kalau bersaing soal harga karena biaya produksi terlalu tinggi, apalagi saat harga bahan bakar minyak naik seperti tahun 2008,” ujarnya.

Regenerasi

Selama bertahun-tahun malang melintang di dunia bisnis ekspor gula merah, Rubai nyaris tidak memiliki pesaing di negeri sendiri, baik dari Jatim maupun dari kota-kota lain di Indonesia.

Padahal, di tempat ia tinggal di Desa Slumbung, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, saja ada lebih dari 400 pengusaha gula merah tradisional ataupun modern.

Sayangnya, mereka masih berkutat di pasar lokal dan pasar nasional, belum sampai menembus pasar ekspor. Padahal, pangsa pasar gula merah di dalam negeri porsinya sangat terbatas.

Rubai sebenarnya sering berbagi pengetahuan dan ilmu kepada pengusaha gula merah di sekitarnya, terutama generasi muda, tentang cara memproduksi gula yang berkualitas agar mampu bersaing di pasar mancanegara.

Namun, hingga sekarang belum ada satu pun ”muridnya” yang berhasil. Bukan berarti Rubai merupakan ”guru” yang tidak baik karena gagal mendidik muridnya. ”Kebanyakan mereka menyerah di tengah jalan sebelum pelajaran selesai. Bahkan, untuk mengajari anak-anak saya sendiri saja susah sekali,” ujarnya.

Prestasi yang diraih Rubai memang bukan hasil kerja instan. Sukses yang dicapainya adalah buah kerja keras, ketekunan, keuletan, dan kesabaran selama bertahun-tahun. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kegagalan bertubi-tubi pernah ia alami. Namun, kakek 10 cucu ini tidak patah arang. Sebaliknya, kegagalan ia jadikan sebagai guru yang paling baik dalam hidupnya.

Rubai sendiri tak pernah mengenyam pendidikan formal hingga ke jenjang pendidikan menengah, apalagi perguruan tinggi. Ia hanya lulusan sekolah rakyat.

Pengetahuan dan keterampilan membuat gula merah pun diperoleh secara otodidak. Sejak kecil ia suka membantu ayahnya membuat gula merah. Dia baru membangun usaha pembuatan gula merah sendiri pada 1976.

Proses produksi

Gula merah buatan Rubai diproses secara sederhana. Tanaman tebu yang telah matang atau berumur sekitar 14 bulan dikepras dari akarnya dan dibersihkan dari daun-daun kering. Proses ini dilakukan di ladang.

Tebu kemudian dibawa ke pabrik pengolahan di belakang rumah Rubai, lalu digiling menggunakan mesin untuk mengeluarkan air gulanya.

Untuk menghasilkan kadar gula yang maksimal, yakni 87 persen, ia mendesain sendiri mesin penggilingan tebu. Namun, Rubai enggan menjelaskan detail desain mesin tersebut. Pembuatan mesin ini termasuk salah satu materi yang ia pelajari saat berada di Jepang.

Sebelum memiliki mesin penggilingan tebu dan pada saat Rubai masih memproduksi gula merah untuk pasar lokal, ia menggunakan alat pemeras tradisional yang digerakkan oleh tenaga sapi untuk mendapatkan sari tebu. Cara ini masih dipakai para pembuat gula merah lokal di Kabupaten Kediri sampai sekarang.

Air tebu dengan kadar gula yang tinggi itu selanjutnya dimasak di tungku sampai air gula mengental dan berwarna coklat kemerah-merahan. Selama proses pemasakan di tungku, gula harus terus-menerus diaduk secara manual menggunakan tenaga manusia agar matang merata dan tidak gosong. Untuk memasak gula, Rubai menggunakan bahan bakar daun tebu yang telah kering.

Setelah masak, gula merah dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk persegi empat dengan ukuran sekitar 20 cm x 30 cm dan dibiarkan dingin. Setelah dingin gula merah dibungkus untuk dipasarkan.

Tidak ada bahan campuran lain yang ditambahkan Rubai ke dalam gula merah produksinya. ”Kami tidak memakai pewarna ataupun bahan pengawet karena itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Justru dengan menjaga kemurnian kualitas gula, gula merah produksi kami bisa tahan selama setahun,” ujarnya.

Karena tidak memakai pewarna itu pula gula merah yang diproduksi Rubai tidak berwarna merah seperti gula merah yang dijual di pasar tradisional di dalam negeri. Gula buatan Rubai justru berwarna coklat kemerah-merahan (semu merah).

Pendidik

Membuat gula merah sebenarnya bukanlah cita-cita tunggal Rubai. Sebelum terjun sebagai perajin, ia lebih dulu menekuni profesi sebagai pengajar di madrasah diniyah dan madrasah ibtidaiyah yang dikelola oleh Yayasan Mujahidin.

Suatu hari pada awal tahun 1994, seorang pengusaha Jepang yang sering membeli kayu dari Surabaya bertamu ke rumahnya. Pengusaha itu mendapat informasi tentang Rubai karena namanya telah dikenal sebagai pembuat gula merah terbaik di Jatim.

”Sebelum memesan gula merah untuk dibawa ke negerinya, orang Jepang itu tinggal di rumah kami selama 25 hari untuk melihat langsung proses mulai dari pemilihan tebu sampai pengolahan menjadi gula merah,” katanya.

Setelah itu, giliran Rubai yang pergi ke Jepang untuk menimba ilmu bagaimana cara membuat gula merah yang berkualitas dan bersih. Ia berada di Jepang selama satu minggu.

Sepulang dari Jepang Rubai langsung mempraktikkan ilmunya. Namun, hasilnya masih kurang memuaskan. Setelah bertahun-tahun melakukan perbaikan, barulah produknya dinyatakan benar-benar layak ekspor.

Dalam usianya yang tidak muda lagi, Rubai berharap industri gula merah tradisional yang merupakan industri kerajinan rakyat turun-temurun berkembang lebih baik dan tidak punah karena perubahan peradaban.



Selengkapnya...

14 April 2009

Dahlan Iskan : Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (3-Habis)

[ Selasa, 14 April 2009 ]
Dahlan Iskan : Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (3-Habis)
Bimbang Tentukan Siapa Yang Tanda Tangan Teratas

Saat membuat kesepakatan rahasia, 18 petani di desa amat miskin itu siap menerima risiko, termasuk dihukum mati. Apa kaitan ide maju mereka dengan posisi pemimpin pusat, Deng Xiaoping? Berikut catatan terakhir Chairman/CEO Jawa Pos Dahlan Iskan.

---


KINI Desa Xiao Gang sudah berubah. Kampungnya masih tetap kecil dan jalannya tetap satu jlirit, satu jalur. Tapi, sudah serbamodern. Letaknya yang dulu begitu di pedalaman kini sudah terjangkau dengan mudah. Tinggal sekitar 10 km dari mulut jalan tol yang menghubungkan seluruh negara. Jalan desa itu sendiri sudah disemen dengan taman di kiri-kanannya.

Sekitar 80 rumah di kiri-kanan jalan itu juga sudah baru. Rata-rata terbuat dari beton dua tingkat, mirip bangunan ruko. Rumah Yan Hongchang sendiri tiga tingkat. Kalau toh masih ada satu rumah yang asli (yang lantainya tanah, temboknya tanah, dan atapnya daun), rumah itu memang dipertahankan keasliannya untuk monumen. Tentu dibilang asli benar juga tidak. Halamannya sudah dibuat indah, dengan tanaman pohon yang rindang. Di pintu masuknya juga sudah dibuatkan gerbang untuk pemeriksaan karcis: Rp 20.000 per orang.

Tentu saya harus masuk ke rumah itu. Benar-benar masih asli. Di rumah inilah peristiwa bersejarah 30 tahun yang lalu itu dilakukan. Tidak ada perabotan apa pun kecuali tempat tidur dari kayu yang reot. Saya membayangkan alangkah dinginnya di musim salju. Ruangan rumah ini sekitar 4 x 6 meter. Di tembok kanan ada lubang sebesar orang berdiri. Saya melongokkan kepala ke dalam lubang itu. Gelap sekali. Tapi, ternyata inilah ruangan yang penting. Di ruang sempit dan gelap itulah di malam akhir Desember 1978 itu 18 petani berkumpul berpepet-pepetan. Saya membayangkan mereka pasti masuk ke ruangan ini sambil membungkukkan badan karena lubang itu agak rendah. Bahwa di dalam ruang itu mereka agak berimpitan, rasanya justru lebih hangat. Di ruangan ini ada satu balai-balai kayu, meja kayu rendah, dan tiga dingklik (lonjoran kayu panjang yang bisa dipakai untuk duduk empat orang berimpitan) dan tiga potongan kayu yang difungsikan juga untuk tempat duduk.

Di situlah 18 petani merundingkan dan menuliskan kesepakatan rahasia untuk mengatasi ancaman kematian akibat kelaparan yang bertahun-tahun. Orang-orang itu mengenakan jaket dingin yang terbuat dari dua lapis kain yang di dalamnya diisi serat-serat kayu. Tentu juga sudah penuh tambalan di sana-sini. Mereka bersepakat membuat perjanjian rahasia yang panjangnya (dalam versi asli, Red) satu kalimat terdiri atas 79 kata: membagi tanah komunal per keluarga dan masing-masing bertanggung jawab menyetorkan hasil panen ke negara dan kalau sukses sisa setoran untuk keuntungan masing-masing dengan risiko kalau gagal siap dihukum mati dengan kesepakatan yang tidak dihukum harus ikut membesarkan anak orang yang dihukum sampai berumur 18 tahun.

Ketika sampai kepada siapa yang harus berkorban bila perjanjian itu diketahui penguasa, mereka mulai bimbang. Mula-mula disepakati dua tokoh desa itu yang mengambil risiko. Yakni, dengan menaruh tanda tangan keduanya di posisi paling atas. Keduanyalah yang siap menerima hukuman kalau kesepakatan mereka itu dianggap salah oleh penguasa. Yang satu adalah Yan Hongchang dan satunya lagi orang yang paling tua di sana. Tapi, ketika tiba waktunya masing-masing harus membubuhkan tanda tangan atau cap jempol, orang tua itu bimbang. Dia hanya mau tanda tangan di bagian lebih bawah bersama 17 petani lainnya.

Begitulah ceritanya mengapa dalam dokumen itu hanya nama Yan Hongchang yang tertera di baris paling atas. Nama-nama yang lain berjajar di bawahnya. Dua puluh tahun kemudian, ketika perjuangan mereka dianggap sebagai pelopor kemakmuran petani Tiongkok, terjadilah hal yang manusiawi: salah satu di antara mereka memasang baliho di pintu masuk kampung yang berisi fotonya yang besar sebagai orang yang telah berjasa. ''Kalau ingat apa yang terjadi malam itu, rasanya saya mau mengambil palu dan ingin menghancurkan baliho itu,'' ujar Yan Hongchang.

Tapi, Yan tidak melakukannya. Dia cukup bijaksana. Toh semua orang tahu peranan dirinya malam itu. Dia juga orang yang ramah dan tidak banyak omong. Saat saya mengunjungi rumahnya, dia menyilakan saya masuk ke rumahnya dengan sikap rendah hati yang luar biasa. Yan juga tidak kelihatan meledak-ledak ingin menceritakan peristiwa bersejarah itu.

Rumahnya yang seperti ruko tiga lantai itu cukup besar. Halaman belakangnya juga cukup luas untuk parkir mobil minivan, traktor tangan, dan menumpuk hasil-hasil pertanian. Dari tiga anaknya dia sudah punya tiga cucu.

Yan juga menjadi jujukan kalau ada tamu. Padahal, kini terlalu banyak tamu yang datang. Semua pimpinan puncak Tiongkok sudah ke desa ini. Tahun lalu Presiden Hu Jintao juga ke Xiao Gang. Sebelum itu Presiden Jiang Zheming, perdana menterinya Zhu Rongji juga ke sini.

Demikian juga perdana menteri yang sekarang, Wen Jiabao. Karena itu, tidak ayal kalau desa ini mendapat bantuan pembangunan infrastruktur. Di jalan masuk desa ini sudah dibangun plaza luas dengan monumen berbentuk buku raksasa yang di salah satu halamannya berisi salinan dokumen rahasia tersebut. Halaman di sebelahnya berisi daftar nama 18 petani yang bersejarah itu.

Bahkan, di ujung jalan desa itu dibangun museum yang desain dan ukurannya sangat megah. Isinya menceritakan kejadian di malam hari 30 tahun yang lalu itu beserta dampaknya terhadap kemakmuran petani sampai sekarang. Kantor desanya juga sangat modern. Internet juga sudah tiba di sini. Karena kian banyak tamu, kini mulai dibangun penginapan di desa itu. Rumah-rumah makan sederhana juga bermunculan.

Sebenarnya ada faktor lain yang ikut membuat Yan Hongchang dan kawan-kawan selamat dari ancaman subversi. Ketika di lapisan petani terbawah muncul keberanian seperti yang terjadi di Desa Xiao Gang ini, sebenarnya waktu itu, di pusat kekuasaan juga mulai muncul keinginan yang sama. Waktu itu Deng Xiaoping juga mulai tampil sebagai pimpinan negara dan lagi berusaha keras untuk mengubah arah negara. Hanya, Deng juga harus hati-hati. Dia tidak mau mengubah haluan negara secara drastis. Golongan konservatif di pusat kekuasaan Tiongkok masih sangat kuat menentang Deng. Pengikut Mao Zedong masih sangat dominan.

Tapi, Deng Xiaoping terus memperluas pengaruh. Termasuk ke daerah-daerah. Sudah banyak pejabat daerah yang sebenarnya pro-Deng Xiaoping. Maklum, pejabat daerahlah yang paling merasakan penderitaan rakyat. Apalagi, pejabat daerah miskin yang rakyatnya terancam mati kelaparan seperti di Anhui.

Perjuangan rakyat Desa Xiao Gang diuntungkan dengan situasi terakhir itu. Meski juga bisa merugikan. Tarik-menarik antara kubu konservatif dan liberal di Tiongkok bisa membuat banyak orang dalam posisi terjepit. Orang mulai bingung memihak ke mana. Salah-salah bisa kena gilas kalau ternyata memilih berpihak ke kubu yang kalah.

Hanya dalam waktu satu tahun petani Xiao Gang bisa meningkatkan produksi pertanian secara menakjubkan. Perjanjian da bao gan ternyata berhasil. Mereka tidak hanya bisa menyerahkan hasil pertanian sesuai target negara, bahkan masih menyisakan hasil pertanian yang cukup untuk kehidupan mereka sendiri. Desa ini mulai tidak terancam kelaparan. Namun, akibat buruknya, rahasia da bao gan juga terbongkar. Orang seperti Yan Hongchang berada di ujung tanduk.

Ketika terdengar selentingan bahwa Yan Hongchang akan ditangkap karena menentang kebijaksanaan negara, dia mulai berpikir apa yang harus diperbuat. Sebagai pengurus partai komunis di Desa Xiao Gang, Yan Hongchang segera mencari tahu kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dia berkonsultasi ke jenjang partai yang lebih atas.

Dari situlah Yan Hongchang mendengar ada seorang pengurus partai di tingkat kabupaten yang cara berpikirnya maju. Namanya Chen. Yan ingin menghadap ke Chen untuk menjelaskan apa itu da bao gan. Setelah melalui tahap pemeriksaan satu malam, Yan berhasil menghadap ke Chen. Karena satu malam Yan tidak pulang, sudah ada yang mengira bahwa Yan sudah ditangkap.

Singkat cerita, Chen merestui langkah para petani di Xiao Gang dengan da bao gan-nya itu. Dengan syarat: jangan sampai merembet ke desa-desa lain. Tapi, Chen rupanya juga sudah punya jalur ke jenjang partai tingkat provinsi. Di sana ada tokoh bernama Wan Li yang pikirannya juga maju. Wan Li inilah yang kelak berjuang di tingkat pusat agar inisiatif petani di Xiao Gang yang terbukti berhasil meningkatkan produksi itu bisa disahkan sebagai kebijaksanaan nasional. Usaha ini berhasil, antara lain karena kubu Deng Xiaoping juga sudah berhasil memperkuat posisi di pusat kekuasaan.

Memang, perjuangan Wan Li tidak mulus. Harian terbesar milik partai komunis Ren Min Ri Bao mulai mempersoalkan bahwa da bao gan sangat membahayakan negara. Tapi, seirama dengan semakin menangnya kubu Deng Xiaoping, akhirnya diputuskanlah kebijaksanaan nasional ini: sistem pertanian komunal diakhiri. Petani boleh mengelola tanah secara sendiri-sendiri. Negara lalu membagi-bagi tanah komunal itu ke masing-masing petani dengan sistem sewa untuk jangka waktu 30 tahun. Sewa itu bisa terus diperpanjang lagi setiap 30 tahun. Wan Li sendiri di kemudian hari posisinya sangat kuat, bahkan sampai menjadi ketua DPR pusat. Kini Wan Li sudah pensiun, tapi tetap dihormati sebagai tokoh utama di Tiongkok.

Sejak itulah pertanian di Tiongkok sangat maju. Petani juga kian makmur. Namun, karena hasil pertanian melimpah, akibatnya harga hasil bumi terus menurun. Penghasilan petani tidak seimbang lagi dengan harga-harga kebutuhan lain. Lama-lama petani tidak kuat lagi membayar sewa tanah dan pajak-pajak lain. Kebutuhan petani juga kian banyak: menyekolahkan anak, membangun rumah, membeli TV, kulkas, rice cooker, dan seterusnya.
Perjuangan petani Xiao Gang memang berhasil. Tapi, sampai tahap tertentu nasib petani ternyata kembali miskin. Terutama bila dibandingkan dengan perkembangan kemakmuran di kota. Di mana-mana mulai timbul persoalan sosial. Pemerintah pun tanggap. Dua tahun lalu pemerintah memutuskan petani tidak perlu lagi membayar apa pun: baik sewa tanah maupun pajak pertanian. Bahkan, sekarang petani mendapat BLT Rp 50.000 per bulan per jiwa yang dikirim langsung ke ATM mereka. Ditambah diskon harga 50 persen untuk setiap pembelian barang apa pun yang menggunakan listrik. Tujuannya agar di masa krisis ini pabrik-pabrik di sana tetap hidup dan tidak mem-PHK karyawan mereka. (*)
Selengkapnya...

13 April 2009

Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (2)

Sumber: Jawapos  Senin, 13 April 2009  

Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (2)

Mati Bersekongkol Lebih Baik daripada Mati Lapar


Kemiskinan yang berkarat mendorong 18 petani di Desa Xiao Gang berani melawan sistem pertanian komunis. Perlawanannya sangat cerdik lewat istilah yang dirumuskan dengan cermat. Berikut catatan lanjutan Chairman/CEO Jawa Pos Dahlan Iskan dari hasil kunjungannya ke sana.

---


SEKARANG semua petani di Tiongkok tidak perlu membayar pajak apa pun. Termasuk pajak bumi dan bangunan yang kalau di Indonesia disebut PBB. Bahkan, petani di sana kini menerima BLT (bantuan langsung tunai) yang dikirim langsung ke ATM mereka. Petani punya ATM? Begitulah di Tiongkok. Dalam 10 tahun terakhir penggunaan teknologi, mulai handphone, internet, TV kabel sampai GPS mendadak sangat meluas. Sudah sampai ke tingkat petani. Termasuk sistem listrik prabayar.

Semua itu tidak bisa dilepaskan dari jasa 18 petani miskin dari Desa Xiao Gang, Provinsi Anhui, ini.

Xiao Gang sebenarnya hanya sebuah desa yang amat kecil. Kalau desa-desa di Tiongkok terkenal miskin, Xiao Gang termasuk yang paling miskin. Waktu itu penduduknya hanya 20 KK. Hanya ada satu jalan di kampung itu. Rumah-rumah petaninya teronggok di kiri kanan jalan itu.

Jauhnya perjalanan saya ke Desa Xiao Gang membuat saya membayangkan bagaimana keadaan desa ini 30 tahun lalu. Yakni, saat 18 petani di sana membubuhkan cap jempol rahasia yang sangat berbahaya. Dua kepala keluarga yang lain tidak ikut cap jempol karena sudah lama berkelana menjadi pengemis.

Saya jadi tahu betapa terpencil dan terisolasinya desa ini. Jalan menuju ke sana pun berupa jalan tanah. Rumah-rumah mereka semuanya beratap daun dengan tembok tanah yang dicampur kulit padi. Lantai rumah mereka juga tanah (lihat foto yang dimuat kemarin).

Penduduk desa itu, sebagaimana umumnya petani di Tiongkok waktu itu, sudah dalam keadaan sekarat kurang makan. Mereka sudah sampai pada tingkat hanya bisa makan daun apa pun yang direbus. Bumbunya hanya satu: garam. Nasinya adalah batang pohon yang dilembutkan. Kalau musim dingin, ketika daun pun tidak ada, mereka pergi ke daerah lain untuk menjadi pengemis. Sudah sangat terkenal bahwa Provinsi Anhui adalah sumber pengemis. Sekarang pun masih ada satu-dua pengemis di kota-kota di Tiongkok, dan umumnya juga dari Anhui ini.

Anhui memang terkenal miskin. Sering kekeringan di daerah pegunungannya dan kebanjiran di dataran rendahnya. Pelosok Desa Xiao Gang adalah salah satu yang termiskin dari yang miskin itu. Kalaupun yang 18 orang itu kemudian berani membuat persekongkolan rahasia yang membahayakan nyawa mereka, itu adalah jalan yang sudah amat terpaksa. Daripada mati kelaparan. ''Sekarang tentu sulit membayangkan bagaimana rasanya kelaparan. Ketika itu seperti tidak ada gambaran untuk hidup. Sama-sama akhirnya harus mati, mencari cara lain untuk mati masih lebih baik,'' ujar Yan Hongchang, tokoh di desa itu.

Karena itu, Yan, yang juga sudah menyuruh anaknya mengemis di daerah lain, setiap malam mendatangi tetangganya. Kegiatan itu harus dilakukan malam hari untuk menghindari intaian mata-mata penguasa. Sebagai orang yang pendidikannya terbaik di desa itu (dia tamatan SMP), Yan sudah bisa menganalisis mengapa semua orang terancam mati kelaparan. (Data di kemudian hari menunjukkan di Kecamatan Fengyang saja yang terancam mati kelaparan mencapai 90.000 orang. Xiao Gang adalah salah satu desa di Kecamatan Fengyang).

Menurut analisis Yan, kelaparan masal itu bersumber dari kebijaksanaan pemerintah pusat mengenai sistem pertanian komunis (pertanian komunal). Yakni, sejak menjelang 1960-an ketika semua tanah harus dimiliki negara. Sejak itu petani harus menyerahkan semua tanahnya ke negara. Batas-batas tanah pun dihilangkan. Mereka memang tetap bekerja di sawah, namun sistem kerjanya komunal. Sebidang tanah dikerjakan bersama yang hasilnya harus sepenuhnya diserahkan kepada negara. Negaralah yang kemudian memberikan jatah makanan kepada rakyatnya. Jatah makanan ini tidak cukup. Petani, seperti di Xiao Gang itu, sudah menderita luar biasa hampir 20 tahun.

Meski begitu, harapan untuk membaik tidak pernah datang. Kian tahun hasil pertanian masih kian merosot. Orang-orang kaya mulai menjual perabot yang bisa mereka jual. Lama-lama perabot pun habis dan mereka jatuh miskin. Yang miskin hanya bisa menjual anak mereka. Tapi, setiap anak hanya bisa dijual sekali. Padahal, makan harus dilakukan setiap hari.

Sistem komunal ternyata membuat petani tidak produktif. Tidak ada semangat untuk menghasilkan panen yang setinggi-tingginya. Yan Hongchang sudah sampai pada kesimpulan itu. Tapi, semua orang di Tiongkok dalam keadaan takut dan tidak berdaya. Sistem pemerintahan ketika itu membuat siapa pun yang menentang kebijaksanaan pemerintah akan dianggap ''setan desa'' yang harus dibasmi. Memupuk kekayaan adalah kapitalisme yang dianggap sebagai pengisap darah petani.

Tiap malam Yan menyampaikan analisisnya itu kepada para tetangga. Dia tahu risikonya yang berat. Apalagi kalau sampai ada satu orang saja di desa itu yang menjadi kaki tangan pihak penguasa. Pasti Yan sudah dilaporkan sebagai orang yang melakukan subversi. Untungnya, mayoritas penduduk di situ masih memiliki hubungan keluarga. Lebih separo bermarga Yan.

Tapi, tidak ada pilihan bagi Yan. Ancaman mati kelaparan terlihat di mana-mana. Semua orang dalam keadaan kurus, lunglai, dan kekurangan gizi. Demikian juga seluruh penduduk Desa Xiao Gang. Kenyataan itulah yang membuat Yan meneguhkan diri untuk mengambil risiko.

Namun, Yan sungguh orang yang bijaksana. Dia mencari istilah yang kelihatannya tidak menentang kebijaksanaan negara, tapi sebenarnya menentang juga. Yan ingin tanah di situ dibagi-bagi menjadi 20 petak dan masing-masing KK bertanggung jawab atas petak ''milik''-nya. Masing-masing juga harus bertanggung jawab menyerahkan hasil panen sesuai dengan target negara, lalu dikumpulkan seolah-olah sebagai hasil komunal. Yan menginginkan hasil panen jauh di atas target itu sehingga masing-masing masih bisa memperoleh kelebihan dari target negara untuk diambil sendiri.

Karena ketentuan yang ada mengharuskan petani menyerahkan semua hasil ke negara, sangat sulit menemukan cara untuk menghindarinya. Karena itu, semua petani di situ harus sepakat menjaga rahasia bahwa hasil panen mereka sebenarnya melebihi target. Ada satu orang saja yang berkhianat, tamatlah riwayat gerakan itu.

Semula saya heran mengapa perjanjian rahasia itu bisa tidak bocor. Bukankah sistem mata-mata waktu itu sangat kuat mengawasi segala gerak-gerik penduduk? Termasuk penduduk di desa sekali pun? Bagaimana mereka bisa menjaga rahasia itu? Setelah saya ke Xiao Gang, barulah saya tahu. Pertama, mayoritas mereka masih ada hubungan keluarga. Kedua, desa ini benar-benar terpencil. Sebuah kampung kecil dengan hanya 20 rumah reot yang berada di tengah-tengah lautan sawah.

Akhirnya Yan berhasil menemukan satu istilah yang unik. Gerakannya itu akan dia beri nama da bao gan (.........). Istilah da bao gan saya nilai unik karena bisa memiliki multitafsir. Lalu Yan berusaha meyakinkan para tetangganya bahwa dengan istilah da bao gan kemungkinan besar bisa selamat. Maka, pada puncak musim dingin akhir Desember 1978, mereka menyepakati sebuah perjanjian rahasia itu.

Sebenarnya sulit menjelaskan istilah da bao gan dalam bahasa Indonesia. Tidak bisa diterjemahkan dengan gotong royong, juga tidak bisa diartikan borongan.

Intinya adalah: mereka akan menggarap bersama-sama sawah itu untuk memenuhi kewajiban bersama. "Menggarap bersama-sama" adalah istilah yang aman di mata penguasa. Orang bisa menilai menggarap bersama-sama adalah sama dengan komunal. Tapi, petani sendiri bisa saja menafsirkan dengan "menggarap bersama-sama di kavlingnya sendiri-sendiri". Demikian juga istilah "memenuhi kebutuhan bersama". Istilah ini sangat aman di mata penguasa. Artinya, kebutuhan target penguasa pasti terpenuhi. Padahal, petani juga boleh menafsirkan "kebutuhan bersama itu termasuk kebutuhan petani sendiri yang juga harus dipenuhi".

Istilah bao gan, semua orang yang bisa berbahasa Mandarin pasti tahu: artinya borongan. Tapi, da bao gan terasa aneh. Arti letter lijk-nya adalah: borongan besar. Tapi, tidak pernah ada istilah seperti itu sebelumnya. Yan Hongchang dari Xiao Ganglah yang menciptakannya. Kelak, setelah ide penduduk Xiao Gang itu diterima oleh negara dan menjadi kebijaksanaan nasional, istilah da bao gan menjadi amat populer. Di mana-mana orang bicara hebatnya da bao gan. Bahkan, ada lagu da bao gan segala.

Orang Tiongkok memang pandai menciptakan istilah yang bisa membuat persoalan rumit menjadi mudah. Ketika Hongkong harus masuk ke Tiongkok, mestinya juga sulit. Yang satu (Tiongkok) komunis dan yang satunya (Hongkong) demokrasi penuh. Bagaimana dua wilayah yang bertolak belakang ideologinya itu bisa jadi satu negara. Di negara lain persoalan ideologi demikian bisa menjadi ketegangan yang gawat. Tapi, Tiongkok memecahkan persoalan rumit itu dengan menciptakan istilah baru: satu negara dua sistem. Beres.

Demikian juga ketika tahun lalu para pimpinan Tiongkok harus bertemu para pimpinan Taiwan. Apa dong nama pertemuan itu. Pertemuan pimpinan dua negara? Pasti Tiongkok marah. Sebab, Taiwan masih tetap dianggap salah satu provinsinya. Ini harga mati. Tapi, kalau disebut pertemuan pusat-daerah, Taiwan pasti marah. Taiwan merasa sudah menjadi negara sendiri.

Ternyata pertemuan itu bisa berlangsung dengan sangat sukses, tanpa menyebut Taiwan itu negara atau provinsi. Pertemuan itu diberi nama dengan sangat unik: liang bian (.......). Dua pantai. Artinya, pertemuan itu adalah pertemuan para pimpinan dari dua pantai. Maklum, dua wilayah ini sama-sama punya pantai yang saling berhadapan. Dengan menyebut istilah dua pantai, terhindarlah penyebutan Taiwan itu negara atau provinsi.

Begitu seringnya saya menyaksikan fleksibilitas seperti itu, saya tertawa ketika belum lama ini membaca perdebatan di koran Surabaya: sepeda motor akan boleh melintasi jembatan Madura atau tidak?

Ada yang beralasan bahwa sebaiknya sepeda motor dilarang melewati jembatan yang hampir jadi itu karena status jembatan Madura adalah tol. Orang itu sama sekali tidak mengemukakan alasan yang ilmiah. Alasan yang dikemukakan hanyalah: UU mengatakan sepeda motor dilarang lewat jalan tol. Kalau memang mau, UU-nya harus diubah dulu. Atau jembatannya yang jangan dijadikan jembatan tol.

Saya tertegun: betapa rumitnya negeri ini. Untuk membuat sepeda motor boleh lewat jembatan saja tidak bisa menemukan jalannya! Maka, kalau saja nanti pemda tidak bisa menemukan istilah yang bisa membuat sepeda motor boleh lewat jembatan Madura, saya akan memberikan anjuran ini: agar semua sepeda motor ditambahi dua roda (roda pura-pura juga boleh) agar kendaraan itu bisa disebut roda empat sesuai dengan undang-undang jalan tol. (bersambung)

Selengkapnya...

Dahlan Iskan : Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (1)

Sumber: Jawapos, Minggu, 12 April 2009
Dahlan Iskan : Ke Xiao Gang, Desa Pelopor Kemakmuran Petani Tiongkok (1)

Bisnis GPS Ambil Alih Tugas Joki Pemandu Tol

Setelah 30 tahun berlalu, Xiao Gang, desa tempat lahir reformasi pedesaan yang mengubah sejarah Tiongkok, termasuk belasan petani penggagasnya, masih menjadi inspirator pesatnya kemajuan petani dan modernisasi pertanian di Tiongkok. Inilah catatan Chairman/CEO Jawa Pos DAHLAN ISKAN yang baru kembali dari sana.

Inilah perjalanan menuju Xiao Gang, sebuah desa terpencil yang telah diakui sebagai pelopor kemakmuran petani di seluruh Tiongkok sekarang ini. Di desa inilah pernah terjadi 18 orang penduduknya, di tengah malam yang sunyi, di sebuah kamar yang tersembunyi, membubuhkan cap jempol untuk melawan sistem nasional yang berlaku saat itu dengan taruhan nyawa mereka. Berkat keberanian petani itulah, sistem kepemilikan sawah di seluruh Tiongkok akhirnya dirombak total.

Meski nama mereka kini menjadi buah bibir di seluruh negeri, mereka masih tetap tinggal di desa itu. Kecuali empat orang yang sudah meninggal dunia. Saya begitu ingin menemui mereka untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi malam itu.

Maka, meski harus saya tempuh dengan perjalanan darat selama enam jam (dari Hangzhou), saya senang bisa sampai di sana. Kunjungan ini merupakan keinginan lama yang selalu tertunda. Mula-mula karena tidak mudah menuju ke sana. Apalagi ketika belum ada jalan tol. Jarak itu sama dengan dari Surabaya ke Bandung. Setelah ada jalan tol, ganti saya yang sakit. Maka, ketika Senin lalu saya harus rapat di Hangzhou dan Shanghai, di antara hari kejepit itu saya manfaatkan untuk ke Xiao Gang.

Sebenarnya bisa saja dari Hangzhou saya naik pesawat dulu ke Nanjing (ibu kota Provinsi Jiangshu) atau ke Hefei (ibu kota Provinsi Anhui). Baru dari sini jalan darat ke desa itu selama dua jam. Namun, kalau ditotal-total, sama saja. Menuju airport dan menunggu pesawatnya juga memakan waktu. Toh, saya sudah mulai terbiasa jalan darat jarak jauh di Tiongkok. Sejak jaringan jalan tol telah meluas di sana, ke mana-mana rasanya sangat mudah.

Apalagi, di sepanjang perjalanan saya tetap bisa membicarakan banyak hal dengan teman-teman di sana. Mulai soal rencana pembangunan tahap II PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) di Kaltim hingga soal bagaimana mempercepat penyelesaian PLTU di Lampung. Yang terakhir itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan saya. Namun, saya diminta ikut memperlancar urusan ruwet mereka dengan pihak di Tiongkok.

Di sepanjang jalan tol, membaca berbagai dokumen (yang tercetak maupun di laptop) juga tidak ada masalah. Jalan yang relatif lurus dan rata membuat tubuh tidak bergoyang-goyang. Sambil membaca pun tidak membuat kepala pusing. Demikian juga, meski kami belum pernah menempuh jalur tersebut, tidak perlu khawatir kesasar. Kini sudah ada GPS (global positioning system) di sana, sebagaimana yang sudah agak lama digunakan di AS atau Eropa.

Bahkan, daya serap GPS di Tiongkok langsung melebihi apa yang terjadi di negara maju. Begitu masuk pasar tiga tahun lalu, populasi pengguna GPS langsung meluas. Membeli GPS di Tiongkok bukan hanya karena fungsinya, melainkan sudah seperti mode. Sudah seperti membeli handphone.

Memang, mobil-mobil baru sudah banyak yang sekalian dilengkapi layar GPS. Namun, mereka yang telanjur punya mobil pun bisa membeli GPS sendiri. Tinggal memasang tumpuan di dashboard, lalu meletakkan layar GPS di situ. Toh, barangnya tidak besar. Hanya layar tipis sebesar setengah buku tulis. Layar itulah yang menerima peta dari satelit mengenai jalur perjalanan kita hari itu.

Agar sopir tidak perlu selalu melihat GPS, salah seorang di antara kami menjadi co-pilot: mencopot GPS itu dan memegangnya secara gantian. Sebenarnya juga tidak perlu dipegang. Ditaruh begitu saja juga tidak apa-apa. Toh, di samping menampilkan jalur-jalur jalan, alat ini juga bersuara: selalu memberi tahu kita apa saja yang segera kita lewati. Misalnya, 500 meter lagi akan ada jembatan (lengkap menyebut nama jembatan itu), 1 kilometer lagi akan ada jalan bercabang dan Anda harus belok ke kanan. Sesekali suara itu seperti menegur kita: Anda telah melebihi kecepatan yang diperbolehkan. Suara itu bisa dikeraskan (kalau mau) sampai seluruh penumpang bisa mendengar jelas. Tentu dalam bahasa Mandarin.

Sebelum berangkat, sopir kami memang sudah men-set-up alat itu: mau pergi ke mana. Di situ ada tombol-tombol pilihan: provinsi apa, kota apa, jalan apa, dan mau ke bangunan nomor berapa. Setelah itu, secara otomatis, jalan-jalan yang akan dilewati berwarna merah. Kita tinggal menuruti saja jalur merah itu. Maka, biarpun di depan ada persimpangan yang banyak, atau interchange yang ruwet, tidak perlu takut salah arah. Alat ini juga memberi tahu masih berapa kilometer jarak tempuh kita dan masih perlu berapa menit atau jam lagi. Perkiraan waktu tersebut tentu disesuaikan dengan kecepatan saat itu.

Tidak disangka bahwa pengembangan jalan tol di Tiongkok telah menimbulkan bisnis yang semula tidak masuk perencanaan: mode menggunakan GPS.

Saya masih ingat ketika Tiongkok baru mulai memiliki jalan tol (Indonesia sebenarnya lebih dulu punya jalan tol di Jagorawi). Saya melihat waktu itu tiba-tiba saja ada wabah baru: bepergian ke kota lain dengan mobil sendiri. Tentu ada problem baru: banyak sekali mobil yang kesasar. Maklum belum mengenal jalur-jalur di kota lain itu. Banyaknya kasus salah jalan itu ternyata bukan saja membuat penjualan buku peta meledak, tapi juga mampu menciptakan lapangan kerja baru: profesi penunjuk jalan. Saya selalu melihat di setiap mulut jalan tol berjajar orang-orang yang menawarkan jasa sebagai penunjuk jalan. Mereka memegang tulisan berbahasa Mandarin ''pemandu jalan''. Seperti joki di Jakarta, tapi dengan tugas yang benar-benar fungsional.

Banyaknya penjual jasa di mulut-mulut jalan tol itu rupanya dilihat sebagai peluang baru oleh pihak lain. Terutama oleh perusahaan komunikasi dan penerbit peta. Dua pihak itu berkolaborasi menciptakan GPS. Harganya Rp 700.000 hingga Rp 5.000.000, bergantung mutunya.

Merasakan begitu jauhnya perjalanan ini, saya bayangkan betapa terpencilnya Desa Xiao Gang sebelum jaringan jalan tol dibuat. Juga betapa sulitnya mencapai desa itu. Pasti jalannya sempit, padat, dan berbelok-belok. Banyak sekali gunung, sungai, dan danau. Dengan jalan tol, semua itu diterabas. Gunung ditembus, sungai besar seperti Yang Tze (Chang Jiang), danau sebesar Dai Hu dilompati. Tentu kami juga lapar. Karena itu, sekali waktu kami keluar jalan tol masuk ke kota Nanjing untuk makan siang. Ketika kami berbelok ke arah kota, tiba-tiba ada suara melengking: Anda salah jalan. Rupanya itu suara GPS. Kami memang lupa men-set-up kalau di tengah jalan harus mampir untuk makan.

Saya benar-benar membayangkan betapa terpencilnya desa itu. Saya juga membayangkan bagaimana para petani di desa yang begitu terpelosok berani berinisiatif untuk melakukan perubahan yang kemudian diakui sangat menentukan arah negara. Mereka bukan saja berani, tapi juga sangat bijaksana: tidak demo, tidak mengamuk, tidak ngambek, tapi juga tidak menyerah. Mereka melakukan sesuatu yang amat mendasar: da bao gan! (bersambung) 



Selengkapnya...