03 Agustus 2009

Kembar Siam Dempet Kepala Pertama di Indonesia

Sumber: Jawapos, Senin 3 Agustus 2009

Ana-Ani, Kembar Siam Dempet Kepala Pertama di Indonesia
Hidup Normal, Berprestasi di Kampus

Dua puluh dua tahun lalu, untuk yang pertama di Indonesia, dua bayi kembar dempet kepala bisa dipisahkan. Kini, mereka sudah beranjak dewasa dan tergolong berprestasi di kampusnya. Inilah kisah mereka yang penuh liku.

---


JUMAT lalu (31/7) adalah hari ulang tahun Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani, dua saudara kembar yang ketika lahir dalam kondisi dempet kepala (craniopagus). Anak pasangan Tularji-Hartini itu lahir di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, pada 1987.

Kondisi Ana dan Ani (panggilan akrab untuk Yuliana dan Yuliani) saat itu tentu menyedihkan kedua orang tuanya. Setelah bertanya ke sana kemari, mereka dirujuk ke Jakarta. Akhirnya, pada 21 Oktober 1987, dilakukan operasi pemisahan oleh tim dokter di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Saat itu, operasi dipimpin Prof dr RM Padmosantjojo yang melibatkan 96 dokter, memakan waktu 13 jam, dan menelan biaya sedikitnya Rp 42 juta. Kasus Ana-Ani tersebut dicatat sejarah kedokteran di Indonesia sebagai kembar siam pertama yang sukses menjalani operasi pemisahan.

Kini Ana dan Ani sudah beranjak dewasa. Bulan depan, mereka memasuki semester lima masa perkuliahannya di Universitas Andalas, Padang. Dasar kembar, dalam banyak hal -mulai pilihan pakaian, aksesori, sampai gaya rambut yang dibiarkan tergerai panjang- selera mereka sama.

Sejak kecil, keduanya punya cita-cita yang sangat kuat untuk menjadi dokter. Itu dipengaruhi oleh sosok Padmosantjojo, ketua tim dokter yang sukses memisahkan mereka. Namun, hanya Ani yang berkesempatan masuk ke fakultas kedokteran. Ana berkuliah di fakultas perternakan jurusan nutrisi dan makanan. Meski beda fakultas, mereka satu kampus.

''Kami sudah sepakat, pokoknya harus satu universitas. Apa pun jurusannya. Pokoknya, yang penting salah satu dari kami ada yang di kedokteran,'' kata Ani ketika ditemui Jawa Pos di rumah Prof Kamardi Talut, orang tua wali Ana-Ani yang tinggal di Jalan Jati IV, Padang, akhir pekan lalu. Selama di Padang, Ana-Ani memang tinggal di rumah dokter spesialis bedah urologi Universitas Andalas itu.

***

Setelah lulus dari SMU Katolik Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, pada 2006 Ana-Ani mengikuti tes masuk PTN (perguruan tinggi negeri). Karena bercita-cita jadi dokter, keduanya memilih Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Itu pilihan pertama. Pilihan kedua adalah Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Sayang, hasil tes mengumumkan, mereka tidak lulus.

Ana-Ani kemudian pulang kampung dan kuliah di LP3I Tanjung Pinang. Meski lulus tes di jurusan IT dan komputer, tak lama kemudian keduanya pindah ke jurusan akuntansi. ''Kami pindah ke akuntansi. Sebab, di jurusan IT dan komputer, yang perempuan di kelas cuma kami,'' tutur Ani.

Setahun berjalan tak menyurutkan mimpi keduanya untuk menjadi dokter. Pada 2007, Ana-Ani kembali menjajal keberuntungan. Mereka kembali ikut tes masuk PTN. Pilihannya tetap kompak, fakultas kedokteran. Tapi, kali ini atas saran Padmosantjojo, pilihannya di Universitas Andalas. Asumsinya, persaingan masuk di Andalas tak seketat di UI.

Hubungan Padmosantjojo dengan Ana-Ani memang terjalin sejak mereka menjalani operasi pemisahan. Meski tak ada hubungan famili, Padmosantjojo sudah menganggap Ana-Ani seperti anak kandungnya. Begitu juga di mata dua saudara kembar itu, sosok Padmosantjojo sudah dianggap sebagai bapak kandung mereka. Karena itu, untuk cita-cita pun, mereka ingin menjadi seperti Padmosantjojo, yakni menjadi dokter ahli saraf.

Padmosantjojo juga sangat perhatian kepada anak-anak angkatnya tersebut. Karena itu, ketika tahu Ana-Ani ingin sekali menjadi dokter, dia dengan penuh ketulusan membantu. Termasuk membantu pembiayaan.

Saat tes masuk PTN ke Universitas Andalas, keduanya memilih fakultas kedokteran. Untuk pilihan kedua, mereka kompak mengambil jurusan nutrisi dan makanan fakultas peternakan.

Ternyata, hasil tes mengumumkan bahwa mereka diterima di pilihan kedua. Tentu saja mereka kecewa. Karena saking kepengin masuk di kedokteran, mereka lantas menjajal jalur extension. Sebenarnya, melalui jalur itu, keduanya bisa saja diterima. Tapi, Ana-Ani sadar, jika mereka sama-sama kuliah di jalur extension fakultas kedokteran, biayanya sangat mahal.

Sebagai gambaran, biaya masuknya saja di extension mencapai Rp 80 juta. Belum lagi SPP per semester Rp 6 juta. Kalau di peternakan jalur reguler, biaya masuk pada 2007 itu hanya Rp 3 juta dengan SPP Rp 1.450.000 per semester.

Ana-Ani sadar bahwa mereka tak ingin membebani Padmosantjojo dengan sama-sama memaksa masuk di jalur extension. Apalagi, saat itu Padmosantjojo yang biasa mereka panggil pakde akan segera memasuki masa pensiun.

Sejak lahir hingga sekarang, sang pakde itulah yang membiayai pendidikan mereka. Atas pertimbangan tersebut, Ana mengalah. Dia memilih tetap kuliah di fakultas peternakan dan Ani yang masuk ke kedokteran dari jalur extension. Apalagi, menurut mereka, Padmosantjojo sempat menyampaikan bahwa Ani lebih cocok di kedokteran. Ana dianggap tidak tegaan dan gampang merasa jijik daripada si Ani.

Selama menjalani kuliah, prestasi akademik keduanya cukup membanggakan. Nilai IPK terakhir si Ana 3,42 dan Ani 3,00.

***

Gara-gara beda fakultas, Ana-Ani tidak bisa lagi selalu berpenampilan kompak. Ada peraturan khusus di fakultas kedokteran. Semua mahasiswinya wajib mengenakan rok. Padahal, Ana maupun Ani sama-sama paling benci memakai rok. ''Ya sudah, Ani harus pakai rok. Mau bagaimana lagi, soalnya peraturan. Kalau aku, nggak bakalan deh,'' tutur Ana, lantas tertawa.

Di kampus, keduanya juga sering mendapatkan perhatian istimewa dari para dosen. Apalagi Ana-Ani memang cukup aktif di kelas. Tak jarang, dosen mengajak untuk membantu bila ada proyek-proyek penelitian. ''Ada nggak enaknya. Meskipun ada teman-teman yang suka, lebih banyak yang nggak suka. Banyak yang jealous (iri, Red),'' tuturnya.

Bagaimana soal biaya bulanan? ''Ada dari pakde (Padmosantjojo, Red) dan dari keluarga di Tanjung Pinang juga. Pokoknya, lebih dari cukup,'' jawab Ana.

Ani menceritakan, dirinya ingin menjadi dokter spesialis bedah saraf seperti Padmosantjojo. Dia sangat kagum dengan kepiawaian orang tua angkatnya itu. Apalagi, di kedokteran dia mempelajari betapa rumitnya saraf-saraf di kepala. Dengan segala keterbatasan teknologi kedokteran dulu, Ani sangat sadar bahwa peluang hidup mereka saat dipisahkan sebenarnya sangat kecil.

''Ternyata, Tuhan sangat baik sama kami. It's a miracle,'' kata Ani. Dia menyadari, sampai sekarang, pemisahan bayi kembar siam masih menjadi operasi yang berisiko tinggi. Terutama kembar dempet bagian kepala seperti dia.

Sebut saja kembar siam craniopagus asal Iran, Ladan dan Laleh Bijani, yang meninggal dunia karena kegagalan operasi pemisahan mereka di RS Raffles, Singapura, pada 8 Juli 2003. Padahal, saat operasi dilakukan, mereka sudah berusia 29 tahun.

Secara terpisah, Padmosantjojo menjelaskan, berdasar data yang dimilikinya, baru Ana-Ani satu-satunya kembar dempet kepala yang sukses dipisahkan, hidup sampai dewasa dan kuliah. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia.

Sekitar enam tahun lalu, Padmosantjojo mendapat kabar bahwa ada kembar dempet kepala yang juga sukses dipisahkan di Zimbabwe. Tim dokter di sana, ternyata, menggunakan teknik seperti saat Padmosantjojo memisahkan Ana-Ani. Caranya adalah membelah pembuluh darah (sinus sagitalis) di daerah otak si bayi kembar.

''Saya dengar karena membelahnya ragu-ragu, keduanya selamat. Tapi, ada cacat mental,'' katanya.

Ketua Umum Yayasan Nakula-Sadewa -sebuah perhimpunan bagi orang-orang kembar di Indonesia- Seto Mulyadi mengatakan, di dunia ini memang baru Ana-Ani kembar dempet kepala yang sukses dipisahkan dan tumbuh sehat hingga dewasa. ''Sampai sekarang, saya berpendapat mereka -termasuk Prof Padmosantjojo- sebagai harta kekayaan bangsa ini,'' ujar Seto, yang juga ketua Komnas Anak. (pri/kum)


Padmosantjojo, Dokter Dermawan yang Mengoperasi si Kembar Dempet Kepala
Sulitnya seperti Memisah Uang Kertas

Sumber : Jawapos, Senin 3 Agustus 2009

Prof Dr dr Padmosantjojo SpBS mungkin tergolong dokter langka. Dialah yang ikut mengoperasi bayi kembar dempet kepala Yuliana-Yuliani hingga berhasil. Perannya tak hanya sampai di situ. Dia juga yang membiayai sekolah saudara kembar itu hingga sekarang di bangku kuliah.

---

SETELAH mengoperasi Yuliana-Yuliani pada 1987, Padmosantjojo ti­dak pernah lagi menemukan dan berhadapan dengan kasus serupa. Bagi Padmosantjojo, operasi pemisahan kembar siam dempet kepala Yuliana-Yuliani merupakan momentum sekali dalam seumur hidupnya.

''Kalau bisa jangan ada lagi deh. Capek dan be­lum tentu berhasil lagi,'' kata ahli bedah saraf itu sete­ngah bercanda, saat ditemui di ruang praktiknya di RSCM, Jakarta Pusat, awal pekan lalu.

Menurut dia, Yuliana-Yuliani sampai sekarang masih memegang rekor sebagai bayi kembar siam dempet kepala termuda yang menjalani operasi pemisahan dan berhasil. Saat dioperasi, Yuliana-Yuliani baru berusia 2 bulan 21 hari.

Padmo merasa sukses besar yang diraih bersama tim tidak akan tercapai tanpa perlindungan Tuhan. ''Bayangkan saja, prinsipnya dikarang sendiri, lantas hipotesis itu juga dibuktikan sendiri. Nggak ada yang memberi contoh,'' ungkap ahli bedah saraf keturunan Pakubuwono IV, kelahiran Kediri 26 Februari 1938 itu.

Meskipun tak ada panduannya, operasi Yuliana-Yuliani meraih sukses besar. Keduanya terus hidup sampai sekarang dalam keadaan normal. Puncak dari operasi pemisahan itu adalah saat Padmo dengan telaten selama berjam-jam membelah perlengketan duramater otak dan pembuluh darah vena (sinus sagitalis) setebal 2,5 mm tanpa lecet dengan mata telanjang.

Cara ini tak pernah diikuti para pakar bedah saraf dunia, karena mereka tak cukup telaten. Ketika menghadapi kasus seperti ini, umumnya mereka memberikan seluruh pembuluh darah yang seolah menyatu itu ke salah satu bayi kembar siam. Lalu, pasangannya dicangkoki pembuluh darah buatan. ''Pemisahan ini seperti membelah uang kertas, tanpa merusak gambar pada sisi masing-masing,'' tuturnya.

Padmo juga meyakini dalam kasus kembar siam dempet kepala, operasi sebaiknya dilakukan secepatnya. Dia juga lebih suka membiarkan selaput otak luar membentuk lapisan tulang kepala sendiri daripada membuatkan tulang buatan. Teknik inilah yang belakangan diakui dunia bedah saraf internasional dengan sebutan prinsip Padmosantjojo.

Pascaoperasi, Padmo tidak mengizinkan Yuliana-Yuliani langsung dibawa pulang ke Tanjung Pinang. Bukannya khawatir dengan efek menyimpang yang muncul pascaoperasi pemisahan, Padmo ternyata tidak percaya keluarganya sanggup merawat Yuliana dan Yuliani dengan baik.

''Bagaimana mau percaya, wong dia (Tulardji) tukang batu yang nggak punya apa-apa,'' katanya. ''Padahal, usia balita itu kan rentan sekali. Bisa kena demam berdarah, mencret, atau muntaber yang nggak ada hubungannya dengan kondisi kembarnya, lalu bisa mati,'' imbuh lulusan Rijksuniversiteit, Groningen, Belanda itu.

Sampai 1994, Yuliana-Yuliani berada dalam perawatan intensif Padmo. Bahkan, kedua orang tua mereka, yakni Tulardji dan Hartini, be­serta ibun­da Tulardji, terus tinggal di Jakarta. Biaya selama di Jakarta hampir seratus persen ditanggung Padmo. Padmo menyebut banyak orang yang hanya membonceng populer. Tapi, mereka tidak ikut memberikan bantuan.

Setelah masa balita Yuliana-Yuliani dilalui, Padmo memutuskan merelakan keduanya beserta keluarga kembali ke Tanjung Pinang. Selain memberikan modal usaha bagi Tulardji, Padmo tetap membiayai kebutuhan sehari-hari, terutama pendidikan Yuliana-Yuliani.

''Saya kagum dengan Tulardji yang kehidupannya bisa berkembang seperti sekarang. Jarang ada orang diberi modal, terus mau berupaya serius untuk mengembangkannya,'' kata Padmo.

Tapi, mengapa mengizinkan Yulia­na-Yuliani yang sangat istimewa kembali ke Tanjung Pinang, bukannya dirawat sendiri?

''Saya tidak mau, kalau sudah dewasa terjadi cultural shock. Keluarga saya dan keluarganya berbeda. Di keluarga saya semua tersedia. Kalau nanti dia balik ke keluarganya lalu terjadi perbedaan nilai-nilai, kan jadi bingung. Bagi saya yang penting kesehatan ter­jaga, soal moral dan budaya biar ikut keluarganya sendiri,'' bebernya.

Soal besarnya cita-cita Yuliana-Yuliani untuk menjadi dokter, Padmo menyebut dia sama sekali tidak pernah mengarahkan hal tersebut. (pri/kum)


Ayah Pingsan, Ibu Tak Boleh Lihat


Sumber : Jawapos, Senin 3 Agustus 2009

JIKA saja Ana dan Ani lahir normal, keluarga Tulardji sebenarnya mempunyai persediaan uang yang cukup untuk biaya persalinan. Menjelang Hartini -istri Tulardji-melahir­kan, dia punya tabungan Rp 4 juta. Itu bukan jumlah yang kecil untuk ukur­an pada 1987.

Tapi, setelah proses persalinan Hartini harus melalui operasi caesar, Tulardji sama sekali tidak punya uang lagi. ''Begitu tahu bayi saya yang kembar dalam kondisi begitu (dempet kepala, Red), saya sempat pingsan. Saya merasa pusing, seolah tidak ada jalan solusi,'' kenang pria 48 tahun itu saat ditemui di rumahnya, Jalan Sumatera, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, awal pekan lalu.

Pekerjaan Tulardji sehari-hari hingga sekarang adalah tukang bangunan. Dia hanya lulusan SD.

Pria asli Pacitan itu mengatakan, dirinya sama sekali tidak pernah punya bayangan akan memiliki anak kembar. Apa lagi kembar siam dempet kepala. Begitu juga Hartini.

Hartini setelah menjalani caesar di RSU Tanjung Pinang tidak bisa lang­sung menemui bayi kembarnya. Kala itu, pintu ruang bayi tempat Ana-Ani selalu tertutup dan dijaga. Pihak rumah sakit, termasuk Tulardji, sengaja merahasiakan keadaaan sang bayi agar psikologis Hartini yang masih lemah tidak drop.

Beberapa hari menjelang dirujuk ke RSCM, Jakarta Pusat, Hartini baru bisa menemui Ana-Ani kali pertama. ''Hati saya kaget, takut, dan sedih. Tapi, saya mencoba untuk kuat,'' ke­nang wanita 44 tahun itu.

Jalan mulai terbuka setelah Bambang Sumantri, dokter anak di RSU Tanjung Pinang, merujuk Ana-Ani ke RSCM. Dengan bantuan biaya dari Pemda Riau, mereka bisa berangkat ke Jakarta pada hari yang ke-20. Sampai dilakukan operasi pemisahan, Tulardji dan Hartini tinggal di mes milik Pemda Riau. Setelah itu, mereka dipindah ke mes milik Depsos.

Tulardji menuturkan, ketika dilakukan operasi pemisahan Ana-Ani, situasinya sangat menegangkan. ''Sepanjang operasi berlangsung, saya dan istri hanya bisa berdoa,'' katanya.

Hingga sekarang, Tulardji mengaku tidak tahu persis siapa yang membia­yai operasi tersebut. Dia hanya me­ngerti bahwa perawatan dua buah hatinya pascaoperasi atas bantuan Ya­yasan Tiara Putra yang diketuai Halimah Bambang Trihatmodjo, menantu mantan Presiden Soeharto (alm).

Meskipun operasi berjalan sukses, para anggota tim dokter, terutama Padmosantjojo, yang menangani bedah saraf dan Iskandar Wahidiyat selaku dokter anak melarang Ana-Ani pulang ke Tanjung Pinang.

Padmosantjojo seminggu sekali memeriksa perkembangan Ana-Ani. Dari sana, hubungan kekeluargaan yang lebih erat tumbuh di antara mereka. Setelah dua tahun menumpang di mess milik Depsos, Tulardji diminta untuk mencari rumah kontrakan. Padmosantjojo yang membiayai.

Hingga 1994, Tulardji sekeluarga, termasuk ibunya, tinggal di Jakarta. Ketika itu, dia mulai merasa tidak betah. Penyebabnya, kehidupan ekonomi keluarganya tidak berkembang. Padmosantjojo memang sangat membantu. Tapi, Tulardji tak mau terus-menerus menjadi beban. Akhirnya, dia memutuskan untuk membawa pulang Hartini dan bayi kembarnya ke Tanjung Pinang pada perte­ngahan 1994.

Kembali ke Tanjung Pinang, Tulardji mendapat ''sangu'' sebagai modal hidup dari Padmosantjojo. Sebagian uang itu digunakan Tulardji untuk membeli tanah 17 x 17 m seharga Rp 15 juta di Jalan Sumatera yang menjadi tempat tinggalnya hingga sekarang.

Saat ini, di sebelah rumahnya itu berdiri rumah kos-kosan dua tingkat yang juga buah karya Tulardji. Yang di atas tiga kamar dan yang dibawah dua kamar. Selain memiliki satu Suzuki Shogun, Tulardji baru saja membeli dua kavling tanah di Batu Delapan, arah luar Kota Tanjung Pinang.

Hartini juga cukup produktif. Dia ikut membantu menambah pemasukan keluarga. Bersama sejumlah kawannya, dia berbisnis kredit barang-barang rumah tangga.

Menurut Tulardji, bantuan Padmosantjojo kepada keluarganya, terutama untuk Ana-Ani, tidak mungkin mampu dibalasnya. ''Ibarat bumi sama langit. Saya hanya bisa berdoa mudah-mudahan beliau sehat, mudah rezeki, dan panjang umur,'' katanya.

Ana-Ani punya dua adik, yaitu Geddy Prastikno, 15, yang baru saja masuk SMA dan Rizky Ferdiansyah, 11, kelas 1 SMP. Tulardji menuturkan, berbeda dengan kakaknya yang kembar, biaya semua keperluan Geddy dan Rizky mereka penuhi sendiri. ''Sebagai orang tua, kami menginginkan semua anak kami mendapatkan yang terbaik,'' tuturnya. (pri/kum)


Mata Kanan Mereka Sama-Sama Minus Tiga

Sumber : Jawapos, Senin 3 Agustus 2009

MESKI satu universitas, karena kuliah di fakultas yang berbeda, lokasi kampus Yuliana dan Yuliani terpisah. Fakultas kedokteran berada di Jalan Perintis Kemerdekaan dan fakultas peternakan di Jalan Limau Manis.

Dari rumah Kamardi Talut (orang tua wali si kembar) ke kampusnya, Yuliani cukup berjalan kaki sekitar 5 -10 menit. Sementara itu, Yuliana lebih jauh lagi, sekitar 30 menit dengan bus kampus.

Meskipun kampusnya terpisah lumayan jauh, perasaan mereka yang sensitif tetap terikat. ''Kalau Yuliana dapat masalah, aku bisa merasakan mood yang tadinya ceria tiba-tiba ikut sedih. Ada apa ini, aku langsung bisa kebayang dia,'' ujar Yuliani.

Soal pakaian juga tidak ketinggalan. Meskipun sering mencoba bereksperimen membeli baju di gerai terpisah, pilihan model yang diambil tetap saja sama. ''99 persen model pakaian kami kembar. Padahal, saat beli, banyak yang misah lho,'' katanya. Kalaupun ada perbedaan, hanya pada pilihan warna. Yuliani lebih suka warna biru dan hitam. Sedangkan Yuliana lebih dominan dengan warna hitam, merah, dan oranye.

Menurut Yuliani, semua itu terjadi secara alamiah, tanpa direncanakan sebelumnya. ''Kalau soal baju, apa yang Yuliana suka biasanya aku juga suka. Begitu juga sebaliknya,'' tambahnya. Mimpi saat tidur, kegandrungan terhadap musik R&B, dan hasrat untuk ke toilet kadang juga muncul secara bersamaan.

Bahkan, minus mata mereka juga hampir sama. Yuliani minus yang sebelah kanan 3 dan kiri 4. Yuliana minus yang kanan 3 dan kiri 2,75. ''Jadi, kami kembaran di kanan, minus 3,'' kata Yuliani.

Meski begitu, bukannya tidak ada perbedaan di antara mereka. Yuliani lebih cerewet dan Yuliana cenderung berkarakter serius dan tenang. Mungkin karena itu, Yuliana diposisikan oleh Yuliani sebagai kakak. Dalam keseharian, Yuliani menyapa Yuliana dengan panggilan mbak.

Soal makanan juga ada perbedaan selera rasa. Secara spesifik, mereka menyukai cokelat, hati, dan daging ayam. Tapi, secara umum, Yuliana lebih suka yang asin-asin dan Yuliani suka yang pedas, terutama cabai rawit.

Dalam hubungan keduanya, beberapa kali diwarnai kejadian lain yang kadang sulit dinalar. Misalnya, ada barang milik Yuliani rusak, pasti segera disusul milik Yuliana. Suatu ketika, tangkai kanan kacamata Yuliana patah gara-gara jatuh. Tak lama kemudian tangkai kacamata Yuliani ikut patah, tapi yang kiri.

Di waktu lain, Yuliani terjatuh dan lengan kirinya terluka. Nah, tanpa alasan yang jelas, tahu-tahu lengan kanan Yuliana ikut terluka dan berdarah. Pernah juga Yuliana hampir ditabrak kendaraan dari sisi kanan. Keesokannya gantian Yuliani yang diserempet ambulans dari arah kiri.

''Ajaib banget kan. Kalau aku sakit, Ana pasti ikutan sakit. Salah satu saja yang minum obat, pas­ti yang lain sembuh,'' kata Yuliani. Dia juga menyadari, luka-luka yang dialaminya sering pada ba­gian kiri. Begitu juga kalau ada barang yang rusak, sebagian besar di sisi kiri. Yuliana kebalikannya, yakni di sebelah kanan. (pri/kum)

Tidak ada komentar: