20 November 2009

Elegi Minah dan Tiga Buah Kakao di Meja Hijau

RASA KEADILAN
Elegi Minah dan Tiga Buah Kakao di Meja Hijau...

Sumber: Kompas, Jumat 20 November 2009

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/20/02520329/elegi.minah.dan.tiga.buah.kakao.di.meja.hijau...


Oleh Madina Nusrat

Minah (55) hanya dapat meremas kedua belah tangannya untuk menepis kegalauan agar tetap tegar saat menyampaikan pembelaan atau pleidoi di hadapan majelis hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (19/11).

Tanpa didampingi pengacara, ia menceritakan bahwa alasannya memetik tiga buah kakao di kebun PT Rumpun Sari Antan 4, pertengahan Agustus lalu, adalah untuk dijadikan bibit.

Nenek tujuh cucu yang buta huruf ini sesekali melemparkan pandangan kepada beberapa orang yang dikenal guna memperoleh kekuatan. Ia berusaha memastikan bahwa pembelaannya dapat meyakinkan majelis hakim.

Dengan menggunakan bahasa Jawa ngapak (dialek Banyumasan) bercampur bahasa Indonesia, Minah menuturkan, tiga buah kakao itu untuk menambah bibit tanaman kakao di kebunnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. ”Kalau dipenjara, inyong (saya) enggak mau Pak Hakim. Namung (cuma) tiga buah kakao,” ujar Minah kepada majelis hakim.

Minah mengaku sudah menanam 200 bibit pohon kakao di kebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu masih kurang. Namun, belum sempat buah tersebut dibawa pulang, seorang mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya. Minah lantas meminta maaf dan meminta Sutarno untuk membawa ketiga buah kakao tersebut.

Alih-alih permintaan maafnya diterima, manajemen PT RSA 4 malah melaporkan Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang, akhir Agustus lalu. Laporan itu berlanjut pada pemeriksaan kepolisian dan berakhir di meja hijau.

Minah sudah berusaha melepaskan diri dari jerat hukum. Tapi usahanya sia-sia. Hukum yang mestinya mengayomi masyarakat dengan menegakkan keadilan, bagi nenek Minah, ternyata tak punya nurani. Hukum kita rupanya tak memberi ampun bagi orang kecil seperti Minah. Tetapi, koruptor pencuri miliaran rupiah uang rakyat melenggang bebas dari sanksi hukum.

Di Jawa Tengah, misalnya, empat bekas anggota DPRD dan aparat Pemerintah Kota Semarang yang menjadi terpidana kasus korupsi dana APBD Kota Semarang tahun 2004 sebesar Rp 2,16 miliar divonis bebas. Mereka bebas dari sanksi hukum setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali mereka. MA menyatakan keempat terpidana itu tidak melakukan tindak pidana.

Muramnya penuntasan masalah hukum di Jateng masih ditambah lagi dengan putusan hakim yang hanya memberikan hukuman percobaan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Salah satunya dijatuhkan kepada Ketua DPRD Jateng periode 1999-2004, Mardijo. Terdakwa korupsi dobel anggaran APBD Jateng sebesar Rp 14,8 miliar ini hanya diberi hukuman percobaan selama dua tahun.

Minah memang tak mengerti masalah hukum seperti para terpidana dan terdakwa kasus korupsi itu. Namun, dengan berkata jujur, ia memiliki keyakinan bahwa ia mampu menghadapi rimba hukum formal yang tidak dimengertinya sama sekali.

Terhitung tanggal 13 Oktober sampai 1 November, Minah menjadi tahanan rumah, yakni sejak kasusnya dilimpahkan dari kepolisian kepada Kejaksaan Negeri Purwokerto. Sejak itu hingga sekarang, ia harus lima kali pergi pulang memenuhi panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Purwokerto, dan persidangan di Pengadilan Negeri Purwokerto.

Rumah Minah di dusun, di pelosok bukit. Letaknya sekitar 15 kilometer dari jalan utama Ajibarang-Wangon. Perjalanan ke Purwokerto masih menempuh jarak sejauh 25 kilometer lagi. Jarak sepanjang itulah yang harus ditempuh Minah setiap kali memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri Purwokerto dan Pengadilan Negeri Purwokerto.

Satu kali perjalanan ke Purwokerto, Minah mengaku, bisa menghabiskan Rp 50.000 untuk naik ojek dan angkutan umum. Ditambah lagi untuk makan selama di perjalanan. ”Kadang disangoni anak kula (kadang dibiayai anak saya),” katanya.

Sebelum menyampaikan putusan, majelis hakim juga pernah bertanya kepada Minah, siapa lagi yang memberikannya ongkos ke Purwokerto. ”Saya juga pernah dikasih Rp 50.000 sama ibu jaksa, untuk ongkos pulang,” kata Minah sambil menoleh kepada jaksa penuntut umum Noor Haniah.

Noor Haniah yang mendengar jawaban itu hanya dapat memandang lurus ke Minah.

Elegi Minah tentang tiga kakao yang diambilnya melarutkan perasaan majelis hakim. Saat membacakan pertimbangan putusan hukum, Ketua Majelis Hakim Muslich Bambang Luqmono sempat bersuara tersendat karena menahan tangis.

Muslich mengaku tersentuh karena teringat akan orangtuanya yang juga petani.

Majelis hakim memutuskan, Minah dihukum percobaan penjara 1 bulan 15 hari. Jadi, Minah tak perlu menjalani hukuman itu, dengan catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan.

Persidangan ditutup dengan tepuk tangan para warga yang mengikuti persidangan tersebut.

Kasus Minah bisa menjadi contoh bahwa penuntasan masalah hukum di negeri ini masih saja berlangsung tanpa mendengarkan hati nurani, yaitu rasa keadilan....

Selengkapnya...

11 November 2009

Baru Lulus setelah 950 Kali Ujian SIM

Sumber: Jawapos, Selasa 10 November 2009
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=99549

SEOUL - Perjuangan panjang Cha Sa-Soon tidak sia-sia. Setelah 950 kali mengikuti ujian teori guna mendapatkan surat izin mengemudi (SIM), perempuan Korea Selatan (Korsel) itu dinyatakan lulus. Tapi, masih ada ujian praktik yang harus dilalui sebelum dirinya benar-benar memperoleh SIM.

''Saya merasa sangat malu pada diri sendiri karena terus-menerus gagal. Tapi, saya tidak bisa menyerah begitu saja,'' tegas Cha dalam wawancara dengan Kantor Berita Yonhap sebagaimana dikutip Agence France-Presse Minggu (8/11).

Empat anak Cha menyambut gembira berita kelulusan ibu mereka. Maklum, usia sang ibu sudah tidak muda untuk ukuran pencari SIM. Yakni, 68 tahun. Konon, demi mencapai kelulusan, Cha rela mengikuti ujian teori SIM setiap hari. Itu dia lakukan sejak April 2005.

Karena itu, biaya yang dikeluarkan pebisnis sayuran tersebut tidak sedikit. Total nominalnya, menurut Associated Press, lebih dari KRW 5 juta (sekitar Rp 40,6 juta). Itu belum termasuk ongkos perjalanan tiap kali mengikuti ujian di biro layanan SIM Kota Jeonju, sekitar 210 km dari Seoul.

Supaya bisa dinyatakan lulus, peserta ujian teori SIM di Korsel harus mendapatkan skor minimal 60. Selama lebih dari empat tahun mengikuti ujian teori, Cha tidak pernah mencapai skor minimal tersebut. Skor yang dia peroleh berada pada kisaran 30-50. ''Hari ini, dia akhirnya bisa mencapai 60 poin,'' ujar Choi Young-chul, salah seorang polisi yang berdinas di biro layanan SIM tersebut, Rabu (4/11).

Kepada media, Cha mengaku sangat membutuhkan SIM untuk mendukung bisnisnya. Setiap hari, dia keliling dari satu rumah ke rumah yang lain menawarkan sayuran serta peralatan rumah tangga menggunakan gerobak. Setelah mengantongi SIM, dia berencana menjajakan dagangannya menggunakan mobil. Dengan demikian, wilayah yang dijangkau bisa lebih luas dan dagangan yang dibawa lebih banyak.

''Tapi, saya masih harus melewati ujian praktik,'' cetus Cha -yang merahasiakan perihal mengikuti ujian SIM itu dari para tetangganya- kepada The Korea Times.

Kali ini, dia yakin bisa lulus dalam waktu lebih singkat. Sebab, bagi dia, ujian praktik akan jauh lebih mudah daripada ujian teori. (hep/ttg)
Selengkapnya...

03 November 2009

Gaji Menteri dan Penjabat Di Tanggung Negara

GAJI MENTERI DAN PEJABAT
Duh, Enak (dan Tak Enaknya) Ditanggung Negara...

Sumber : Kompas, Senin 2 November 2009 Oleh Suhartono
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/02/02580967/duh.enak.dan.tak.enaknya.ditanggung.negara...

Sebanyak 34 menteri baru yang didampingi para istri/suami menunjukkan wajah sumringah dan berseri-seri seusai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik mereka di Istana Negara, Jakarta, Kamis (22/10).

Maklumlah, tergambar dalam benak mereka, sang suami atau istri bakal dipanggil dengan julukan ”Pak atau Bu Menteri” karena akan memimpin sebuah departemen atau kementerian negara. Adapun sang istri akan memimpin sebuah Dharma Wanita di lingkungan departemen atau kementerian dan lembaga.

Bicara soal fasilitas dan tanggungan yang diberikan negara kepada para menteri dan pejabat tinggi negara, ibaratnya ”dari rumah sampai keluar rumah” semuanya sudah tersedia.

Diawali dengan gaji pokok ditambah tunjangan istri dan anak bersih sebulan sekitar Rp 19 juta. Adapun gaji pokok dan tunjangan pejabat tinggi negara, termasuk Presiden dan Wapres, Rp 45-Rp 60 juta sebulan. Di luar gaji, seorang masih mendapat tunjangan kelebihan jam kerja senilai Rp 7,5 juta. Artinya, gaji yang diterima sesuai slip tak selalu sama dengan pendapatannya selama sebulan.

Gaji menteri dan pejabat tinggi negara tentu cukup besar jika dibandingkan dengan gaji terendah pegawai negeri sipil (PNS) golongan IA dengan masa kerja nol tahun pada tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp 1,040 juta per bulan. Bahkan, juga dengan gaji tertinggi PNS golongan IVE yang tercatat sebesar Rp 3,4 juta per bulan.

Padahal, gaji menteri Rp 19 juta itu juga belum termasuk honor-honor lain apabila si menteri menjadi anggota lembaga lain atau anggota komisi atau badan lain di luar tugas utamanya. Kalau ia tercatat menjadi anggota komisi atau badan atau komisaris sebuah BUMN, minimal ia bisa mengantongi honor dari Rp 1 juta hingga Rp 25 juta lagi.

Bisa pakai DOM
Untuk melancarkan tugas dan tanggung jawabnya sehari-hari, si menteri masih bisa memanfaatkan dana taktis yang nomenklatur (penamaan)-nya di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara disebut Dana Operasional Menteri (DOM). Dana ini jumlahnya berbeda-beda setiap menteri atau kementerian atau pejabat tinggi negara, bergantung pada beban tanggung jawabnya.

Ada yang menerima Rp 100 juta, tetapi ada juga yang menerima Rp 150 juta. ”Setiap menteri memiliki pembebanan tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda,” kata seorang mantan menteri yang enggan disebutkan namanya, Kamis (29/10). Menurut dia, seperti Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas mengantongi DOM sebesar Rp 150 juta sebulan.

Paskah Suzetta, mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas membenarkan bahwa ia menerima DOM Rp 150 juta. ”Akan tetapi, yang saya pakai hanya 10-20 persen saja. Itu pun untuk pembelian tiket ke daerah ataupun ke luar negeri, bayar polisi untuk pembuka jalan dan lainnya. Tetapi, itu semua ada kuitansi sebagai bukti pemakaian,” ungkap Paskah.

Itu urusan gaji dan tunjangan serta dana taktis sang menteri. Untuk urusan pelayanan, si menteri juga mendapat ”pelayanan” seorang ajudan yang melekat 24 jam per hari bilamana diperlukan. Ajudan akan siap melayani menteri, mulai dari siap siaga di depan pintu ruang kerja menteri sampai dengan duduk di kursi depan mobil dinas menteri.

Sebuah Toyota Camry seharga Rp 350 juta, berikut seorang sopir, akan menemani menteri ke mana pun pergi. Ia juga tidak perlu merogoh kantongnya untuk bahan bakar, uang perawatan mobil, dan karcis tol.

”Kalau menteri mau pakai sirene yang ngiung ngiung dan pengawalan, menteri bisa saja meminta bantuan polisi. Otomatis DOM-nya akan banyak terpakai karena dananya dari situ,” ujar Paskah, yang menolak menggunakan sirene dan mobil pembuka atau kendaraan bermotor karena risi.

Bawakan tas

Seorang ajudan menteri juga harus melayani mulai dari menerima dan menyambungkan telepon, terkecuali jika ada telepon dari Presiden, sang pejabat harus mengangkatnya sendiri. Bilamana diperlukan, ajudan juga mengatur jadwal menerima tamu sampai membawakan tas.

Di rumah, seorang menteri dan pejabat tinggi negara juga mendapat fasilitas negara, mulai dari rumah dinas di kompleks para menteri hingga biaya untuk dua pembantu rumah tangga, seorang tukang kebun, dan dua atau tiga satpam yang bisa bergantian menjaga rumah. Listrik dan air PAM pun dijamin.

Di sebuah lembaga tinggi negara, seorang satpam pernah bercerita harus ikut membantu membersihkan rumah dinas pejabat tinggi negara, seperti menyapu dan membersihkan lantai. ”Jika dihitung-hitung, total pengeluaran untuk seorang menteri per bulannya itu bisa mencapai Rp 200 juta-Rp 250 juta,” ungkap Paskah, yang bersama Menkeu banyak mengurusi anggaran negara.

Saat ditanya apakah ia merasa enak menjadi menteri? Paskah menjawab, enak dan tidak enak. ”Jangan dilihat enaknya saja dari sisi fasilitas dan dana yang ditanggung negara, tetapi juga beratnya memikul tanggung jawab segudang untuk negara,” tambahnya.

”Hilang” rumah

Sebagai menteri yang berasal dari partai politik seperti dirinya, Paskah mengaku harus mengeluarkan dana ekstra yang berasal dari kantong pribadinya.

”Sebagai menteri parpol, kita harus siap mengeluarkan dana apabila ada permintaan sumbangan dari para konstituen di daerah. Juga untuk bantuan-bantuan sosial lainnya jika ada proposal. Kalau ditotal, pengeluaran saya cukup besar selama menjadi menteri. Minimal, saya kehilangan satu rumah,” katanya.

Mantan Menteri Kehutanan MS Kaban justru mempertanyakan ukuran enaknya menjadi menteri atau pejabat. ”Fasilitas rumah menteri? Lihatlah, rumahnya sudah tua dan lingkungannya juga tidak nyaman lagi. Mobil dinas? Saya kira biasa saja,” tandas Kaban.

”Kalau gaji Rp 19 juta, memang sudah tahu. Akan tetapi, mau main proyek tidak mungkin. Orang sekarang takut dengan penyadapan. Padahal, permintaan sumbangan luar biasa jumlahnya. Sementara beban pekerjaan itu sangat tinggi sekali,” papar Kaban.

”Nombok”

Mantan Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta membenarkan besaran gaji yang diterima menteri setiap bulan sebesar Rp 19 juta. Namun, gaji menteri itu sudah lama tidak naik. Sesuai slip gaji, dalam dua tahun gaji itu hanya naik Rp 10.000.

”Padahal, sering kali saya mengeluarkan dana yang lebih dari gaji yang diterima. Jumlahnya bisa mencapai Rp 10 juta hingga Rp 20 juta,” kata Meutia.

Setiap kali kunjungan ke daerah, Meutia menghabiskan dana sekitar Rp 4 juta untuk bantuan kepada masyarakat. Itu tidak termasuk dana program departemen.

Menurut Meutia, sejumlah menteri lain pun pernah mengungkapkan keluhan serupa. Namun, ia tak mempermasalahkan bila harus mengambil uang pribadi karena menjadi menteri adalah sebuah amanah.

Seorang menteri di bidang ekonomi disebut-sebut juga mengaku ”kehilangan” tak hanya rumahnya, tetapi juga sebidang tanah dan mobil mewahnya untuk menopang operasionalisasi jabatan menterinya.

Inilah sisi tidak mengenakkan untuk menjadi seorang menteri. ”Kalau menteri ingin lebih terhormat dan bergaya, memang semakin besar kocek yang harus ia keluarkan,” ungkap Paskah.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, yang akrab disapa Ical, saat ditanya Kompas terus terang mengaku terpaksa menjual sejumlah saham perusahaannya untuk menomboki pengeluaran yang diakuinya sangat besar sekali sebagai menteri senior.

”Jabatan sebagai menko itu hanya untuk berbakti dan terus terang tidak enak. Karena dari segi dana, lebih banyak kekurangan daripada kelebihannya. Kalau untuk berbakti kepada negara, tentu enak-enak saja menjadi menteri. Itu sebuah kehormatan,” ujar Ical.

Ical menambahkan, ”Menjadi menteri tidak bisa untuk mencari rezeki. Malah uang pribadi yang banyak terpakai. Punya saham terpaksa juga dijual untuk menomboki karena kalau tidak begitu, tidak cukup.”

”Mengapa nombok? Misalnya, kalau kita harus cepat sampai ke tempat tujuan seperti Papua, ya terpaksa pakai uang pribadi. Ini yang tidak enak kalau menjadi menteri,” ujar Ical terkekeh. Ical disebut-sebut acap kali menggunakan pesawat pribadinya untuk menjalankan tugas negara ke tempat-tempat yang jauh di pelosok.

Terkait itu, ia setuju jika gaji menteri dinaikkan. ”Itu terserah pada hasil kerja. Orang tidak bisa diukur dari jumlah yang diterimanya, tetapi dari hasil kerjanya. Apakah itu kerjanya cukup besar dan setara dengan gaji yang diterimanya. Dalam alam reformasi ini, kerja menteri memang bertambah, tetapi juga harus disertai dengan kenaikan gajinya,” papar Ical.

Setelah lima tahun tidak pernah naik, gaji pejabat diusulkan dinaikkan. Pertanyaannya, apakah tepat waktunya pada saat para menteri dan pejabat tinggi negara belum menunjukkan kinerja yang sesungguhnya bagi kesejahteraan rakyat?
Selengkapnya...