03 Juni 2010

Daqing Penghasil Minyak Terbesar di Tiongkok

Sumber: Jawapos, Kamis 03 Juni 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=137504

Mengunjungi Daqing, Daerah Penghasil Minyak Terbesar di Tiongkok
Terinspirasi Spirit Wang Jinxi Taklukkan Sumur Ketiga


Kota Daqing (baca Ta-jing) merupakan kota penghasil minyak terbesar di Tiongkok. Meski banyak aktivitas penambangan minyak di tengah kota, Daqing tetap bersih dan rapi. Hal itulah yang juga disaksikan wartawan Jawa Pos SUDJATMIKO yang mengunjungi kota tersebut atas undangan PetroChina Indonesia, 19-26 Mei lalu.

---

SETELAH menempuh perjalanan estafet dari Shanghai ke Harbin, ibu kota Provinsi Heilongjiang, dengan China Shoutern Airlines selama tiga jam, rombongan meneruskan perjalanan darat melintasi jalan tol sepanjang 156 km ke Kota Daqing.

Perjalanan dari Harbin menuju Daqing memakan waktu sekitar dua jam. Daqing merupakan salah satu kota terpencil di Provinsi Heilongjiang. Posisinya terletak di bagian timur laut Tiongkok.

Sebenarnya sudah ada penerbangan langsung Shanghai-Daqing yang bisa ditempuh dalam waktu empat jam. Tapi, karena penerbangan ke Daqing selalu penuh, rombongan memutuskan untuk menempuh jalan darat dari Harbin ke Daqing. Penerbangan ke Daqing dilakukan setelah kota minyak itu resmi membuka bandaranya bernama Daqing Saertu Airport pada 1 September 2009.

Selain Jawa Pos, rombongan dari Indonesia terdiri atas Vice President PetroChina Indonesia Mary P.Y. Pulunggono, Humas PetroChina Indonesia Ginanjar, Humas BP Migas Susana Kurniasih, dosen perminyakan ITB Rudi Rubiandini, serta wartawan Kompas Antonius Ponco. Dalam lawatan ke Tiongkok itu, rombongan juga mengunjungi Shanghai Expo 2010, pameran teknologi dan kebudayaan terbesar di dunia.

Kota Daqing saat ini memasok 40 persen produksi minyak Tiongkok yang mencapai 189,4 juta ton pada 2009. Karena itu, tak heran, begitu keluar dari pintu tol Daqing, sejauh mata memandang, rangkaian pipa minyak mengular di tepi jalan menuju pusat kota. Dari kejauhan juga terlihat berbagai ukuran pompa angguk (untuk memompa minyak) yang menjalankan aktivitas. Beberapa unit pengolahan minyak mentah juga terlihat di berbagai sudut kota.

Dari pemandangan awal itu, saya sempat membayangkan bahwa pusat Kota Daqing pasti penuh dengan sisa minyak yang berceceran di mana-mana, mengotori lingkungan kota. Sebab, menurut informasi yang saya terima, hampir tak ada jarak antara permukiman penduduk Daqing dan pompa angguk. Karena itu, bisa dibayangkan permukiman penduduk akan dipenuhi ceceran minyak mentah berwarna hitam pekat di jalan-jalan.

Namun, bayangan saya tentang kondisi kota berpenduduk 2,6 juta jiwa itu meleset 180 derajat. Begitu rombongan memasuki Kota Daqing sekitar pukul 16.30 waktu setempat, yang muncul adalah rasa heran dan kagum. Misalnya, soal jalan, luasnya sampai 10 lajur. Antara jalur cepat dan jalur lambat, ada taman yang masing-masing selebar empat meter. Pengendara yang melintasi jalan beraspal mulus itu merasa begitu lapang, panjang, dan tak berdebu. Dari kejauhan, terlihat gedung-gedung menjulang tinggi di pusat kota. Apartemen, mal, gedung perkantoran, dan hotel berdiri di mana-mana.

Menariknya, di antara gedung-gedung tersebut, berdiri puluhan pompa angguk. Ada yang berderet dua sampai empat pompa sekaligus. Bahkan, beberapa di antaranya dibangun di kompleks taman kota. Ada pula pompa angguk yang berimpitan dengan apartemen, di depan mal, atau di sekitar kompleks sekolah.

Jumlah pompa angguk yang beroperasi tidak hanya satu, tapi bisa tiga pompa sekaligus. Menariknya, pompa tersebut hanya dibatasi pagar kawat biasa setinggi dua meter. Sementara itu, pompa angguk yang berada di tepi jalan rata-rata tanpa pagar pembatas.

Meski pompa angguk dan refinery oil (pengolahan minyak mentah) menyatu dengan permukiman penduduk atau pusat perbelanjaan, tak terlihat sedikit pun ceceran minyak yang mengotori lingkungan. Semua terlihat serbarapi. Tata kotanya juga teratur. Setiap blok selalu dihiasi taman kota. Bagi Daqing, pompa angguk bagai aksesori raksasa yang menghiasi kota. Kompleks sebuah mal besar di kawasan Chuangye Road yang kini memasuki pembangunan tahap akhir, misalnya, ''dihiasi'' pompa-pompa angguk yang setiap hari beroperasi.

Bagaimana bila sewaktu-waktu minyak yang dipompa bocor dan menyembur ke permukaan tanah karena kerusakan sistem kontrol pompa seperti yang terjadi di Porong? ''Kami bisa menyelesaikannya dalam waktu sepuluh menit. Peristiwa itu pernah terjadi di kawasan perumahan. Warga pun tidak merasa terganggu,'' kata Mr Hou Yunfu, vice director marketing department PetroChina Daqing Oilfield Co LTD, di sela-sela peninjauan salah satu pompa angguk di kawasan mal, Jumat pekan lalu (22/5).

Menurut pria yang pernah empat tahun tinggal di Indonesia itu, warga Kota Daqing memahami betul pentingnya minyak bagi negara. Karena itu, bila terjadi peristiwa gangguan teknis, warga akan memahami. ''Apalagi, warga Daqing memiliki spirit Wang Jinxi, spirit Iron Man,'' ujarnya.

Siapa Wang Jinxi? Dia merupakan salah seorang penambang minyak yang datang ke Kota Daqing (waktu itu Kota Daqing belum bernama) bersama 30 ribu orang dari berbagai penjuru Tiongkok. Ribuan orang tersebut diminta untuk mengeksplorasi hutan belantara yang sekarang berubah menjadi Kota Daqing itu.

Wang Jinxi datang dari daerah yang jauhnya mencapai 5.000 km dari Daqing. Waktu itu, dia masih berusia 14 tahun. Dia tinggal di suatu desa di Provinsi Ganshu, dekat Xinjiang. Wang berangkat menuju ladang minyak Daqing karena terbakar semangat cinta tanah air.

Berdasar sejarah Kota Daqing, begitu tiba di lokasi tambang, warga langsung membuat kelompok-kelompok kecil yang bertugas mencari sumber minyak. Mereka lalu mengeksplorasi lokasi yang dianggap potensial. Begitu pula yang dilakukan Wang bersama kelompoknya. Setelah dua kali pengeboran gagal, baru pada sumur ketiga Wang dkk menemukan sumber minyak yang besar.

Saat itu, 26 September 1959, diwarnai hujan salju yang tebal, minyak muncrat dengan kerasnya dari pengeboran yang dilakukan Wang cs. Namun, tekanan minyak yang muncrat tersebut langsung diatasi. Wang pun tidak berpikir panjang. Dia bersama para pekerja ramai-rama berusaha menutup sumber minyak tersebut dengan campuran semen dan salju yang telah dicairkan.

Tak lama kemudian, semburan minyak itu dapat dikendalikan. Wang pun dinobatkan sebagai pahlawan dan dijuluki sebagai ''Iron Man''. Untuk mengenang perjuangan dan sepak terjangnya, pemerintah Tiongkok membangun museum khusus yang berkisah tentang perjuangan Wang Jinxi dan kawan-kawan.

Sementara itu, semburan sumur ketiga tersebut menjadi awal produksi tambang minyak di Kota Daqing. Sebab, kemudian ditemukan sumur-sumur lain di banyak lokasi. Pada 1963, sumur-sumur minyak di Kota Daqing mulai berproduksi. Produksi minyak Daqing mencapai puncak pada 1976, yakni 50 juta ton per tahun.

Saat ini, di bawah China National Petroleum Corporation (CNPC) yang di antaranya membawahkan PetroChina, Daqing mampu mempertahankan produksi minyak 1 juta barel per hari. ''Jadi, bagi Tiongkok, Daqing sangat penting,'' tegas Hou Yunfu. (*/c5/ari)
Selengkapnya...

Doddy Sularso Bangun, Bos CV Raja Tebu

Sumber: Jawapos, Selasa 2 Juni 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=137245

Doddy Sularso Bangun, Bos CV Raja Tebu, Penjual Minuman Sari Tebu
Memeras Miliaran Rupiah dari Sari Tebu

Pengusaha sejati takkan menyerah ketika salah satu bisnisnya macet. Seperti Doddy yang kembali meraup sukses dengan bisnis minuman sari tebu berkonsep kemitraan, selepas bisnis kayunya mengalami kebangkrutan.

LUCKY NUR HIDAYAT, Jakarta

---

KEGAGALAN adalah sukses yang tertunda. Pepatah itu mungkin cocok untuk menggambarkan perjalanan usaha Doddy Sularso Bangun. Dia mampu bangkit dari kejatuhan bisnis kayu cetakan atau moulding yang dibangun sejak 2001 di Jambi.

''Macetnya bisnis pengelolaan kayu yang saya bangun pada 2004 membuat saya nekat merantau ke Jakarta,'' katanya saat ditemui di kediamannya di Bilangan Simprug, Jakarta Selatan, kemarin (1/6).

Pengalaman pahit ditipu orang dan mulai menipisnya stok kayu akibat gencarnya aksi pemberantasan pembalakan kayu secara liar dan illegal logging, membuatnya ogah kembali bergelut dengan gelondongan-gelondongan kayu. ''Gara-gara kayu juga saya sempat berurusan dengan yang berwajib karena bersitegang dengan polisi di Jambi,'' ungkap penggemar olahraga biliar ini.

Sempat luntang-lantung hidup tak jelas di Jakarta, bahkan menjadi bandar togel, pria yang mengaku gemar tawuran saat SMP dan SMA ini kemudian bertekad ingin sukses di ibu kota. ''Saya dulu kurang kasih sayang. Bapak saya tentara dan meninggal sewaktu saya masih kecil dan ibu pedagang di pasar yang harus bekerja sendiri menghidupi keluarga. Akibatnya, saya pun harus berpindah-pindah sekolah,'' terangnya.

Setelah berputar-putar ibu kota mencari inspirasi usaha baru, Doddy yang kehausan lantas membeli sari tebu. Rupanya jodoh dengan bisnis ini mulai di sini. Saat membeli sari tebu untuk kali pertama di Jakarta, pria kelahiran Jambi, 15 Agustus 1972 ini heran.

Air sari tebu yang dipasarkan pedagang di ibu kota kurang bersih dan rasanya tak seenak yang di Jambi. Karena penasaran dia pun mengamati beberapa pedagang sari tebu. ''Setiap pedagang di pinggir jalan di Mangga Besar, Jakarta Barat, tebu di pertokoan Glodok dan tempat lain saya satroni. Eh, walhasil saya menemukan fakta, beberapa di antara mereka tak menjual air sari tebu murni,'' terang anak pasangan Suprayitno dan Sulasmi ini. Apalagi, tebu yang digunakan juga tak cocok untuk dijadikan sari tebu.

Dari pengamatannya, banyak pedagang yang tak menjaga kebersihan sehingga warna sari tebu yang dihasilkan gelap. ''Sepulang dari survei saya merenung. Di otak saya terngiang-ngiang satu kalimat, jualan sari tebu yang tak murni saja laris, apalagi yang murni,'' ujar jebolan Fakultas Hukum Universitas Taruma Negara ini.

Suami Elly ini juga paham betul bagaimana mengolah tebu menjadi sari tebu dengan rasa enak. Sebab, saat kecil dia sering mengonsumsi tebu di tanah kelahirannya, Jambi, yang memang dikenal memiliki tebu berkualitas tinggi. Air sari tebunya banyak dan lebih manis daripada tebu kebanyakan. Akhirnya pada 2005 dengan modal Rp 50 juta, Doddy memutuskan membuat lima gerai Sari Tebu Murni dengan bahan baku tebu yang didatangkan langsung dari Jambi.

Walau sang istri kurang sreg karena belum melihat potensi bagus di bisnis tebu ini, bendera CV Raja Tebu tetap dikibarkan. Di awal episode bisnis sari tebu, dengan gerobak dorongnya, Doddy sering dikejar-kejar trantib di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dan pulang dengan tangan hampa. ''Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, tidak disangka respons masyarakat lebih dari yang diperkirakan. Begitu roda usaha diputar, langsung banyak yang mengajukan diri untuk bermitra,'' terangnya.

Melihat peluang ini, pria yang mengaku bisa naik haji, membeli rumah, dan mobil dari hasil berjualan tebu ini lantas mematenkan merek dagangnya dan membuat konsep kemitraan. Itu agar gerai Sari Tebu Murni bisa lebih banyak. Salah satu konsep gerai yang sangat laris terjual saat ini adalah menggabungkan sepeda motor dan gerobak. ''Dengan konsep ini si penjaja sari tebu bisa menjemput bola dengan menyambangi keramaian daripada hanya menetap di satu lokasi tertentu dan berharap pembeli datang,'' ujarnya.

Penghobi hampir semua jenis olahraga ini menjual paket gerai sepeda motor gerobak seharga Rp 39,5 juta per unit. Sedangkan gerai yang statis dijual dengan harga Rp 21,5 juta per unit dan yang di mal Rp 28,5 juta per unit. ''Ini murah lho. Itu sudah termasuk biaya pelatihan karyawan, mesin penggilingan tebu, tabung kaca untuk menampung air perasan tebu, saringan, dan tenda pelindung matahari,'' ungkap pria yang mengaku tak pernah malu menjalankan bisnis apa pun ini.

Yang istimewa, lanjutnya, karena usaha tersebut bersifat kemitraan, tak ada royalti yang harus dibayar pedagang. ''Tetapi, untuk menjaga standar kualitas air tebu, kami mewajibkan para mitra membeli tebu yang khusus didatangkan setiap hari dari Jambi," ujarnya.

Minimal setiap hari 4.000 batang tebu dikirim dari Jambi. Per batang dilego kepada para mitra seharga Rp 6.800, plus tambahan Rp 1.000 kalau tebu itu diantarkan ke tempat berjualan. Rata-rata pedagang menghabiskan 25 batang tebu setiap hari. ''Sehari bisa menjual 80 gelas saja dengan harga jual tanpa es Rp 3.500 per gelas atau Rp 4.500 per gelas dengan es, balik modal bisa tercapai sekitar lima bulan,'' seloroh pria yang tengah berencana membuka gerai di Singapura ini. (*/c2/kim)

Tentang Doddy

Nama: Doddy Sularso Bangun.

Lahir : Jambi, 15 Agustus 1972

Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Taruma Negara

Jabatan : Pemilik CV. Raja Tebu

Istri : Elly

Anak : Helen, Andreas, Cindy, Felix, Celline


Sumber: Jawapos, Rabu 2 Juni 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=137244

Naik Kelas, Sari Tebu Jadi Minuman Hotel Mulia

PENGALAMAN mengembangkan bisnis tebu selama lima tahun membuat insting Doddy semakin tajam. Itu juga yang dia tularkan kepada beberapa anak buahnya. Khususnya, yang menjadi ujung tombak di lapangan, yakni penjaja sari tebu dengan gerobak dan motor.

Salah satu hal yang Doddy berikan adalah resep sederhana untuk mengatasi penurunan omzet penjualan kala musim hujan tiba. Selama dua tahun pertama bisnis itu berjalan, bapak lima anak tersebut selalu dipusingkan oleh penurunan omzet sampai 40 persen untuk gerai di pinggir jalan kala musim hujan datang. Bahkan, penurunan omzet bisa lebih dari itu jika hujan turun sehari penuh.

Dia pernah iseng dengan meminta beberapa penjual sari tebu mendatangi tempat keramaian apa pun meski hujan. Ada yang mendatangi lokasi di dekat mal, tetapi tak dapat izin dari keamanan karena dianggap mengganggu arus lalu-lintas.

Namun, salah seorang penjual ternyata meraup sukses ketika berdagang di sekitar hotel dan apartemen. "Itu salah satu keuntungan yang didapat ketika gerai dan pelayanan kami menomorsatukan kebersihan. Karena itu, para penghuni hotel dan apartemen kalangan atas atau kaum berdasi tak canggung untuk meneguk minuman itu pada musim hujan," jelas penggemar olahraga voli tersebut.

Apalagi, kalangan berduit itu terbiasa menenggak minuman dingin pada kondisi apa pun, tak terkecuali kala cuaca dingin. "Sebab, mereka terbiasa tinggal di lingkungan ber-AC yang dingin. Itu membuat mereka lebih kuat dingin," papar dia.

Pucuk dicita, ulam pun tiba. Karena laris, salah satu gerai di Hotel Mulia, Jakarta, pun melirik usaha tersebut. "Alhamdulillah, sekarang, setiap bulan puasa, kami sebulan penuh diminta menggiling dan menyajikan sari tebu dalam hotel tersebut," ucap dia.

Doddy kini bukan lagi penjual sari tebu, tetapi penjual gerai dan tebu untuk mitra-mitranya. Gerai yang dijualnya kepada mitra mulai 10 sampai 20 gerai. Kini dia disuplai petani plasma tebu di Jambi dengan luas lahan 1.000 hektare.

Saat ini penyuka mobil jeep ini juga mampu meraup keuntungan miliaran rupiah dari kinerja gerainya yang kini lebih dari 800 unit yang tersebar di hampir seluruh daerah nusantara. Mitranya 350 orang lebih dengan karyawan lebih dari 900 orang. ''Jangan bicara omzetlah, bisa menakutkan. Yang jelas, bisa untuk beli satu rumah di Pondok Indah,'' terangnya lantas terkekeh. (luq/c11/kim)

Selengkapnya...

29 Mei 2010

Septinus George Saa, Peraih ''Nobel Prize''

sumber Jawapos, Jumat 28 Mei 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=136348


Septinus George Saa, Peraih ''Nobel Prize'' setelah Lulus Kuliah di Amerika
Kerja di Perusahaan Asing, Tak Mau Dipanggil Oge

Nama Septinus George Saa meroket pada 2004. Saat berusia 18 tahun, dia menyabet penghargaan First Step to Nobel Prize in Physics 2004. Penghargaan itu mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Kini, dia telah lulus kuliah di Amerika.

AGUNG PUTU, Jakarta

---

KETIKA ditemui di kompleks studio Trans TV di Jakarta, Rabu malam lalu, Septinus George Saa tampak lelah. Pria itu memang baru saja ''digilir'' beberapa studio televisi. Dalam seminggu ini, dua stasiun televisi mengundang dia. Yakni, Global TV dalam acara talk show Rossy dan Trans 7 untuk acara Bukan Empat Mata. ''Capek sih, tapi menyenangkan,'' katanya.

Penampilan George sudah berbeda jika dibanding saat berusia belasan tahun dulu. Dia lebih gemuk dan cool. Penampilannya juga layaknya eksekutif muda, berkemeja lengan panjang dan celana licin. George kini mirip rapper asal Kanada, Aubrey Graham aka (also known as) Drake, yang populer dengan lagu Forever.

''Ah, enggak juga. Waktu kuliah di Amerika dulu malah ada yang mengira saya berasal dari Karibia dan Brazil. Tidak ada yang mengira dari Indonesia,'' ujarnya lantas terkekeh.

George kini memang lebih klimis dan trendi. Maklum, pria murah senyum itu kini bekerja di sebuah perusahaan migas asing yang beroperasi di Teluk Bintuni, Papua Barat, Papua. ''Aku menikmati pekerjaanku,'' katanya lantas membisikkan gaji dolar yang dia terima tiap tiga minggu.

Kini, dia juga enggan dipanggil Oge, nama kecilnya, yang populer saat masih tinggal di Kotaraja, Jayapura. ''George saja lah. Oge itu panggilan kecil saya,'' ujarnya.

Penampilannya yang modis tersebut sempat menjadi sasaran kelakar Rosiana Silalahi dalam talk show Rossy. ''Ini kalau kita ketemu di jalanan New York, nggak tahu kalau dia orang Indonesia. Orang nyangka dia rapper yang kesasar,'' kata Rosi -panggilan Rosiana- lantas tertawa. George pun membalas. ''Yeah, wazzup dude,'' ungkapnya.

Nasib George memang mujur. Pada 2004, dia mendapat First Step to Nobel Prize in Physics setelah mengikuti lomba fisika internasional itu di Polandia. Dalam kompetisi yang diikuti pelajar tingkat sekolah menengah di seluruh dunia tersebut, George menjagokan tesis berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Latice Network of Identical.

Dia menemukan rumus yang diberi namanya sendiri, George Saa Formula (Jawa Pos, 21 Mei 2004). Tesis itu merupakan hasil risetnya selama setahun. Dia menyisihkan ratusan peserta dari 73 negara setelah melalui penjurian yang sangat ketat.

First Step to Nobel Prize in Physics merupakan kompetisi bergengsi bagi pelajar sekolah tingkat menengah dari seluruh dunia. Waktu itu, dewan juri kompetisi yang berlangsung sejak 1993 tersebut terdiri atas 30 fisikawan yang berasal lebih dari 25 negara.

Setelah menerima penghargaan itu, George diganjar banyak fasilitas. Menteri pendidikan saat itu, Malik Fadjar, meminta George memilih perguruan tinggi mana pun di Indonesia tanpa tes. Kampus tempat dia kuliah juga diwajibkan memberikan fasilitas belajar.

George sempat bingung memilih kampus sebelum utusan Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng mendatangi dirinya. ''Saya diminta menemui Pak Aburizal Bakrie,'' ungkap pria kelahiran 22 September 1986 tersebut.

Freedom Institute menawari George kuliah di luar negeri. Memilih negara mana pun akan dikabulkan. Mau di benua Amerika, Eropa, bahkan Afrika sekali pun, terserah George. Beasiswa tersebut bukan hanya uang kuliah, tapi juga uang saku serta biaya hidup.

Pria penghobi basket itu sempat bingung memilih negara. Rizal Mallarangeng mengusulkan agar dirinya memilih Amerika. Sebab, negara pimpinan Barack Obama tersebut bagus untuk belajar dan melakukan penelitian. George lantas mendaftar ke jurusan aerospace engineering di Florida Institute of Technology. Kampus di pesisir timur Amerika di Brevard County. Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat peluncuran pesawat NASA (National Aeronautics and Space Administration).

Di jurusan aerospace engineering alias teknik dirgantara itu, George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang, baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa. Dia juga mempelajari ilmu yang supersulit di jagat aerospace, yakni rocket science.

''Saking sulitnya, orang Amerika sering bilang, you don't need rocket science to figure it out,'' katanya lantas terkekeh. Di antara 200-an mahasiswa seangkatan, hanya 40 orang yang lulus.

George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang. Mulai struktur pesawat, aerodinamika, daya angkat, hingga efisiensi berat dalam teknologi pembuatan burung besi itu.

Ada alasan khusus dirinya suka pesawat terbang. Selain memang mengagumi presiden ketiga Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu, lelaki bertubuh gempal tersebut semula ingin menjadi pilot. Namun, karena kedua matanya minus 3,25, dia harus mengalihkan impiannya. ''Kalau nggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat. Setidaknya, memahami teknologi pesawat terbang,'' tegasnya.

Tahun pertama di Amerika sangat sulit bagi George. Sebab, dia belum fasih berbahasa Inggris. Pernah, dia tertahan sejam di bagian imigrasi. ''Saya hanya duduk dan diam selama sejam gara-gara tidak bisa bahasa Inggris,'' tuturnya.

Karena itu, tahun pertama, George tak langsung kuliah. Dia belajar bahasa di sekolah bahasa Inggris English Language Service di Cleveland, negara bagian Ohio, AS. Selama setahun dia ngebut belajar bahasa. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, dia melahap materi-materi bahasa Inggris. ''Saya mempelajari lagi grammar dan kosakata,'' jelas anak bungsu pasangan Silas Saa dan Nelly Wafom itu.

George lulus pada akhir 2009. Kini, dia bekerja di perusahaan internasional yang bergerak di bidang migas sembari bantu-bantu di lembaga yang memberinya beasiswa, Freedom Institute. ''Tiga minggu ini aku di Jakarta. Nanti ke laut lagi,'' katanya. (*/c5/cfu)
Selengkapnya...

04 Februari 2010

Surabaya Transplant Center 7

Sumber : Jawapos, Rabu 03 Februari 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=115191

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (7-Habis)

Lihat Operasi Tersulit ketika Liver Melekat ke Dinding Perut

Masa belajar di OOTC, Tianjin, Tiongkok, ditutup dengan transplantasi pada balita berumur 3 tahun, yang beratnya hanya 9,8 kilogram. Menariknya kasus ini adalah livernya berasal dari cadaver dengan pola split. Metode ini jauh lebih unik dan rumit daripada semua metode yang telah saya ceritakan.

Oleh: Nany Wijaya, Wartawan Jawa Pos

---

SAYA dan tim transplantasi liver RSUD dr Soetomo Surabaya tidak pernah menyangka akan bisa "menikmati" sepuluh kasus penggantian hati selama enam hari di Oriental Organ Transplant Hospital (OOTC) Tianjin, Tiongkok. Saya yakin, orang lain pun tidak menyangka bahwa kami akan bisa belajar sebanyak itu, mengingat enam hari memang bukan waktu yang bisa dibilang panjang.

Karena itu, kami sangat mensyukuri hubungan istimewa Pak Dahlan Iskan dengan pusat transplantasi liver terbesar di dunia itu. Tanpa itu, tidak mungkin kami bisa mendapatkan perlakuan yang begitu istimewa.

Sayangnya, selama di sana, saya atau teman lain tidak sempat melongok ruang perawatan mantan CEO Jawa Pos yang kini menjadi Dirut PLN itu. Separo dari kami beruntung masih sempat bertemu dengan seorang pasien asal Medan yang baru selesai ditransplan. Pertemuan itu terjadi pada dua hari menjelang akhir kunjungan kami. Pada hari itu, sebelum berdiskusi dengan dr Deng dan dr Zhang (yang fotonya sudah saya munculkan di serial sebelumnya), kami diberi kesempatan untuk mengunjungi pasien ke ruang-ruang perawatan. Di kalangan medis, kunjungan seperti itu dikenal dengan istilah visite.

Agar tidak terlalu mengganggu pasien, rombongan kami dibagi dua. Satu rombongan ke lantai delapan bersama dr Pan Cheng, yang lain ikut dr Deng Yonglin ke ruang pasien-pasien di lantai enam.

Saya termasuk yang ikut dr Deng. Seperti diketahui, keduanya adalah direktur transplantasi OOTC.

Yang visite bersama dr Deng sempat bertemu dengan dua wanita lokal yang sudah ditransplan. Yang seorang, berusia sekitar 45 tahun, masih harus opname karena baru lima hari pascaoperasi sehingga masih perlu memakai selang pembuang sisa darah di perut kanannya. Selain itu, dia juga masih mengenakan semacam gurita untuk melindungi luka bekas operasinya.

Wanita lain yang kami temui siang itu adalah Zhang Lifeng. Melihat cara jalan dan wajahnya yang masih pucat, siapa pun bisa menebak bahwa operasinya belum lama. Ternyata, dugaan itu benar. Dia mengatakan baru dua minggu meninggalkan rumah sakit. Operasinya sendiri sekitar sebulan sebelum dia keluar dari rumah sakit. Siang itu dia datang ke rumah sakit untuk kontrol.

Selama mengikuti operasi di OOTC, belum pernah kami bertemu dengan resipien ataupun donor wanita. Seluruhnya laki-laki. Jadi, baru hari itu kami bertemu dengan pasien wanita pascatransplan. Menurut catatan China Liver Transplant Registry (CLTR: lembaga nasional yang mengordinasikan 61 pusat transplan liver di seluruh Tiongkok), jumlah resipien wanita di negeri itu memang hanya 15,4 persen. Sisanya laki-laki. Sebanyak 5,8 persen dari total resipien transplantasi liver di Tiongkok adalah remaja dan anak-anak. Usia mereka yang masuk dalam kategori itu bervariasi, antara 3 bulan hingga (maksimal) 18 tahun.

Pendirian lembaga pemerintah tersebut diprakarsai oleh 21 center besar di Tiongkok, termasuk OOTC. Keberadaannya sangat membantu perkembangan transplantasi liver di sana. Sebab, lembaga tersebut memiliki pusat data yang online dengan semua pusat transplan di seluruh negeri. Data lengkap para pasien yang sudah terdaftar dalam antrean transplan liver di semua pusat transplan pasti tersimpan di lembaga tersebut. Yang disimpan bukan hanya nama, alamat, umur, dan organ yang dibutuhkan si calon, tetapi juga penyakit dan sidik jari mereka. Bayangkan! Kelengkapan data itulah, yang memudahkan lembaga tersebut mendistribusikan liver cadaver dari seluruh Tiongkok dengan tepat.

Bahwa Zhang bisa meninggalkan rumah sakit dalam waktu yang begitu cepat bukan hal yang istimewa. Di OOTC, pasien memang tidak perlu berlama-lama di rumah sakit. Bukan karena yang antre bed-nya banyak, tetapi karena mereka memang tidak perlu berlama-lama di rumah sakit. Bahkan, di ICU pun tidak perlu sampai seminggu. Kecuali pasien tersebut mengalami komplikasi pascaoperasi. Tetapi, itu jarang sekali.

Sepanjang yang kami tahu selama di OOTC, seorang pasien hanya membutuhkan waktu sekitar 6-8 jam untuk sadar setelah menjalani operasi penggantian hati, yang rata-rata memakan waktu 8-9 jam. Empat-lima jam setelah sadar, pasien sudah boleh ditemui keluarganya. Untuk donor hidup, waktu yang dibutuhkan untuk sadar lebih cepat lagi: hanya 4-5 jam.

Donor juga hanya membutuhkan waktu dua hari di ICU. Setelah itu, dia sudah dikembalikan ke ruangan. Satu-dua hari kemudian, dia sudah diajari duduk. Untuk resipien, dibutuhkan waktu dua-tiga hari lebih lama daripada donor.

Bagaimana bisa begitu cepat? Apakah dibantu dengan obat tradisional Tiongkok? Ternyata tidak. Tim dokter konsultan ICU RSUD dr Soetomo dan perawatnya yang bersama saya sudah mencatat obat apa saja yang digunakan di OOTC sebelum, selama, dan sesudah operasi.

Pasien lain yang kami temui siang itu adalah seorang lelaki berumur sekitar 50 tahun. Dia sudah bersiap meninggalkan rumah sakit. Kawan lama dr Deng ini kembali ke rumah sakit juga untuk kontrol saja. Transplantasinya sudah lima tahun yang lalu.

Rombongan yang tidak bersama saya lebih bebas memilih "pasien"-nya. Dokter Pan yang seharusnya "mengawal" mereka visite sedang sibuk. Mereka diuntungkan oleh keadaan itu karena lantas bisa bertemu dengan seorang pasien Indonesia asal Medan. Pasien itu mengatakan berani datang ke OOTC untuk transplantasi setelah membaca buku Ganti Hati-nya Pak Dahlan.

Saya sebenarnya berencana menemui pasien ini. Tetapi, dia keburu meninggalkan rumah sakit. Berkunjung ke apartemennya -dia masih harus balik untuk kontrol- ternyata juga tak sempat karena padatnya jadwal operasi.

Kami sungguh diuntungkan oleh banyaknya operasi yang harus kami ikuti. Meski jenisnya sama, yakni transplantasi liver, penyebab dan kesulitan-kesulitan operasinya sangat bervariasi. Dengan begitu, kami jadi tahu betapa menakutkannya mencopot liver pasien yang kondisinya sangat buruk. Sebab, semakin jelek livernya, berarti semakin tinggi tekanan darah di vena porta (pembuluh darah utama) livernya. Dan, itu berarti potensi untuk terjadi perdarahan hebat -seperti kami lihat pada pasien yang ditangani dr Pan- semakin besar. Bisa dibayangkan risikonya bila perdarahan tak bisa segera dihentikan. Tekanan darah pasien akan drop. Begitu pula denyut jantungnya dan bahkan suhu tubuhnya. Untuk suhu badan pasien, tidak sulit mengatasinya karena di sana ada alat pemanas khusus yang dipasang di atas dahi pasien. Dengan alat itu, suhu pasien bisa dijaga.

Selain itu, masih dengan dr Pan, kami menemukan kasus sulit lain. Yakni, timbulnya rembesan darah dari pembuluh darah yang baru disambung. Keadaan itu terjadi karena pembuluh darah liver yang sudah disambung bisa sewaktu-waktu melintir.

Jenis kesulitan lain yang kami dapati bersama dr Pan adalah pasien dengan pembuluh utama liver yang sudah mengalami penyumbatan berat (stadium tiga) atau yang dalam istilah medis dikenal sebagai kasus trombosis. Tak banyak dokter bisa mengatasi kondisi ini. Pembuluh yang tersumbat itu bisa membesar sampai seukuran ibu jari orang dewasa.

Di Tiongkok, tidak banyak dokter yang ahli dalam kasus seperti itu. Dan, dr Pan adalah salah satu yang terbaik untuk urusan ini. Malam itu dokter ahli yang sudah melakukan transplantasi liver lebih dari 800 kasus ini -pernah sembilan kasus dalam sehari- membuktikan kemampuannya mengatasi trombosis pada resipien yang menerima donor dari cadaver.

Di malam yang lain, kami juga melihat bagaimana dr Wentao Jiang dan dr Zhu Zhijun yang sudah mentransplantasi lebih dari 900 pasien itu mengatasi resipien yang livernya sudah melekat ke dinding perut akibat kanker. Secara teoretis, pasien seperti ini tidak perlu diselamatkan karena chance (peluang) keberhasilan operasinya sangat tipis. Jangankan mengganti livernya, melepaskan organ terbesar itu dari perutnya saja sudah setengah mati. Dan, dua dokter yang umurnya masih di bawah 47 tahun itu berhasil.

Keberanian mereka menangani pasien-pasien yang peluang keberhasilan operasinya sangat kecil itu membuat dr Iwan Kristian bertanya, apakah OOTC menggunakan kriteria Milan untuk memilih pasien. Ternyata tidak selalu.

Kriteria Milan adalah kriteria yang dibuat atas kesepakatan para ahli transplantasi organ dalam suatu rapat di Milan, Italia. Kriteria itu untuk menentukan layak tidaknya seorang pasien kanker liver dan sirosis (livernya rusak dan mengerut) ditransplantasi.

Dalam catatan China Liver Transplant Registry (CLTR), kondisi 53,1 persen penderita penyakit liver stadium akhir yang berhasil ditransplan di Tiongkok sudah tidak memenuhi kriteria Milan. Artinya, sebenarnya mereka sudah tak layak ditransplan karena kondisinya sudah sangat buruk dan umurnya juga sudah di atas 80 tahun. Faktanya, operasi itu berhasil dan pasiennya hidup sampai bertahun-tahun.

Tingkat keberhasilan transplantasi di Tiongkok memang patut diacungi jempol. Itu bukan promosi, tetapi fakta. Pasien post-transplan liver pertama di dunia ini yang berhasil hamil dan melahirkan adalah pasien Tiongkok yang dioperasi di negerinya sendiri.

Bagaimana OOTC sendiri? Prestasi apa yang pernah mereka buat, selain keberhasilan transplantasi yang rutin itu? Banyak.

Pasien liver yang pertama ditransplan oleh Prof Dr Shen Zhong bertahan hidup hingga sekarang. Petani desa itu menjalani transplan hati 15 tahun lalu. Operasinya, kenang Shen, memakan waktu 20 jam. Maklum, ini kasus pertama yang ditangani. Padahal, untuk itu, dia sudah menyiapkan diri dengan berlatih transplantasi pada 100 ekor anjing.

Kemudian, dr Deng Yonglin berhasil menangani penggantian hati seorang bayi berumur tujuh bulan dengan donor dari bapaknya. Sekarang bayi itu sudah berumur 5 tahun. Dia juga pernah menangani transplantasi pada bayi berumur kurang dari dua tahun dengan menggunakan donor cadaver yang di-split (dibagi).

Rekor itu ditembus dr Zhu Zhijun dengan keberhasilannya atas bayi berumur lima bulan. Bayi itu kini sudah berumur empat tahun.

Pada hari terakhir kami di OOTC, para jagoan transplantasi liver itu "menghadiahi" kami dengan operasi pada seorang balita berumur 3 tahun yang berat badannya hanya 9,8 kilogram.

Bocah malang ini harus segera dioperasi karena kondisinya sudah sangat buruk. Dia sudah dua minggu tak bisa menelan makanan apa pun. Perutnya pun sudah membuncit akibat ascites (penumpukan cairan di rongga perut). Padahal, untuk mengatasi itu, dokter sudah melakukan pengambilan limpa (spleenectomy) dan menyambungkan saluran empedunya langsung ke usus. Tindakan terakhir itu dikenal dengan istilah Kasai oleh para dokter.

Sayangnya, operasi yang akan menjadi all star performance itu gagal karena dokter yang memotong liver donor melakukan kesalahan. Ada satu pembuluh darah yang dipotong setengah sentimeter lebih pendek daripada yang dibutuhkan. Kata Prof Shen, itu terjadi karena dokter tidak melakukan pemotretan kedua pembuluh darah utama. Ini sebenarnya kesalahan kecil. Tetapi, jika transplantasi dipaksakan, akan berakibat fatal. Maka batallah operasi malam itu. Padahal, bayinya sudah dibius dan liver donor sudah di-split. Untung donornya cadaver.

"Tidak apa-apa. Sisa liver yang masih tiga perempat kan bisa dipakai oleh donor dewasa," kata Prof Shen. Di ruang lain, dr Deng yang sudah menangani sekitar 1.000 kasus transplantasi liver memang sedang menyiapkan seorang resipien dewasa.

Untuk mengobati kekecewaan kami, malam itu Prof Shen memberikan kuliah hingga hampir tengah malam kepada tim dari Surabaya.

Di akhir kuliah, berdasarkan pertanyaan-pertanyaan kami selama di center yang dia pimpin itu dan dari semangat kami mengikuti dan mempelajari setiap step transplantasi, ahli ini mengatakan bahwa tim dokter RSUD dr Soetomo Surabaya sudah sangat siap melakukan transplantasi liver sendiri.

Namun, ketika diminta mendampingi kasus perdana kami nanti, ayatollah transplantasi liver ini menyatakan kesediaannya. Dia akan membawa serta tim andalannya.

Penilaian dan dukungan itu membuat semangat kami untuk bisa segera menjadikan Surabaya pusat transplantasi liver semakin membara. Dengan cita-cita besar itu kami kembali ke tanah air.

Semangat kami semakin besar setelah mendapat arahan yang lebih detail dari jagoan transplan liver Singapura, Dr dr Prema Raj. Ahli bedah ini juga siap mem-back up tim Surabaya saat melakukan transplantasi liver dengan donor hidup pada orang dewasa, yang semoga tak lama lagi bisa dilaksanakan. Kami menemui Dr Prema di RS Mount Elizabeth, sepulang dari Beijing.

Sedikit catatan yang membanggakan tentang tim kami selama dalam perjalanan itu adalah: keberhasilan dr Philia menyelamatkan seorang perempuan tua asal Beijing yang mendapat serangan stroke ringan, saat berada di pesawat ke Singapura bersama kami.(kum)
Selengkapnya...

03 Februari 2010

Surabaya Transplant Center 6

Sumber: Jawapos, Selasa 02 Februari 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=114936

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (6)

Donor dari Cadaver Napi 68 Jenis Kejahatan

Melihat langsung step by step transplantasi liver dengan menggunakan donor cadaver menimbulkan perasaan dan pengalaman yang tidak sama jika dibandingkan dengan ketika melihat transplantasi dengan donor hidup. Teknik operasinya juga berbeda. Seberapa berbeda? Bagaimana Tiongkok mampu menyediakan donor cadaver sebanyak itu?

Oleh: Nany Wijaya, Wartawan Jawa Pos

---

SEJAK berangkat ke Oriental Organ Transplant Center (OOTC) di Tianjin, Tiongkok, kami sudah bertekad membuang semua keinginan yang tak terkait dengan pembelajaran mengenai transplantasi liver. Baik yang menggunakan donor hidup maupun cadaver. Karena itu, keputusan kembali ke hotel ketika organ donor cadaver sudah dalam perjalanan ke OOTC adalah hal yang sangat saya sesali malam itu (baca Jawa Pos kemarin, Red). Mengapa saya memilih kembali ke hotel, padahal sesuatu yang paling kami nantikan sudah sangat dekat?

Begitu dalam penyesalan saya malam itu, hingga tak bisa memejamkan mata. Sebenarnya saya mau memeriksa foto hasil jepretan hari itu. Tapi, saya mendadak tak berselera.

Ingin sekali saya kembali ke rumah sakit, yang hanya berjarak sekitar 10 menit jalan kaki dari hotel. Tetapi, udara di luar sangat dingin, 12 derajat Celsius di bawah nol. Tubuh saya juga sudah kelelahan.

Saya tahu, kegelisahan saya itu sangat tak beralasan karena saya bukan dokter. Karena itu, saya tidak punya kepentingan langsung dengan operasi malam itu, kecuali untuk melengkapi tulisan ini dan memotret. Potretnya pun tak mungkin bisa dimuat karena terlalu teknis-medis.

Saya benar-benar tidak tahu. Kegelisahan itu karena saya adalah wartawan yang sejak awal karir saya sudah didoktrin dengan sangat kuat, agar tidak mengabaikan momen apa pun yang muncul pada kesempatan pertama. Momen yang bagus jarang bisa terulang. Dengan kata lain, jangan terlalu yakin akan datangnya kesempatan kedua.

Atau karena saya sedang terkagum-kagum pada besarnya tekad dr Philia Setiawan SpAn (KIC) untuk mengikuti pembelajaran tentang transplantasi liver ini hingga tuntas.

Begitu besarnya tekad itu, hingga dia memilih tetap stay di Tianjin, tidak buru-buru balik ke Surabaya ketika diberi tahu bahwa suaminya masuk ICU akibat nyeri dada yang hebat.

Meski ibu dua anak itu tidak menunjukkan ekspresi panik ketika mendengar kabar tersebut, saya yakin dia gelisah. Istri mana yang tidak panik dan gelisah ketika mendengar kabar seperti itu. Apalagi di rumahnya tidak ada siapa pun, kecuali dua anaknya yang belum cukup dewasa untuk meng-handle situasi itu.

Untung saja, keesokan harinya ada kabar baik. Nyeri dada suami dr Philia bukan karena serangan jantung atau apa pun yang serius.

Dan pagi itu, yang mendapatkan kabar baik ternyata bukan cuma Philia. Semua anggota tim bergembira, terutama saya. Sebab, setibanya di rumah sakit, kami diberi tahu bahwa siang itu akan ada donor cadaver. Dari mana? Kami tidak tahu dan tidak akan pernah tahu.

Jangankan asal usul donor jenazah, donor hidup pun tak bisa diketahui identitasnya. Jadi, meski di dinding kamar operasi terpampang sejumlah hasil CT Scan si donor, jangan berharap bisa menemukan nama si donor. Yang ada di foto itu hanya nomor registrasi, umur, dan jenis kelamin si donor.

Identitas donor sebaiknya memang tidak ditunjukkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya pemerasan terhadap resipien (penerima organ donor). Apalagi kalau donornya cadaver.

Seperti diketahui, Pak Dahlan Iskan ditransplan dengan organ dari donor jenazah. Tidak jelas, jenazah siapa dan meninggalnya karena apa. Bahwa ada yang memberi tahu donornya berumur 20 tahun, itu baik. Karena kalau donornya lebih muda, pengaruhnya akan sangat positif pada resipien. Minimal dia bisa merasa lebih muda dari sebelumnya.

Tetapi, kalau umur donornya lebih tua daripada si resipien, saya yakin, tak ada yang berani memberitahukannya. Begitu pula penyebab kematian si donor.

Soal penyebab kematian donor, kalau itu operasinya di Tiongkok, tak perlu lagi bertanya. Siapa pun bisa memastikan bahwa donor itu meninggal karena hukuman mati.

Seperti yang diakui dr Deng Yong Lin, salah seorang direktur OOTC, "Sampai sekarang, memang masih sekitar 67 persen dari total transplantasi di Tiongkok menggunakan donor cadaver," ujarnya. Padahal, total transplantasi liver di negeri itu berjumlah 14.000 kasus.

Dokter yang pernah mencetak rekor dengan keberhasilannya mentransplantasi liver terhadap bayi berumur tujuh bulan itu membenarkan bahwa organ-organ tersebut diperoleh dari para terpidana mati.

Donor hidup sendiri baru dilakukan center-nya pada 2006. Itu pun hanya satu kasus dari 655 kasus transplantasi liver yang dilakukan OOTC pada 2007.

Pada tahun berikutnya, jumlah donor hidup yang digunakan bervariasi antara 30 sampai 40 persen dari total transplantasi liver di situ.

Angka tersebut memang tinggi. Tetapi bandingkan dengan total penduduk Tiongkok yang kini sudah mencapai 1,5 miliar orang. Lihat juga dengan jenis-jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Di sana ada 68 jenis kejahatan yang bisa dikenai hukuman mati. Antara lain, korupsi, menilap (menggelapkan) pajak, pengedar dan penyelundup narkoba lebih dari 50 gram, perampok atau pencuri dengan kekerasan, pembunuh, perusak benda seni atau benda bersejarah, pembobol rumah dan pembunuh panda (binatang yang hanya ada di Tiongkok). Bandingkan dengan pasal-pasal hukuman mati di Indonesia.

Ketentuan tentang hukuman mati itu tidak hanya berlaku bagi penduduk lokal, tetapi juga orang asing. Dalam sejarahnya, sudah ada beberapa orang asing yang dihukum mati di Tiongkok. Pada 29 Desember 2009, negeri ini menghukum mati seorang warga negara Inggris keturunan Pakistan bernama Akhmal Shaikh, karena menyelundupkan 4 kilogram heroin pada 2007.

Semua vonis mati di sana tidak langsung dilaksanakan. Ada masa percobaan dua tahun. Selama itu, proses banding dilakukan negara secara otomatis. Artinya, setiap vonis mati selalu mendapatkan peninjauan dari pengadilan tinggi dan mahkamah agung. Proses ini memakan waktu paling lama dua tahun. Tetapi, eksekusi bisa langsung dilaksanakan bila dalam kurun waktu itu si terpidana melakukan pelanggaran hukum yang dinilai berat. Misalnya, memukul petugas, mencuri atau membunuh sesama narapidana.

Sejak 1950, setiap terpidana mati wajib membayar peluru yang digunakan saat eksekusi. Untungnya, eksekusi mati di sana dilakukan hanya dengan satu peluru, yang ditembakkan lewat kepala bagian belakang. Saat eksekusi dilakukan, kabarnya, terpidana harus membuka mulutnya. Ini dimaksudkan agar peluru yang menembus kepala bagian belakangnya bisa langsung meluncur ke pasir penahan yang diletakkan di depannya. Dengan begitu, peluru tidak mandek di kepala dan menghancurkan wajah si terhukum.

Pada 2005, kabarnya jumlah terhukum mati di sana ada 10.000 orang. Jumlah tersebut menurun drastis pada tahun-tahun berikutnya. Dan pada 2009, Amnesti Internasional mencatat adanya 1.718 hukuman mati di sana. Namun, badan dunia ini yakin, faktanya lebih banyak dari itu.

Pada 2007, pemerintah Tiongkok mengeluarkan aturan baru: Organ terhukum mati tidak lagi boleh diambil untuk transplantasi, kecuali memang ada izin tertulis dari keluarga atau si terpidana. Pemerintah akan memberikan sejumlah kompensasi kepada keluarga terpidana mati yang menyerahkan organnya. Nilainya sangat bergantung pada berapa banyak organ yang dia donorkan. Semakin banyak yang dia serahkan, semakin banyak pula kompensasi yang diterima keluarga.

Kesediaan mendonorkan organ ini harus dilakukan sejak awal vonis dijatuhkan. Sebab, organ mereka tidak secara otomatis diterima. Akan diperiksa dulu secara detail. Ini perlu untuk mengetahui kualitas organ yang didonorkan.

Napi yang berumur lebih dari 55 tahun pasti tidak memiliki opsi tersebut. Tetapi, yang lebih muda juga tidak otomatis mendapatkannya. Napi yang hidupnya bergantung pada insulin -karena menderita penyakit kencing manis atau diabetes mellitus, kerusakan ginjal, menderita kanker yang sudah menyebar dan penyakit lain yang bisa merusak organ-organ penting- juga tidak bisa mendonorkan organnya.

Biaya pemeriksaan calon donor ini tidak murah. Karena itu, selama menanti masa eksekusi, kesehatan para donor dipantau secara ketat. Setiap satu atau dua bulan sekali dilakukan pemeriksaan ulang.

Seperti yang saya tulis di bagian awal tulisan ini, organ yang bisa didonorkan hanya organ yang masih 'hidup'. Artinya, masih dalam keadaan dialiri darah dan oksigen ketika diangkat dari tubuh. Itu berarti dokter harus bisa mengembalikan denyut nadi dan gerak paru-paru si terpidana mati, secepat eksekusi dilakukan.

Prosedur eksekusi di sana sama dengan di negara lain. Begitu ditembak, langsung diperiksa apakah terpidana memang sudah mati. Artinya, tidak ada reaksi apa pun yang menandakan bahwa dia masih hidup.

Secara medis, semua orang pasti mati kalau kepala bagian belakangnya (letak batang otak, yang menghubungkan otak besar dan otak kecil yang terletak di tengkuk bagian atas) dihajar peluru.

Pemeriksaan untuk memastikan bahwa si terpidana sudah tewas harus dilakukan dengan sangat cepat. Sebab, dalam keadaan tanpa oksigen dan darah (nutrisi), organ-organ penting kita hanya bertahan maksimal 10 menit.

Sayang, kami tidak punya kesempatan melihat atau mendapatkan penjelasan tentang bagaimana dokter mengangkat organ-organ dari terpidana mati yang sudah dieksekusi. Rasanya kesempatan ini juga tidak akan pernah diberikan kepada kami, karena ini menyangkut rahasia negara.

Mungkin karena serbacepat itu, pengambil organ harus dokter bedah yang sudah sangat terlatih. Sebab, sedikit kesalahan, bisa berakibat fatal pada organ. Untuk liver, misalnya. Permukaannya yang semulus pipi bayi tak boleh tergores sedikit pun. Begitu pula pembuluh darah utama yang dipotong harus cukup panjang untuk disambung, kemudian memasang klamp khusus untuk menutup ujung-ujungnya. Begitu pula halnya dengan ginjal, paru-paru, jantung, pankreas, usus halus, dan organ lain yang bisa ditransplantasikan.

Mungkin karena membayangkan bagaimana organ-organ itu dikeluarkan, ketika kali pertama melihat liver donor cadaver, tubuh saya langsung menggeletar. Wajah saya memucat, telapak tangan dan kaki saya dingin serta berkeringat.

Organ tersebut datang dalam keadaan direndam ringer laktat (cairan khusus yang bisa untuk infus) dingin dalam kantong plastik khusus rangkap tiga. Saat dikeluarkan, liver itu masih menyatu dengan lembaran diafragma. Itu otot yang memisahkan organ perut dan dada. Kantong plastik tersebut lantas dimasukkan dalam sebuah tas kotak yang mirip kotak pengantar makanan. Perhatikan foto yang dimuat kemarin.

Begitu dikeluarkan dari wadahnya, liver itu harus dicuci ulang dan dilepaskan dari diafragma yang menempel. Proses tersebut memakan waktu yang relatif lebih lama dari mencuci liver dari donor hidup. Setelah diafragmanya terlepas, barulah pencucian untuk membersihkan sisa darah dari sel-sel dan pembuluh-pembuluh darahnya dilakukan.

Setelah bersih dari darah, lemak, dan diafragma, liver dibungkus kain steril yang sudah diberi pecahan es yang dibuat dari ringer laktat yang dibekukan.

Dari yang kami lihat, menyambung liver donor cadaver lebih mudah daripada nyambung liver dari donor hidup yang hanya separo. Teorinya, sebelum disambungkan, liver harus ditimbang. Tetapi, karena sudah terlalu sering melakukan transplantasi, bagian itu tidak dilakukan tim di Tianjin. Tanpa menimbang pun, mereka sudah tahu apakah liver itu pas dengan tubuh resipien atau tidak. (bersambung/kum)
Selengkapnya...

Surabaya Transplant Center 5

Sumber : Jawapos, Senin 01 Februari 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=114806

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (5)

Donor Datang Tengah Malam pun Langsung Operasi

Selain melihat proses transplantasi dengan donor hidup, tim RSUD dr Soetomo Surabaya mempelajari transplantasi dengan donor cadaver alias mayat. Sayang, datangnya donor jenazah tak bisa diprediksi. Meski pasien sudah dibedah, kepastian itu tetap belum ada. Oleh: Nany Wijaya, Wartawan Jawa Pos


---

SETELAH melihat langsung bagaimana transplantasi dengan donor hidup dilakukan, kami menanti kesempatan mempelajari penggantian hati dengan donor cadaver. Kami memang sudah dijanjikan untuk ini. Tetapi, kapan? Untuk menanyakannya, kami juga tidak tega. Selain karena kami sudah mendapat banyak kesempatan melihat donor hidup, donor cadaver kan tidak bisa ditentukan.

Dengan donor hidup pun kami sebenarnya sudah mendapatkan banyak kasus. Yang pertama, kasus sirosis liver berat, yang membuat liver mengecil hingga tinggal 40 persen. Kasus berikutnya, sirosis yang tidak seberat yang pertama, tetapi disertai kanker. Ini mirip kasusnya Dahlan Iskan.

Akhirnya saya beranikan diri untuk bertanya kepada Ellen Wei, sekretaris Prof Dr Shen Zhongyang, orang nomor satu di OOTC. Ellen bilang, sampai saat saya bertanya itu, belum ada informasi tentang kapan akan ada donor cadaver untuk OOTC (Oriental Organ Transplant Center). Seperti yang dijelaskan dr Wentao Jiang, wakil direktur OOTC, di Tiongkok saat ini ada 30 pusat transplantasi besar dan kecil. Salah satunya OOTC. Angka tersebut sudah sangat kecil bila dibandingkan dengan empat lima tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 100.

Sedikit tentang Ellen. Sarjana bahasa Inggris ini punya peran penting dalam perjalanan kami ke Tianjin. Tanpa bantuan dia, mustahil tugas-tugas kami di Tianjin terlaksana dengan baik. Sebab, dialah yang mengomunikasikan kedatangan dan kebutuhan kami kepada para dokter yang memegang peran di OOTC. Ibu satu anak ini juga sangat perhatian kepada kami. Kalau akan ke kamar operasi, dia selalu menganjurkan kami menyimpan tas, jaket, dan barang-barang lain di kamar bosnya, Prof Shen Zhongyang. Kebetulan, ahli transplan liver yang menjadikan OOTC menggapai masa keemasannya itu sedang bertugas di Beijing. Karena keberhasilannya itu, selain di OOTC, Shen ditugasi memimpin pusat transplantasi liver yang ada di Army Hospital, Beijing.

Bertubuh tinggi semampai, Ellen memiliki wajah yang kata teman-teman Surabaya, mirip artis Hollywood asal Malaysia, Michelle Yeoh semasa muda. Ellen sendiri ternyata tak tahu siapa bintang terkenal yang bermain bareng Chow Yun Fat di film Crouching Tiger, Hidden Dragon itu.

Selain barang-barang bawaan kami, yang tak luput dari perhatian Ellen adalah makanan kami. Terutama kalau kami mengikuti operasi. Dia tak pernah lupa menyuruh petugas menyiapkan makanan buat kami di ruang pertemuan di lantai 12. Tempat para dokter biasanya berdiskusi tentang kasus-kasus yang akan atau baru saja dioperasi.

Selain Ellen, selama di sana kami ditemani seorang gadis cantik bernama Cindy. Sarjana bahasa Inggris ini adalah penerjemah resmi OOTC, yang kami booked untuk menemani kami selama enam hari. Tetapi, anak tunggal ini tidak mendampingi kami selama 24 jam. Setelah pukul 18.00, dia akan pamit. Kecuali pada hari terakhir kami di kamar operasi, dan Ellen juga ikut.

Yang menarik dari Cindy adalah penguasaan bahasa asing dan istilah-istilah serta prosedur teknis medis dalam transplantasi. Padahal, baru enam tahun dia bekerja di OOTC. Untuk bahasa asing, dia menguasai enam bahasa. Mulai Inggris sampai Hebrew atau Ibrani. Bahasanya orang-orang Israel. Beberapa tahun lalu, OOTC menerima cukup banyak pasien transplan liver dari Israel. Tetapi, itu terhenti tahun lalu karena dilarang pemerintah. Mungkin sekarang Israel sudah bisa melakukan sendiri transplantasi liver.

Hari mulai gelap. Hanya saya, dr Philia, dr Arie, dan perawat Eko yang memilih tinggal di rumah sakit. Trio anestesi dan ICU itu ingin mendalami teknik perawatan pasien-pasien transplan liver yang baru operasi, hingga saat dipindahkan ke ruang masing-masing. Delapan anggota tim yang lain pulang. Mereka berencana makan malam di restoran muslim.

Hari itu merupakan hari pertama kami mempelajari ICU-nya OOTC.

Kebetulan, bahasa Inggris dokter jaga yang bertanggung jawab saat itu bagus. Namanya dr Ming Yu. Di antara kami hanya dr Philia yang bahasa Mandarinnya lumayan fasih. Meski sudah lama tak dia gunakan, karena orang tua dan saudara-saudaranya sudah boyong ke AS.

Karena Ming Yu bisa berbahasa Inggris dan Philia bisa Mandarin, kami bisa dapat banyak ilmu malam itu. Di antara hal baru yang kami dapatkan malam itu adalah jumlah dan jenis alat monitor yang digunakan pasien selama di ICU ikut memengaruhi besarnya biaya yang harus ditanggung penderita.

Karena itu, untuk membantu pasien menghemat biaya, OOTC punya kebijakan yang perlu ditiru semua rumah sakit di Indonesia: Alat monitor yang tak terlalu diperlukan pasien, tak perlu disambungkan. Apalagi, jika pasiennya stabil. Dia tak menjelaskan (atau karena saya tidak bertanya), bagaimana dengan pasien VIP dan VVIP. Apakah juga perlu dibantu berhemat?

Sayangnya, Ming Yu tak bisa mengingat pasien-pasiennya, termasuk yang dari lantai 10 dan 11. Dua lantai tersebut memang dikhususkan untuk ruang perawatan pasien-pasien VIP dan VVIP. Dahlan Iskan sendiri opnamenya di lantai 11. Karena itu, operasinya diawasi sendiri oleh Prof Shen. Dan, yang menjadi kapten operator (yang memimpin tim ahli bedahnya), dr Deng langsung.

Seperti halnya di kamar operasi, suasana di ICU pasien transplan ini juga tidak menegangkan, meski sunyi. Sunyi karena di ruang itu tak ada perawat atau dokter yang ngobrol. Semuanya -kecuali yang sedang memeriksa pasien- berkumpul di satu ruang yang dipenuhi monitor komputer. Setiap monitor terhubung dengan semua mesin di tiap bilik. Dari monitor-monitor itulah para pasien dipantau.

Sistem jaga di ICU ini juga unik. Setiap orang kebagian piket lima kali 24 jam dalam seminggu. Selama itu mereka tidak diperkenankan meninggalkan ICU, kecuali memang ditugasi oleh direktur ICU.

Sekitar pukul 19.00 lebih sedikit, ketika perut terasa mulai lapar, kami meninggalkan ICU. Karena untuk kembali ke kamar ganti kami harus melewati lantai 13, jadi naik dulu. Kami pun naik. Kesempatan itukami gunakan untuk melongok kamar-kamar operasi yang ada di situ. Hampir semuanya sudah dirapikan dan disiapkan untuk keesokan paginya. Yang ada hanya satu resipien, yang operasinya sudah kami ikuti. Itu pun hampir selesai. Tinggal merapikan jahitan.

Saat mau meninggalkan ruang itu, saya berpapasan dengan dr Du Hongyin, direktur anestesi. Saya lihat dia sibuk menyiapkan alat penghangat cairan. Heran, direktur kok nyiapin alat sendiri. "Kan bisa dilakukan perawat yang tugas pagi, dok?" tanya saya dalam bahasa Inggris.

"Tidak bisa. Sebentar lagi ada operasi, cadaveric, dua," jawabnya.

Mendengar itu, rasanya seperti dapat angin surga. Pucuk dicinta, ulam tiba.

Kagum saya pada dokter-dokter di center ini. Benar-benar siaga 24 jam.

Begitu donor cadaver datang, langsung operasi. Tak peduli malam atau hari libur. Kalau kelak di Surabaya ada donor cadaver, apakah para dokternya juga bisa sesiap itu ya? Ini mengingat mereka juga punya praktik pribadi.

Sesaat kemudian, dr Jia Hong yang juga ahli anestesi datang. Dokter wanita yang pernah tiga tahun bertugas di Kongo ini mengaku memang dihubungi center untuk menyiapkan operasi itu.

Teman-teman yang sedang makan malam saya hubungi. Komitmen mereka untuk belajar transplantasi ternyata juga hebat lho! Begitu tahu akan ada operasi dengan donor cadaver, mereka langsung meninggalkan makan malamnya, dan kembali ke rumah sakit.

Setengah jam kemudian, dua pasien lelaki berkulit kuning didorong ke ruang operasi nomor enam dan tujuh. Seorang perawat menempelkan tulisan tentang golongan darah pasien di dekat pintu. Kondisi keduanya tidak sama. Yang satu dengan perut segede gunung (ascites), yang satu lagi biasa. Keduanya memasuki kamar operasi dalam keadaan masih mengenakan piyama rumah sakit.

Persiapan dilakukan. Saya tidak perlu mengulang cerita tentang persiapan ini. Semuanya sama dengan kalau menggunakan donor hidup. Cara pembiusannya, pemasangan swan ganz dan arteri line di leher sampai caranya membuka rongga perut juga sama.

Begitu persiapan selesai, tim ahli bedah masuk. Saya menunggu di ruang nomor enam, tempat pasien yang ascites_nya besar itu. Rencananya, pasien ini ditangani dr Jiang Wentao.

Sampai setengah jam saya menunggu, tak ada tindakan lanjutan. Dr Jiang sendiri sibuk berbicara di telepon. Apa yang dia bicarakan, saya tidak tahu. Tetapi, dari ekspresinya terlihat bahwa dia sedang bingung. Begitu dia selesai menelepon, saya dekati dan saya tanya.

Dengan bahasa Inggris yang sangat bagus, dia ceritakan bahwa pesawat donor baru mendarat, tetapi liver tidak bisa dibawa ke OOTC karena hi-way-nya sedang sangat licin akibat salju. Malam itu udaranya memang sedang buruk.

Bagaimana donor untuk pasien di kamar nomor tujuh? Saya tidak bisa membayangkan kalau donornya juga tidak segera datang. Sebab saya sempat melihat dokter mulai melakukan insisi (penyayatan) di perut.

Ketika saya bertanya kepada dr Jia, yang sedang menjaga pasien itu, jawabannya juga sama: Belum ada kejelasan tentang posisi donor. Tetapi, pasti datang. Sumber lain yang saya hubungi malam itu, juga tak bisa memastikan, jam berapa donor-donor cadaver itu datang.

Saya lantas ingat tulisan Pak Dahlan di buku Ganti Hati-nya. Di situ juga disebutkan bahwa dia harus menunggu tiga jam, dalam keadaan terbius.

Karena tak ada kepastian, saya tinggalkan ruang operasi. Bukan untuk pulang, tetapi makan di ruang pertemuan di lantai 12.

Di situ ternyata teman-teman yang tadi makan sudah berkumpul dengan seragam operasi, termasuk masker dan cap (topi)nya. Setelah makan, dr Poerwadi menawarkan untuk pulang dan kembali besoknya, pagi-pagi sekali. Saya menolak, mulanya. Tapi, setelah dijelaskan tentang kondisi pasien yang ada di ruang tujuh, yang tadi mulai disayat perutnya, saya jadi ragu.

Seusai makan, saya dengan ditemani dr Iwan kembali ke lantai 13. Untuk memastikan yang dikatakan dr Poerwadi tadi. Ternyata benar. Dokter yang mendampingi operasi menjelaskan bahwa kondisi pasien itu memang menyulitkan ahli bedah dan dipastikan memakan waktu lama untuk membuka perutnya. Mengapa?

Pasien itu ternyata menderita kanker liver yang sangat parah. Kankernya sudah ada di mana-mana. Kanker itu bukan cuma disertai sirosis (livernya penuh benjolan, mengeras dan mengerut) saja. Tetapi, juga telah menyebabkan terjadinya perlekatan ke dinding perut.

Sebelum menggapai liver dan kemudian memotongnya, dokter harus melepaskan perlekatan-perlekatan itu. Ini sangat tidak mudah. Titik kritis lain yang masih harus dihadapi tim dokter bedah adalah saat harus memotong pembuluh darah yang menyambung ke liver. Karena kanker dan sirosis yang sudah parah, terjadi tekanan darah yang sangat tinggi di pembuluh itu. Kalau tidak hati-hati memotongnya, pasti terjadi perdarahan hebat.

Kesulitan dokter bedah menjadi sempurna ketika nanti ternyata pembuluh darah yang ke liver sudah mengalami trombosis (penyumbatan).

Ahli bedah digestif dari Surabaya yang selama di OOTC sangat rajin bertanya, dr Iwan Kristian SpB-KBD (bukan dr Iwan Setiawan seperti tertulis kemarin, maaf) lantas mengajak saya ke dinding samping meja operasi, di mana hasil CT-scan pasien dipampangkan.

Di situ terlihat bahwa pasien tersebut sudah pernah menjalani beberapa kali pembakaran kanker (TACE). Persis seperti Pak Dahlan Iskan, sebelum transplantasi. Selain itu, pasien ini pernah menjalani tindakan pengikisan kanker yang dikenal dengan istilah ablasi. Itu terlihat dari tepian livernya yang sudah tidak utuh lagi, alias cuwil di beberapa bagian.

Jadi, secara medis, sebenarnya pasien ini sudah sangat parah dan tidak layak ditransplantasi karena chance-nya untuk berhasil sudah sangat tipis.

Terlepas dari diskusi itu, saya lantas bertanya sendiri dalam hati. Mengapa tim dokter OOTC masih mentransplan pria setengah baya itu kalau memang tingkat keberhasilannya untuk bertahan hidup tinggal sedikit? Ini bisnis atau karena mereka memang mampu mengatasi problem itu? Pertanyaan ini akan saya carikan jawabnya.

Sampai menjelang tengah malam, tepatnya pukul 23.00 waktu setempat, saya belum melihat ada tanda-tanda liver donor tiba. Karena itu, saya memutuskan kembali ke hotel.

Dasar nasib. Menjelang kami keluar dari ruang ganti, telepon saya berbunyi. Cindy mengabarkan bahwa livernya sudah on the way ke rumah sakit. Diperkirakan sebelum pukul 24.00, organ penyelamat itu sudah tiba.

Sayangnya, saya terlanjur mengembalikan baju operasi. Malas untuk memakainya lagi. Jadi, ya saya pulang.

Esok paginya, saya tahu bahwa operasi itu baru selesai pukul 06.00. Itu berarti, dr Jiang harus melek sampai pagi. Padahal, pukul 09.00, atau tiga jam setelah operasi, dia harus memberi kami kuliah tentang transplantasi liver. (bersambung/kum)
Selengkapnya...

01 Februari 2010

Surabaya Transplant Center 4

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (4)
Sumber: Jawapos, Minggu 31 Januari 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=114563

Tempat Mencuci Liver Itu Mirip Meja Pencuci Piring

Bayangan banyak orang -kecuali ahli bedah, mungkin-tentang ruang transplantasi organ pastilah sebuah kamar operasi yang besar, menegangkan, dengan belasan ahli bedah yang tangan dan baju operasi belepotan darah. Benarkah begitu? Dan, bagaimana di OOTC yang sehari bisa 8-9 kali transplan?

Nany Wijaya, Wartawan Jawa Pos

---

DALAM karir saya sebagai wartawan, saya pernah meliput dan mempelajari tentang transplantasi liver dan jantung pada 1993 di Australia. Kemudian, pada 2006 di Singapura. Tetapi, baru kali ini saya melihat langsung operasi transplantasi liver di kamar operasi, mulai persiapan hingga pasien dipindah ke ICU. Dari yang menggunakan donor hidup sampai cadaver (mayat).

Ternyata, suasananya tak seperti yang saya bayangkan: Tegang, berdarah-darah, dan jumlah ahli bedahnya banyak. Jumlah dokter dan perawat yang terlibat tidak banyak. Suasananya santai. Tangan para dokternya juga tidak sampai berlumuran darah. Sekali pun saat pasien (resipien, penerima organ) mengalami pendarahan hebat, seperti yang kami saksikan pada kasus yang kedua.

Karena para dokter dan perawatnya tidak tegang, mereka tidak terganggu oleh kehadiran kami yang berjumlah 12 orang dan selalu ingin tahu apa saja yang ada dan terjadi di situ. Termasuk obat, alat, dan cairan yang dipakai. Padahal, kamar operasinya tidak besar, hanya sekitar 6 x 8 meter.

Dan, karena itu, anggota tim Surabaya bisa riwa-riwi sesukanya. Dari ruang resipien ke ruang donor, balik lagi ke resipien, lantas ke donor lagi, dan kembali ke resipien.

Bukan hanya itu. Kami juga boleh mengabadikan apa saja yang kami mau, asal bukan wajah donor dan resipien. Akses itu tentu seperti angin surga bagi dr Hanindito SpAn (KIC) yang ahli anestesi, dr Vicky Sumarki SpB (KBD) yang ahli bedah digestif (perut), dr Heroe Soebroto SpBTKV yang ahli bedah vaskuler, dan perawat bedah Choirul Anam. Dengan begitu, mereka bisa memotret dan memvideokan semua.

Selain memotret, selama di kamar operasi kami boleh berdiskusi dengan para senior dan direktur transplant liver. Kesempatan itu juga tak disia-siakan oleh tim Surabaya. Di antara yang pernah mereka ajak diskusi di ruang operasi adalah dr Shen Zhongyang (Presdir), dr Deng Yonglin (direktur), dr Zhu Zhijun (direktur), dr Pan Cheng (direktur), dr Du Hongyin (direktur), dr Zhang Jian Jun (wakil direktur), dan dr Yu Wenli (wakil direktur). Mereka semua ahli bedah, kecuali dr Du dan dr Yu.

Dokter Du adalah ahli anestesi dengan rekor penanganan kasus transplan terbanyak di dunia. Begitu hebatnya sehingga Amerika Serikat pernah meminta dia menjadi konsultan ICU dan anestesi pasien transplan selama enam bulan.

Kami benar-benar berterima kasih kepada OOTC (Oriental Organ Transplant Center) untuk akses yang luar biasa itu. Sebab, dengan begitu, setiap anggota tim Surabaya jadi bisa mempelajari semua detail dan tahap transplantasi, mulai donor hingga resipien.

Untuk pembedahannya, misalnya. Meski yang donor dan resipiennya orang dewasa, yang mempelajari tahap operasi bukan hanya dr Iwan Setiawan SpB (KBD -konsultan bedah digestif) dan dr Vicky Sumarki Budipramana SpB (KBD). Tetapi, juga dr Poerwadi dan dr IGB Adria Hari Astawa SpB SpBA yang sebenarnya ahli bedah anak serta dr Heroe dan perawat Choirul.

Saking seriusnya, dr Adria hingga betah berdiri di dekat meja operasi berjam-jam. Apalagi, dr Iwan dan dr Vicky yang memang bidangnya.

Begitu pula dr Heroe. Kalau sudah tiba saatnya memotong, meng-klamp atau anastomosis (menyambung pembuluh darah), dokter berumur 48 tahun itu nyaris tak berkedip melihatnya. Kalau bukan itu yang dilakukan dokter, dia menjadi ''wartawan''. Mencatat semua jenis obat, cairan, detail tindakan dan waktunya, dari menit ke menit.

Yang tak kalah sibuknya adalah trio ahli anestesi/konsultan ICU (dr Elizeus Hanindito SpAn-KIC, dr Arie Utariani SpAn-KIC, dan dr Philia Setiawan SpAn-KIC), serta perawatnya, Ekko Yeppianto. Meski bidang tugasnya seputar pembiusan dan ''maintenance'' pasien selama operasi dan setelah di ICU, mereka tak mengabaikan tahap pembedahan. Sebab, kata dr Arie, semua tindakan yang diambil ahli bedah berpengaruh langsung kepada kondisi pasien selama dan sesudah operasi. Misalnya, tekanan darah, denyut jantung, temperatur tubuh, pernafasan, dan masih banyak lagi.

Selain perlu, semua tahap dalam transplantasi liver sangat menarik untuk dicermati, baik yang ada pada donor maupun resipien. Pada donor, yang paling menarik adalah prosedur pemotongan hepar atau livernya. Sebelum membelah, dokter harus lebih dulu menandai pembuluh-pembuluh darah penting dan saluran empedunya dengan pita-pita kecil berwarna merah, biru, dan kuning. Setelah itu, baru dipotong. Bagaimana memotongnya, kan sudah saya ceritakan di tulisan kemarin.

Setelah terpisah dari tubuh donor, potongan liver itu diserahkan kepada dokter yang ahli untuk dicuci. Dari mana pun asalnya, dari donor hidup maupun cadaver, liver yang akan ditransplantasikan harus lebih dulu dicuci bersih hingga tak ada lagi darah di dalam pembuluh-pembuluh darah.

Sebab, sisa darah itu bisa mengakibatkan trombosis atau penyumbatan pada pembuluh darah setelah liver disambungkan ke tubuh pasien. Jika itu sampai terjadi, repotnya bukan main. Kalau keburu ketahuan, bisa re-open atau dibedah ulang. Kalau tidak, pasien bisa meninggal.

Pencucian potongan liver donor dilakukan di ruang operasi yang sama dengan donor. Tepatnya di meja kecil yang diletakkan tak jauh dari kaki donor.

Mencuci liver bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan keahlian khusus, kesabaran, dan ketelatenan karena liver adalah organ yang strukturnya sangat lunak dan mudah robek.

Meja untuk mencuci liver mirip dengan meja cuci piring di dapur-dapur rumah. Hanya, ukurannya lebih kecil. Sekecil meja mesin jahit. Di atas lubang baskom itu diletakkan baskom lain yang sudah diisi pecahan es batu. Lantas, ditutup dengan kain steril berwarna hijau (kadang biru). Setelah itu, di atasnya diletakkan baskom lain lagi berisi cairan ringer laktat yang sudah didinginkan. Di baskom yang paling atas itulah potongan liver donor dicuci dan dirapikan. Untuk menjaga agar tetap dingin, biasanya di situ dimasukkan juga sepasang kaus tangan dari karet yang dalamnya diisi es dan diikat ujungnya. Di dalam cairan dingin itulah hepar dicuci.

Mula-mula dokter mencuci bagian luar liver, sambil memijat-mijat supaya darahnya ikut luruh. Setelah itu, liver diangkat, dipindah ke baskom lain berisi cairan dingin yang sama.

Di sini, liver dibilas sambil terus dipijat dengan lembut. Setelah itu, ke pembuluh-pembuluh darahnya dimasukkan cairan dingin, tapi dengan sedikit tekanan, sambil terus dipijat-pijat. Itu dimaksudkan agar sisa-sisa darah yang masih menempel di dalam pembuluh darah bisa ikut luruh.

Setelah bersih, barulah tepiannya dirapikan. Kemudian, mulut vena hepatika (pembuluh darah balik hepar) yang di tengah dan di kanan dilebarkan, lantas bagian tepiannya yang berdekatan disatukan dengan cara dijahit. Tujuannya, memudahkan operator saat menyambungkan ke tubuh pasien. Pekerjaan itu membutuhkan waktu 40-60 menit.

Sementara liver donor dicuci, bagaimana nasib si pasien atau resipien? Ada kalanya waktu pembedahan antara donor dan resipien tidak sinkron. Kadang donornya selesai lebih dulu, kadang juga sebaliknya. Dalam keadaan donor selesai lebih dulu, dokter tidak langsung membelah livernya. Kalau sudah terpisah dari tubuh, liver tak bisa bertahan lebih dari 10 menit. Tapi, kalau didinginkan, ischemic time (ketahanan)-nya bisa sedikit lebih lama. Dalam keadaan dingin, liver cadaver bisa tahan hingga 10 jam.

Karena itu, kalau resipiennya belum siap, liver donor hidup tidak dipotong walau rongga perutnya sudah terbuka. Dengan kata lain, perut donor yang sudah terbuka itu dibiarkan menganga dengan liver yang naik turun mengikuti gerak jantung. Itu yang kami lihat pada donor pertama pada Senin (18/1) itu. Supaya tidak tersentuh atau kejatuhan apa-apa, permukaan perut yang terbuka itu ditutup kasa steril.

Begitu pula sebaliknya, ketika resipiennya lebih dulu siap. Juga akan dibiarkan begitu. Kecuali tinggal menunggu penyelesaian proses pencucian, yang tak lebih dari 45 menit. Kalau cuma menunggu segitu, dokter berani memotong liver pasien yang memang sudah rusak.

Manajemen waktu antara pemotongan liver resipien dan pemasangan liver baru harus benar-benar bagus. Sebab, setelah dibersihkan, liver donor yang sudah tak lagi mengandung darah -sehingga warnanya berubah kecokelatan seperti hati sapi yang direbus- harus segera disambungkan ke tubuh resipien agar bisa segera dialiri darah. Sedangkan resipien, dalam keadaan tanpa hepar atau anhepatic, juga tak bisa bertahan lebih dari 1,5 jam. Kecuali sebelum livernya dipotong, pembuluh darah dari tubuh bagian bawah yang biasa lewat liver sudah lebih dulu di-by pass dengan pembuluh di bagian tubuh atas. Dengan begitu, selama anhepatic, aliran darah dari dan ke jantung tetap normal sehingga pasien bisa bertahan lebih lama meski tanpa hati.

Teorinya, by pass itu memang harus dilakukan. Tetapi, di OOTC, itu tidak dilakukan. Alasannya, terlalu makan waktu. Bagi center tersebut, itu bukan masalah karena mereka sudah sangat berpengalaman sehingga bisa bekerja lebih cepat dan sinkronisasi waktu antara tim bedah donor dan resipien sudah sangat bagus. Lebih dari itu, mereka punya dr Du yang dikenal jagoan dalam manajemen re-perfusi (mengalirkan kembali) darah jantung. Dia ini juga yang menangani anestesinya Dahlan Iskan saat operasi ganti hati.

Meski begitu, ternyata mereka tetap tidak ngawur. Buktinya, untuk urusan waktu, tim resipien masih berkordinasi dengan tim pencuci liver donor.

Pada kasus transplantasi kami yang kedua (Selasa, 19/1), kami mendapatkan pengalaman lain: Liver resipien yang kondisinya sangat buruk akibat kanker dan sirosis sudah dipotong, ketika liver donornya -yang juga donor hidup-sedang dicuci. Kalau begitu, apa yang terjadi?

Tidak apa-apa. Seperti yang saya sebutkan tadi, selama masih dalam batas waktu aman, resipien bisa dipertahankan hidup tanpa liver. Karena liver adalah yang terbesar di rongga perut, ketika organ itu diangkat, perut bagian atas menjadi melompong seperti mulut orang ompong yang menganga. Seperti pada donor tadi, permukaan rongga perut yang menganga itu ditutup dengan kasa agak lebar.

Setelah itu, tim dokter dan para perawat keluar ruangan tanpa berpesan apa pun kepada kami yang masih tinggal di ruangan itu. Ke mana mereka, tak tahu. Kemungkinan mengecek liver donornya, mungkin juga makan.

Sekitar 40 menit kemudian, tim dokter dan perawat masuk lagi dengan dr Pan sebagai kapten tim. Saat tersulit dan salah satu kunci keberhasilan transplantasi ada pada penyambungan liver donor ke resipien ini. Makanya yang ''turun'' adalah jagoannya. Menurut dr Shen Zhongyang, di OOTC ada 10 orang ahli yang tugasnya seperti dr Pan itu. Di antara 10 orang itu adalah para direktur transplantasi, termasuk dirinya. Hebat! Jagoan yang lain, di luar dr Pan adalah dr Zhu, dr Zhang, dr Deng, dr Zheng, dan dr Jiang.

Lima menit setelah mereka menempati posisi masing-masing, potongan liver donor dibawa masuk dengan nampan stainless steel yang pasti steril. Sebelum dibawa keluar ruangan, potongan liver itu lebih dulu dibalur dengan remahan es yang terbuat dari cairan ringer laktat,, lantas dibalut rapat, tapi tidak ketat, dengan kain putih yang steril.

Secepatnya, liver itu disambungkan dengan pembuluh-pembuluh darah resipien. Pekerjaan itu tak kalah rumitnya dengan pembelahan liver donor dan pencopotan liver resipien. Apalagi kalau yang disambungkan liver dari donor hidup. Sebab, yang harus disambung bukan hanya pembuluh darah yang besar, tetapi juga yang kecil-kecil. Sementara dalam proses penyambungan, liver baru itu diselimuti kain steril yang dingin. Itu dimaksudkan untuk menjaga masa ischemic liver baru.

Butuh waktu sekitar dua jam -kalau lancar dan tak ada kebocoran- bagi tim inti untuk menyambungkan liver baru itu. Ketika bagian yang disambung tinggal sedikit, liver baru tersebut diguyur cairan hangat. Itu dimaksudkan untuk mengembangkan kembali pembuluh-pembuluh darah yang tadinya -saat masih dingin- mengerut.

Begitu tersambung dengan pembuluh darah resipien, secara perlahan, liver baru yang warnanya sudah seperti hati sapi yang direbus itu perlahan berubah menjadi merah. Makin lama merahnya seperti saat masih menyatu dengan tubuh donor. Ajaib ya!

Untuk memastikan apakah aliran darah di pembuluh-pembuluh yang baru disambung itu sudah benar-benar sempurna, liver yang baru tersambung dicek dengan Doppler, alat sejenis ultrasonografi (USG) yang tampilan gambarnya berwarna. Caranya adalah dengan menggesek-gesekkan probe atau ujung Doppler yang terbungkus plastik steril ke permukaan liver baru yang hanya separo itu. Kabarnya, RSUD dr Soetomo juga sudah punya alat tersebut. Tapi, tanpa probe, yang sebenarnya harganya tak terlalu mahal. Semoga Gubernur Jatim Soekarwo juga bersedia melengkapi kebutuhan itu.

Begitu hasil scanning-nya baik, kapten baru tadi bisa meninggalkan tempat. Pekerjaan dilanjutkan oleh tim sebelumnya karena sudah lebih ringan. Yakni, menyambung saluran empedu, merapikan isi perut, dan kemudian menutupnya kembali. (bersambung/kum)
Selengkapnya...

30 Januari 2010

Surabaya Transplant Center 3

Sumber : Jawapos, Sabtu 30 Januari 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=114377

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (3)

Dipotong Pakai Cusa, Harus Rapi dan Tidak Berdarah

Tepat sekali mantan CEO Jawa Pos yang kini menjadi Dirut PLN Dahlan Iskan menganjurkan tim liver transplant RSUD dr Soetomo agar belajar ke OOTC, Tianjin, Tiongkok. Para ahli di sana mengizinkan kami melihat dari dekat setiap tahap dalam transplantasi, baik pada donor maupun resipien (penerima)-nya.

Nany Wijaya, Wartawan Jawa Pos

---

Transplantasi liver adalah pekerjaan yang rumit, detail, dan membutuhkan banyak ahli. Apalagi, yang diganti adalah organ sebesar dan sepenting liver. Pastilah ruang operasinya besar, peralatan canggih, operasi belasan jam de­ngan belasan ahli bedah dan anestesi.

Setidaknya, itulah yang ada di benak saya. Saya tidak tahu gambaran para dokter yang bersama saya karena saya tidak bertanya.

Ketika tiba di ruang ganti OOTC (Oriental Organ Transplant Center) yang terletak di lantai 12, saya yakin gambaran itu tidak salah. Sebab, di ruang ganti wanita saja, ada lebih dari 200 loker yang terbagi dua. Satu loker di bagian depan, dekat rak sandal. Satu lagi di belakang, dekat kamar mandi dan pintu ke tangga yang menuju ke ruang operasi di lantai 13. Yang di ruang ganti pria juga begitu.

Seperti di rumah sakit lain, sebelum masuk kamar operasi OOTC, kita juga harus pakai baju dan sandal khusus kamar operasi, yang benar-benar bersih. Untuk mendapatkan baju dan kunci loker, kita harus memintanya dari ibu penjaga ruang loker. Sandalnya, bisa ambil sendiri di rak yang ada di samping loker depan.

Setiap orang berhak atas dua loker, yang nomornya sama. Satu loker di ruang depan, satu lagi di belakang. Yang depan untuk menyimpan jaket, tas, dan sepatu. Sedangkan loker belakang untuk baju dan perhiasan. Ruang loker yang di depan agak berbeda dari yang di belakang karena lantainya bertingkat dua. Atas dan bawah. Jarak antara lantai atas dan bawah hanya 10 sentimeter.

Lantai yang bawah disediakan untuk kaki yang masih bersepatu atau sandal dari luar. Sedang yang atas buat kaki telanjang atau yang memakai sandal ruang operasi. Karena kondisinya sangat bersih, sandal ruang operasi itu tak boleh menyentuh lantai yang bawah.

Antara ruang loker yang depan dan belakang, ada kamar mandi dan toilet. Di kamar mandi itulah para dokter dan perawat selalu mandi dan keramas setiap kali selesai operasi, atau sebelumnya bagi yang merasa tubuhnya berdebu atau berkeringat saat tiba.

Pengalaman pertama kami -baik dokter pria maupun wanita- di ruang loker ini sama: Terkaget-kaget. Sebab, para dokter dan perawat di sana berangkat mandi dan kembali ke loker dalam keadaan bugil, tanpa penutup apa pun. Untungnya, ruang loker pria dan wanita terpisah oleh tembok dan ruang ibu penjaga loker. Jadi, tak bisa saling mengintip. Meski begitu, tak ada dari kami yang berani mandi lantas lari bugil ke loker.

Setelah berganti dengan seragam ruang operasi yang berwarna agak kehijauan, kami ngumpul sebentar di ruang pertemuan yang tak jauh dari kamar ganti. Di situ, kami ditemani dr Cheng Pan, salah seorang direktur transplantasi liver OOTC. Di center itu ada 10 direktur. Empat direktur membawahi departemen transplantasi liver, dua untuk ginjal dan pankreas, satu untuk ICU, satu untuk anestesi, dan dua untuk ilmu penyakit dalam yang terkait dengan transplantasi ginjal dan liver.

Dengan dr Pan sebenarnya kami sudah bertemu, yakni saat perkenalan pada pagi harinya. Tapi, belum sempat ngobrol. Karena itu, momen menunggu persiapan pasien tersebut kami manfaatkan untuk ngobrol tentang transplantasi.

Sangat di luar dugaan kami, ketika ahli bedah yang pernah menimba ilmu di Amerika Serikat itu mengatakan, ''Transplantasi liver itu sulit. Tak mungkin bisa dilakukan oleh orang yang hanya mempelajarinya selama seminggu,'' kata ahli bedah andal itu.

Jujur, ciut juga nyali kami mendengar itu. ''Sangat discourage,'' komentar dr Philia, salah seorang ahli anestesi dan konsultan ICU dari Surabaya. Tetapi, akhirnya kami sadar, dia pasti tak bermaksud mengecilkan hati kami. Namun sebaliknya, menantang kami agar lebih serius ketika mempelajarinya dan tidak over confidence atau kelewat pede, sepulang dari OOTC.

Keyakinan tersebut terbukti. Selama kami di sana, dr Pan termasuk yang tidak pelit berbagi ilmu dengan kami. Baik selama di kamar operasi maupun di luarnya. Tak lama berdiskusi, dokter andalan OOTC itu lantas mengajak kami ke ruang operasi di lantai 13. Akses ke ruangan tersebut sangat khusus dan tak bisa diterobos orang-orang yang tidak berkepentingan. Termasuk keluarga pasien-pasien VIP.

Di ruang operasi nomor delapan, kami melihat seorang lelaki tua yang sangat kurus sudah tergolek di meja operasi. Kulit perutnya sudah mulai disayat, tetapi rongga perutnya belum terbuka. Pasien yang kulitnya sudah sangat menghitam itu ''ditangani'' oleh tiga dokter saja. Tepat di atas kakinya, ada seorang perawat kamar operasi yang bertugas melayani alat-alat yang dibutuhkan ketiga ahli bedah itu. Misalnya, gunting, benang, pisau bedah atau scalpel, kasa, spet, dan sebagainya.

Keempat orang itu melaksanakan tugasnya dalam posisi berdiri. Dan mereka akan terus berdiri selama operasi, yang rata-rata memakan waktu delapan jam. Selain mereka, ada seorang dokter ahli anestesi yang duduk tak jauh dari kepala pasien. Selama operasi, posisi duduk dan berdirinya di situ terus. Sebab, semua peralatan dan obat-obatan yang jadi tanggung jawabnya ada di sekitar kepala pasien.

Dan seorang perawat stand by, yang tugasnya mengambilkan tambahan cairan, obat, albumin, kasa steril, instrumen bedah, dan lain-lain. Biasanya, dia itu dibutuhkan pada awal pembedahan dan di tengah-tengahnya.

Tak ada yang istimewa pada tahap yang sangat awal tersebut. Cara menyayatnya pun standar. Karena itu, kami geser ke ruang sebelah, di mana donor berada. Bapak itu akan ditransplan dengan liver dari donor hidup yang kabarnya adalah anak kandungnya.

Setiap ruang operasi di lantai 13 itu memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Tidak terlalu luas, tapi tampak modern dan mewah karena dinding dan plafonnya berlapis bahan semacam epoxy berwarna abu-abu muda agak kehijauan. Begitu pula lantainya yang berwarna biru terang. Pintunya memakai sistem geser, yang bisa menutup secara otomatis. Untuk membukanya, cukup dengan menyentuhkan ujung sandal ke kotak stainless steel di ujung bawah bingkai pintu.

Peralatan operasinya? Wah dan mahal. Itu bisa dilihat dari merek dan bentuknya. Hampir tak ada sarana operasi di situ, termasuk pisau bedah, gunting, dan klem-klem untuk operasinya, yang bermerek lokal. Hampir semua bikinan Eropa dan Amerika Serikat. Begitu pula dengan obat-obatan dan cairan yang digunakan.

Semua atau 10 ruang operasi di lantai itu dilengkapi monitor, ultrasonografi untuk melihat aliran darah di pembuluh darah, dan alat rontgen ber-''lengan''. Ketika kami masuk ke ruang sebelah, tampak seorang anak muda bertubuh kekar tergolek di meja operasi dalam keadaan lemas tetapi sadar. Dada, lengan, hidung, dan mulutnya juga masih ''bebas''. Artinya, belum disambung dengan jarum-jarum, alat-alat monitor, atau slang-slang pembiusan. Bahkan, kateter untuk kencing pun belum terpasang. Dan karena itu, meja operasinya belum ditinggikan.

Meja operasi di situ bisa dinaikturunkan dan dicondongkan ke arah kepala maupun kaki, sesuai kebutuhan dokter. Saat persiapan, biasanya posisi meja masih rendah. Tetapi, setelah pasien dibius dan siap dibedah, biasanya meja dinaikkan sebatas dada ahli bedahnya. Itu untuk memudahkan dokter menjalankan tugasnya.

Meski donor tersebut masih sadar, kami tak berniat mengajaknya bicara. Apalagi, kami lihat mata lebarnya sedang asyik menjelajah ruangan dan alat-alat canggih di dekat kepalanya, yang pasti belum pernah dia lihat sebelumnya.

Dengan perawat yang sedang menyiapkannya pun, kami tidak berbicara. Satu-satunya komunikasi kami dengan perawat tersebut hanya terjadi saat kami masuk ruangan. Itu pun sebatas anggukan kepala.

Seorang perawat lain, lebih cantik, masuk ruangan, disusul seorang dokter yang masih sangat muda. Di center itu tak ada dokter atau perawat yang tua. Hanya yang sudah berpangkat direktur yang umurnya di atas 40 tahun. Tak ada yang lebih dari 48 tahun. Prof Shen Zhongyang sendiri, presdir OOTC, umurnya baru 48 tahun. Para perawatnya lebih istimewa lagi. Mereka tidak cuma muda, tapi umumnya juga cantik-cantik. Persis seperti komentar Pak Dahlan di buku Ganti Hati-nya.

Sesaat kemudian, anak muda tersebut mulai ''ditangani''. Tangan kanannya direntangkan ke penahan lengan di samping meja operasi. Di pergelangan tangan itulah, jarum infus yang kepalanya memiliki tiga mulut kecil untuk memasukkan infus, obat, dan entah alat apa lagi, dipasang. Sedangkan tangan kirinya dibiarkan tergolek sejajar tubuh. Di lengan atasnya hanya dipasang alat pengukur tekanan darah.

Lewat salah satu mulut jarum infus, dokter menyuntikkan sesuatu, yang saya kira adalah obat bius karena setelah itu si pasien tertidur. Sesudah itu, baru perawat memasang kateter kencing. Seusai memasang kateter, perawat yang sama meletakkan dua ganjalan kecil di bawah lutut pasien. Sementara perawat lain memasang semacam bantal kecil di bawah punggung atas pasien, sehingga posisi dada pasien agak mendongak.

Setelah itu, dia meninggalkan ruang operasi sambil membawa selembar celana panjang dari bahan flannel, yang dikenakan si donor saat dibawa ke kamar operasi tadi. Itu hal baru bagi sebagian di antara kami. Sebab, biasanya pasien sudah berpakaian khusus yang hanya bertali di bagian lehernya saat masuk ke ruang operasi.

Setelah itu, intubasi (memasukkan slang untuk pembiusan, untuk makanan, dan bantuan napas) dilakukan. Dilanjut dengan pembiusan dan pemasangan drap (kain steril penutup bagian tubuh yang tidak dioperasi) yang berlubang kotak di bagian perut hingga ketiak. Sebelum itu, bagian perut hingga leher pasien sudah disterilkan.

Bagian tubuh yang tidak tertutup drap ditutup selembar plastik steril yang kedua ujungnya berkantong. Kantong-kantong itu berfungsi menampung darah yang mungkin meleleh dari tubuh pasien, saat insisi (penyayatan) dilakukan atau selama operasi berlangsung.

Berbeda dari kantongnya, bagian tengah plastik tersebut berperekat dan menempel relatif kuat di kulit pasien. Gunanya untuk melindungi sterilitas kulit pasien yang tidak ikut dibedah. Karena menempel, saat dokter menyayat, plastik itu juga ikut robek. Namun, posisinya tidak bergeser. Pinggiran bagian yang tersayat juga tidak menganga sedikit pun.

Dengan dipasangnya plastik itu, berakhir sudah proses persiapan. Dan dimulailah tindakan pembedahan. Tiga dokter yang melapisi seragam operasinya dengan gaun operasi disposable (sekali pakai) berlengan panjang, yang steril dan tahan air, mengambil posisi di kiri dan kanan pasien. Yang ada di kanan pasien, tempat di mana liver berada, adalah kapten pembedahan. Sedangkan dua yang di kiri yang membantu.

Sebelum ketiganya mengambil posisi, perawat yang bertugas melayani kebutuhan pisau, gunting, jarum, dan sejenisnya lebih dulu memosisikan diri. Secara bertahap dan hati-hati, dokter mulai menyayat perut donor dengan irisan melintang dari pinggang kanan depan hingga pinggang kiri depan. Irisan itu tidak lurus, melainkan agak melengkung ke arah uluhati.

Untuk memudahkan pemotongan livernya, dokter lantas menambah bukaan perut dengan melakukan irisan tambahan di tengah irisan tadi, vertikal ke arah uluhati.

Bagian perut yang sudah terbuka tersebut lantas dikuakkan menggunakan retractor. Alat dari besi steril itu berbentuk lempengan pengait, yang bertumpu pada pipa-pipa tipis yang dirangkai di atas dada pasien. Kaki alat tersebut menempel dengan bantuan baut-baut kecil ke kaki meja operasi.

Besi penahan retractor itu hanya sebesar kelingking saya, tetapi kekuatannya sangat bisa diandalkan. Buktinya, tidak roboh atau melengkung ketika disandari ahli bedah (bukan kapten)-nya. Alat sederhana bikinan Jerman tersebut memiliki arti penting. Tanpa itu, mana mungkin dinding perut bisa ditahan dalam posisi menganga selama delapan hingga 12 jam.

Sebenarnya saya ingin membeli alat itu sebagai bagian dari persiapan untuk transplantasi liver perdana kita. Sayang, tak terjangkau karena harganya sekitar Rp 200 juta. Semoga Pak Gubernur Jatim bersedia membelikannya, sehingga transplantasi liver bisa segera dilaksanakan di Surabaya.

Dalam waktu setengah jam, perut terbuka. Seluruh isinya terlihat, termasuk liver donor yang berwarna merah jambu, montok dan mulus seperti pipi bayi. Itu menunjukkan liver tersebut sangat sehat.

Dengan tangan, dokter mendongakkan liver. Lantas mengambil kain steril yang sudah dibasahi untuk menutup usus pasien agar tidak tergores saat sang kapten membelah liver. Setelah itu, baru dia memeriksa liver dan posisi pembuluh darah-pembuluh darah liver yang akan dipotong.

Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan dengan sangat hati-hati karena sangat menentukan kualitas potongan liver yang akan dipasang ke donor dan yang terpenting, nasib sang donor sendiri.

Kalau salah potong, bisa terjadi perdarahan hebat yang salah-salah bisa merenggut nyawa si donor. Tragis sekali kalau hal itu sampai terjadi, karena donor hidup biasanya orang sehat dan berusia produktif. Sebab, salah satu syarat untuk menjadi donor hidup adalah berusia di bawah 50 tahun. Selain livernya harus sehat, tidak punya penyakit kanker yang bisa menyebar, diabetes atau gangguan jantung, paru, dan ginjal. Orang berusia 55 tahun juga masih bisa jadi donor liver, tapi yang terbaik adalah yang di bawah 50 tahun.

Selain untuk menghindari perdarahan, mengetahui posisi pembuluh darah liver sangat penting. Sebab, yang harus dibagi antara donor dan resipien (penerimanya) bukan cuma livernya, tapi juga pembuluh darahnya.

Seperti diketahui, liver terdiri atas dua bagian. Masing-masing bagian disebut dengan lobus. Besar kedua lobus itu tidak sama. Yang kanan lebih besar (65 persen) daripada yang kiri (35 persen). Kalau resipiennya bertubuh besar, yang diambil dari donor adalah lobus kanan. Kalau kecil atau wanita, biasanya yang dipakai lobus kiri. Sedangkan anak kecil dan bayi, hanya dua segmen (sekitar separo) dari lobus kiri. Keseluruhan liver memiliki delapan segmen.

Masing-masing lobus memiliki pembuluh darah sendiri, tetapi saling berhubungan. Terutama cabang-cabangnya. Bentuk dan jumlah cabang-cabang tersebut tidak sama pada setiap orang. Karena itu, dokter harus sangat sangat berhati-hati dan jeli saat membelahnya, agar liver yang diberikan kepada resipien maupun yang ditinggal di tubuh donor sama-sama berfungsi dan hidup sebagaimana mestinya.

Liver adalah satu-satunya organ dalam tubuh manusia yang bisa tumbuh sendiri. Hanya, pertumbuhan kembali liver donor jauh lebih cepat daripada yang ada di tubuh resipien. Bahkan, dua hari setelah dipotong, liver donor sudah menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan kembali. Dalam tempo dua tahun, liver donor sudah kembali utuh.

Pertumbuhan yang ada di tubuh resipien memang tak secepat itu. Tetapi, begitu pembuluh-pembuluh darahnya tersambung sempurna, potongan liver yang hanya separo (atau secuil pada anak-anak) itu sudah langsung berfungsi. Mahabesar Tuhan!

Rumitnya pemotongan liver tidak hanya menyangkut pembuluh darah dan saluran empedunya. Tetapi juga pada tepian potongan yang harus rapi dan tidak berdarah. Karena itu, dianjurkan untuk menggunakan Cusa. Pemotong liver yang mata pisaunya bukan metal, tapi berupa gelombang ultrasounds. Alat yang sangat mahal tersebut sudah dimiliki RSUD dr Soetomo Surabaya.

Kalau terpaksa, pemotongan bisa juga dikerjakan dengan pisau Harmony. Pemotong liver yang mata pisaunya metal. Tetapi, hasilnya tak bisa sebagus Cusa.

Meski menggunakan Cusa, kehati-hatian tetap menjadi suatu keharusan dalam membelah liver donor. Karena itu, proses tersebut bisa memakan waktu hingga dua jam. Bahkan bisa lebih kalau kaptennya belum betul-betul jagoan. (bersambung/iro)
Selengkapnya...

Surabaya Transplant Center (2)

Sumber: Jawapos, Jum'at, 29 Januari 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=114201

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (2)

Mirip Bengkel, Sehari Bisa Delapan Kali Transplantasi

Kita sering mendengar pepatah, 'Belajarlah walau sampai ke negeri China'. Untuk transplantasi liver, Tiongkok memang tempat belajar yang paling tepat. Selain jumlah kasus yang ditangani paling banyak, juga teknik operasinya paling maju. Begitu pula perawatan pascaoperasinya.

Oleh: Nany Wijaya

Wartawan Jawa Pos

Januari ini sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk datang ke Tianjin, Tiongkok. Sebab, udara di kota itu, seperti juga di Beijing, sedang tidak ramah. Suhunya bergerak dari minus 8 sampai minus 13 derajat Celsius, di bawah nol. Bagi orang lokal, ini musim dingin terburuk dalam lima tahun terakhir.

Namun, karena berpacu dengan waktu, inilah pilihan terbaik kami. Seperti yang saya sebutkan di tulisan kemarin, kami sedang berusaha menyelamatkan seorang bocah berumur tiga tahun yang sangat memerlukan liver baru.

Bocah ini akan mendapatkan donor dari ibunya. Untuk itulah, sembilan dokter dan dua perawat dari RSUD dr Soetomo Surabaya belajar dengan sangat serius di OOTC (Oriental Organ Transplant Center), Tianjin. Kondisi bocah inilah yang membuat kami tak takut pada dinginnya udara Tiongkok. Ketika kami tiba, Minggu pagi (17/1), suhu di Beijing minus 10 derajat Celsius. Begitu pula di Tianjin, yang berjarak sekitar 2,5 jam dengan bus dari ibu kota negeri berpenduduk 1,3 miliar orang itu.

Tanpa saya ceritakan pun, pembaca pasti sudah bisa membayangkan dinginnya udara bersuhu serendah itu. Dari dalam gedung terminal, terlihat salju masih menyelimuti sebagian jalan dan atap bangunan-bangunan di luar bandara. Padahal, sinar matahari cukup cerah. Artinya, udara di luar bandara memang sedang sangat dingin.

Tianjin sebenarnya bisa dicapai dengan kereta api yang baru dari Beijing. Lebih cepat, hanya 28 menit. Tetapi, karena kami masing-masing membawa koper besar -risiko traveling di musim dingin- terlalu ribet kalau harus menggunakan kereta. Apalagi, masih harus pakai underground (kereta bawah tanah) dulu. Dan, di sana, baik di bandara maupun stasiun, tidak ada petugas portir yang bisa membantu mengangkat koper.

Naik bus lebih simpel karena bisa langsung naik dari bandara. Turunnya di terminal bus Tianjin. Dari sini bisa naik taksi ke hotel atau ke mana pun tujuan kita.

Tepat jam makan siang, kami tiba di terminal Tianjin. Di situ Yang she fou (paman Yang) sudah menunggu kami dengan mobil pribadinya. Dia inilah yang melayani segala kebutuhan Dahlan Iskan selama dirawat di Tianjin. Ketika kembali ke tanah air, dia ikut dan tinggal di Surabaya selama enam bulan untuk mengurus makanan Dahlan.

Ini karena makanan punya peran penting dalam proses pemulihan pasien post-transplant. Jadi, meski dokter telah mengizinkan makan apa saja, sebagaimana orang normal, sebaiknya pasien tetap memperhatikan kandungan dan nilai gizi makanannya. Misalnya, jangan terlalu banyak mengonsumsi kandungan protein. Sebab, liver baru belum bisa bekerja maksimal.

Jarak terminal dengan Hotel Hua Xia tempat kami menginap, hanya 15 menit dengan taksi. Ongkosnya juga tidak mahal.

Hotel Hua Xia tidak besar, tapi bintang tiga. Lobinya kecil dan sederhana. Begitu pula restorannya. Tetapi, kamarnya sangat bersih, nyaman, dan apik. Para petugas dan pelayannya juga ramah, meski itu hotel milik pemerintah.

Dulu, pegawai pemerintah di Tiongkok memang terkesan sangar dan tidak ramah. Apalagi polisi, militer, dan petugas imigrasinya. Tetapi, sekarang tidak lagi. Mereka sekarang umumnya ramah, santun, dan murah senyum. Tiongkok benar-benar sudah berubah.

Hal paling menarik dari hotel ini, menurut saya, adalah adanya kotak-kotak kondom dan obat kuat di setiap kamar. Beberapa tahun terakhir, untuk menghambat penyebaran penyakit hepatitis dan HIV/AIDS, pemerintah di sana mewajibkan semua hotel menyediakan kondom di setiap kamar. Kalau obat kuat, itu kreativitas pihak hotel.

Namun, karena kemasan barang-barang tersebut mirip kotak permen dan diletakkan di meja samping ranjang, sebagian dari kami lantas mengira itu permen. Untung, ada yang memberi tahu saya. Dengan demikian, di antara kami tidak ada yang sempat mengunyah kondom. He he.

Minggu itu kami free. Tetapi, karena niat kami ke Tianjin untuk belajar, bukan piknik, waktu kosong itu kami pakai untuk diskusi tentang hal-hal yang perlu diperdalam selama di OOTC.

Senin pagi (18/1) yang kami nantikan tiba. Pukul 06.00 waktu setempat, saya sudah bangun. Langit di luar masih gelap dan berkabut tebal. Berarti di luar sana sangat dingin. Namun, suara klakson mobil sudah ramai bersahutan. Para pejalan kaki dan pengendara motor, sepeda bermotor, dan sepeda onthel juga sudah banyak yang berlalu lalang. Semuanya mengenakan overcoat tebal dengan penutup kepala dari bahan wool.

Luar biasa etos kerja bangsa Tiongkok ini. Layak diacungi dua jempol. Bayangkan, di pagi yang masih buta dan sangat dingin seperti itu mereka sudah mulai beraktivitas. Pantas kalau negeri ini bisa maju pesat dalam waktu singkat.

Jarak antara hotel dan rumah sakit Tianjin First Central, tempat OOTC bernaung, hanya 10 menit berjalan kaki. Ketika kami berangkat, matahari mulai bersinar. Tetapi, udaranya masih cukup untuk membekukan ujung hidung dan jari-jari kami. Maklum, masih minus 8 derajat Celsius. Atau dua derajat lebih hangat dari ketika kami tiba di Beijing.

Sebagaimana umumnya, acara pertama kami adalah perkenalan dengan para petinggi OOTC. Mereka menyambut kami dengan baik dan hangat. Bahkan, presiden direkturnya, Prof Dr Shen Zhongyang, langsung menawarkan kunjungan ke pusat transplantasi lain yang dipimpinnya, yakni di Rumah Sakit Tentara Beijing. Sebuah tawaran menarik yang tak mungkin kami tolak.

Acara berikutnya adalah berkeliling melihat fasilitas-fasilitas yang mereka miliki. Makan siang, lantas mendengarkan kuliah tentang teknik transplantasi liver.

Sebenarnya, kami ingin sekali bisa melihat langsung pelaksanaan transplantasi. Maklum, lima dari sembilan dokter yang ikut adalah ahli bedah digestif (perut) dan vaskuler (pembuluh darah) dan tiga lainnya ahli anestesi dan konsultan ICU. Begitu pula perawatnya. Yang seorang perawat untuk critical care (ICU), sedang yang lain, perawat bedah di kamar operasi. Hanya dr Sjamsul Arief yang bukan. Artinya, mereka adalah orang-orang yang sehari-hari berhubungan dengan operasi, anestesi, dan perawatan masa-masa kritis post atau pascaoperasi. Jadi, wajar sekali kalau mereka ingin segera bisa kembali ke "habitat"-nya.

Sayangnya, jadwal kami hari itu adalah kuliah di ruang pertemuan. Bukan di kamar operasi. Baru pada Rabu (20/1) kami diikutkan operasi. Itu pun masih tentatif (belum pasti), menunggu ada tidaknya donor cadaver (mayat). Maka, hari itu kami hanya bisa menyampaikan harapan (sambil berdoa).

Tampaknya Tuhan mendengar doa kami. Saat menanti jadwal berikutnya, Ellen Wei, sekretaris presdir OOTC, menawarkan, apakah kami mau ikut operasi? Siang itu akan ada transplantasi dengan menggunakan donor hidup. Risikonya, kalau kami mau, jadwal kuliah ditiadakan.

Mendengar itu, serentak kami menjawab, "Ya, mau!" Pucuk dicinta ulam tiba. Mana mungkin ditolak.

Karena operasinya agak siang, kami disuruh makan dulu di ruang VIP kantin rumah sakit, yang sudah di-booking Ellen. Di ruang itu hanya ada sebuah meja bundar yang tak terlalu longgar untuk 12 orang. Di situ sudah ditata peralatan makan yang terlalu bagus untuk ukuran kantin rumah sakit. Makanan dan cara menyajikannya juga oke banget.

Seusai makan, kami langsung ke lantai dua, ke ruang Prof Dr Shen Zhongyang yang bersebelahan dengan kamar kerja si cantik Ellen Wei. Kami ke situ bukan untuk bertemu Prof Shen. Sebab, seusai berkenalan dengan kami tadi, dia langsung ke bandara, terbang ke Beijing untuk rapat dengan Departemen Kesehatan. Kabarnya, hari itu dia minta izin untuk datang siang karena ingin menyambut kami. Sungguh suatu kehormatan bagi kami, tim dari RSUD dr Soetomo Surabaya.

Dengan didampingi Cindy, penerjemah resmi OOTC, kami menuju lantai 12 untuk ganti pakaian operasi.

Sambil menunggu donor dan resipien disiapkan, kami diajak ke lantai 13. Lantai ini terisolasi. Hanya mereka yang terlibat operasi yang boleh masuk. Di situ ada 10 ruang operasi, serta ruang penyimpanan bahan dan instrumen untuk operasi. Di salah satu ujung lantai ini ada lift besar untuk menaikkan pasien yang akan dioperasi, dan untuk menurunkan pasien yang selesai ditransplant. Di sisi lain lantai ini ada ICU. Tetapi, tempat ini bukan untuk pasien post-transplant. Ruang tersebut untuk pasien operasi lain dan pasien pascatransplantasi yang belum siap dipindahkan ke ruangan, tetapi tidak lagi memerlukan pengawasan dan perawatan sangat intensif.

Untuk pasien yang baru ditransplantasi, yang tentu memerlukan pengawasan dan perawatan sangat intensif, disediakan ICU khusus di lantai 12. Ruang ICU ini terletak di samping lift yang ke lantai 12. Di ruang inilah, Dahlan dulu "singgah" dan kali pertama dijenguk keluarganya, setelah livernya diganti dengan yang baru.

Lift yang ke lantai ini dijaga petugas khusus. Hanya dokter dan keluarga pasien yang dirawat di ICU yang boleh naik. Begitu pula pengunjung di lantai 13.

Meski ruang operasi ada di lantai 13, pengunjung ICU lantai tersebut tidak bisa masuk ruang operasi. Sebab, untuk ke ruang-ruang operasi itu, hanya ada satu akses: lift pasien yang ada di dalam ICU lantai 12. Letak lift ini tersembunyi dan diawasi. Karena itu, tidak sembarang orang bisa menemukannya, apalagi menggunakannya.

Oriental Organ Transplant Center atau OOTC sebenarnya bukan rumah sakit tersendiri. Hanya gedung dan administrasinya yang mandiri. Tetapi, secara yuridis, pusat ini berada di bawah naungan Tianjin First Central Hospital (TFCH). Sebuah rumah sakit pendidikan yang "tugas"-nya mendukung program pendidikan kedokteran Universitas Nankai, Tianjin.

Center ini memiliki 14 lantai. Lantai satu dan dua untuk administrasi dan kantor manajemen. Tiga-empat untuk ginjal dan saluran kencing. Sisanya, lantai lima hingga 12 untuk transplantasi. Tapi, lantai 13 khusus untuk transplantasi liver. Lantai teratas, untuk menyimpan instrumen operasi dan peralatan lain yang terkait dengan operasi.

Meski lantai 13 telah ditetapkan sebagai "wilayah"-nya transplantasi liver, sesekali tempat itu digunakan juga untuk ginjal. Yakni, ketika yang ditransplantasikan bukan hanya ginjal, melainkan multiorgan transplant (yang ditransplantasikan lebih dari satu organ).

Untuk operasi jenis ini, organ yang digunakan berasal dari satu donor. Seperti yang saya saksikan pada hari terakhir saya di situ, dari satu donor didapatkan tiga organ sekaligus. Yakni, liver, dua ginjal, dan satu pankreas. Karena umur organ-organ tersebut sangat terbatas -meski sudah didinginkan- ruang operasinya tidak boleh berjauhan. Karena itu, begitu selesai dicuci, masing-masing ginjal bisa langsung ditransplantasikan ke tubuh resipien, tanpa membuang lebih banyak waktu karena harus menunggu lift, misalnya. Begitu pula liver dan pankreasnya.

Ada kalanya seorang pasien membutuhkan dua organ sekaligus: Satu ginjal dan pankreas atau jantung dan paru-paru. Untuk ginjal, dalam transplantasi, seorang pasien hanya membutuhkan satu ginjal.

Karena itu, transplantasi organ yang satu ini bisa dilakukan dengan menggunakan donor hidup. Sama dengan liver.

Bisa belajar transplantasi di center ini sungguh suatu keberuntungan. Sebab, OOTC termasuk pusat transplantasi yang sangat aktif. Sebagai bukti, dalam setahun, center ini bisa melakukan lebih dari 650 transplantasi liver. Bahkan, mereka pernah melakukannya lebih dari 1.000 penggantian liver dalam setahun. Untuk ginjal, jumlahnya kurang lebih sama. Padahal, satu tahun hanya ada 365 hari.

Pada hari terakhir saya di sana, center itu melakukan delapan transplantasi liver dalam sehari. Bayangkan! Kok mirip bengkel ya!

Center ini memang lebih tepat disebut bengkel manusia daripada rumah sakit. Bengkel manusia terbesar di dunia, karena center ini yang paling banyak menangani penggantian organ-organ rusak dengan yang baru, dibanding pusat transplantasi lain di dunia.

Saya katakan mirip bengkel karena sejak masuk ke lobi OOTC sampai ke lantai-lantai tempat pasien dirawat, Anda tidak akan melihat perawat, pasien, dan dokter yang berseliweran. Sesekali saja, kalau beruntung, Anda berpapasan dengan pasien yang didorong kursi roda atau kereta dorong.

Namun, di lantai 13, Anda akan melihat betapa banyaknya manusia yang diganti "onderdil"nya, seperti sebuah bengkel mengganti spare parts mobil-mobil yang rusak agar bisa berjalan lagi. (bersambung/kum)
Selengkapnya...