03 Juni 2010

Daqing Penghasil Minyak Terbesar di Tiongkok

Sumber: Jawapos, Kamis 03 Juni 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=137504

Mengunjungi Daqing, Daerah Penghasil Minyak Terbesar di Tiongkok
Terinspirasi Spirit Wang Jinxi Taklukkan Sumur Ketiga


Kota Daqing (baca Ta-jing) merupakan kota penghasil minyak terbesar di Tiongkok. Meski banyak aktivitas penambangan minyak di tengah kota, Daqing tetap bersih dan rapi. Hal itulah yang juga disaksikan wartawan Jawa Pos SUDJATMIKO yang mengunjungi kota tersebut atas undangan PetroChina Indonesia, 19-26 Mei lalu.

---

SETELAH menempuh perjalanan estafet dari Shanghai ke Harbin, ibu kota Provinsi Heilongjiang, dengan China Shoutern Airlines selama tiga jam, rombongan meneruskan perjalanan darat melintasi jalan tol sepanjang 156 km ke Kota Daqing.

Perjalanan dari Harbin menuju Daqing memakan waktu sekitar dua jam. Daqing merupakan salah satu kota terpencil di Provinsi Heilongjiang. Posisinya terletak di bagian timur laut Tiongkok.

Sebenarnya sudah ada penerbangan langsung Shanghai-Daqing yang bisa ditempuh dalam waktu empat jam. Tapi, karena penerbangan ke Daqing selalu penuh, rombongan memutuskan untuk menempuh jalan darat dari Harbin ke Daqing. Penerbangan ke Daqing dilakukan setelah kota minyak itu resmi membuka bandaranya bernama Daqing Saertu Airport pada 1 September 2009.

Selain Jawa Pos, rombongan dari Indonesia terdiri atas Vice President PetroChina Indonesia Mary P.Y. Pulunggono, Humas PetroChina Indonesia Ginanjar, Humas BP Migas Susana Kurniasih, dosen perminyakan ITB Rudi Rubiandini, serta wartawan Kompas Antonius Ponco. Dalam lawatan ke Tiongkok itu, rombongan juga mengunjungi Shanghai Expo 2010, pameran teknologi dan kebudayaan terbesar di dunia.

Kota Daqing saat ini memasok 40 persen produksi minyak Tiongkok yang mencapai 189,4 juta ton pada 2009. Karena itu, tak heran, begitu keluar dari pintu tol Daqing, sejauh mata memandang, rangkaian pipa minyak mengular di tepi jalan menuju pusat kota. Dari kejauhan juga terlihat berbagai ukuran pompa angguk (untuk memompa minyak) yang menjalankan aktivitas. Beberapa unit pengolahan minyak mentah juga terlihat di berbagai sudut kota.

Dari pemandangan awal itu, saya sempat membayangkan bahwa pusat Kota Daqing pasti penuh dengan sisa minyak yang berceceran di mana-mana, mengotori lingkungan kota. Sebab, menurut informasi yang saya terima, hampir tak ada jarak antara permukiman penduduk Daqing dan pompa angguk. Karena itu, bisa dibayangkan permukiman penduduk akan dipenuhi ceceran minyak mentah berwarna hitam pekat di jalan-jalan.

Namun, bayangan saya tentang kondisi kota berpenduduk 2,6 juta jiwa itu meleset 180 derajat. Begitu rombongan memasuki Kota Daqing sekitar pukul 16.30 waktu setempat, yang muncul adalah rasa heran dan kagum. Misalnya, soal jalan, luasnya sampai 10 lajur. Antara jalur cepat dan jalur lambat, ada taman yang masing-masing selebar empat meter. Pengendara yang melintasi jalan beraspal mulus itu merasa begitu lapang, panjang, dan tak berdebu. Dari kejauhan, terlihat gedung-gedung menjulang tinggi di pusat kota. Apartemen, mal, gedung perkantoran, dan hotel berdiri di mana-mana.

Menariknya, di antara gedung-gedung tersebut, berdiri puluhan pompa angguk. Ada yang berderet dua sampai empat pompa sekaligus. Bahkan, beberapa di antaranya dibangun di kompleks taman kota. Ada pula pompa angguk yang berimpitan dengan apartemen, di depan mal, atau di sekitar kompleks sekolah.

Jumlah pompa angguk yang beroperasi tidak hanya satu, tapi bisa tiga pompa sekaligus. Menariknya, pompa tersebut hanya dibatasi pagar kawat biasa setinggi dua meter. Sementara itu, pompa angguk yang berada di tepi jalan rata-rata tanpa pagar pembatas.

Meski pompa angguk dan refinery oil (pengolahan minyak mentah) menyatu dengan permukiman penduduk atau pusat perbelanjaan, tak terlihat sedikit pun ceceran minyak yang mengotori lingkungan. Semua terlihat serbarapi. Tata kotanya juga teratur. Setiap blok selalu dihiasi taman kota. Bagi Daqing, pompa angguk bagai aksesori raksasa yang menghiasi kota. Kompleks sebuah mal besar di kawasan Chuangye Road yang kini memasuki pembangunan tahap akhir, misalnya, ''dihiasi'' pompa-pompa angguk yang setiap hari beroperasi.

Bagaimana bila sewaktu-waktu minyak yang dipompa bocor dan menyembur ke permukaan tanah karena kerusakan sistem kontrol pompa seperti yang terjadi di Porong? ''Kami bisa menyelesaikannya dalam waktu sepuluh menit. Peristiwa itu pernah terjadi di kawasan perumahan. Warga pun tidak merasa terganggu,'' kata Mr Hou Yunfu, vice director marketing department PetroChina Daqing Oilfield Co LTD, di sela-sela peninjauan salah satu pompa angguk di kawasan mal, Jumat pekan lalu (22/5).

Menurut pria yang pernah empat tahun tinggal di Indonesia itu, warga Kota Daqing memahami betul pentingnya minyak bagi negara. Karena itu, bila terjadi peristiwa gangguan teknis, warga akan memahami. ''Apalagi, warga Daqing memiliki spirit Wang Jinxi, spirit Iron Man,'' ujarnya.

Siapa Wang Jinxi? Dia merupakan salah seorang penambang minyak yang datang ke Kota Daqing (waktu itu Kota Daqing belum bernama) bersama 30 ribu orang dari berbagai penjuru Tiongkok. Ribuan orang tersebut diminta untuk mengeksplorasi hutan belantara yang sekarang berubah menjadi Kota Daqing itu.

Wang Jinxi datang dari daerah yang jauhnya mencapai 5.000 km dari Daqing. Waktu itu, dia masih berusia 14 tahun. Dia tinggal di suatu desa di Provinsi Ganshu, dekat Xinjiang. Wang berangkat menuju ladang minyak Daqing karena terbakar semangat cinta tanah air.

Berdasar sejarah Kota Daqing, begitu tiba di lokasi tambang, warga langsung membuat kelompok-kelompok kecil yang bertugas mencari sumber minyak. Mereka lalu mengeksplorasi lokasi yang dianggap potensial. Begitu pula yang dilakukan Wang bersama kelompoknya. Setelah dua kali pengeboran gagal, baru pada sumur ketiga Wang dkk menemukan sumber minyak yang besar.

Saat itu, 26 September 1959, diwarnai hujan salju yang tebal, minyak muncrat dengan kerasnya dari pengeboran yang dilakukan Wang cs. Namun, tekanan minyak yang muncrat tersebut langsung diatasi. Wang pun tidak berpikir panjang. Dia bersama para pekerja ramai-rama berusaha menutup sumber minyak tersebut dengan campuran semen dan salju yang telah dicairkan.

Tak lama kemudian, semburan minyak itu dapat dikendalikan. Wang pun dinobatkan sebagai pahlawan dan dijuluki sebagai ''Iron Man''. Untuk mengenang perjuangan dan sepak terjangnya, pemerintah Tiongkok membangun museum khusus yang berkisah tentang perjuangan Wang Jinxi dan kawan-kawan.

Sementara itu, semburan sumur ketiga tersebut menjadi awal produksi tambang minyak di Kota Daqing. Sebab, kemudian ditemukan sumur-sumur lain di banyak lokasi. Pada 1963, sumur-sumur minyak di Kota Daqing mulai berproduksi. Produksi minyak Daqing mencapai puncak pada 1976, yakni 50 juta ton per tahun.

Saat ini, di bawah China National Petroleum Corporation (CNPC) yang di antaranya membawahkan PetroChina, Daqing mampu mempertahankan produksi minyak 1 juta barel per hari. ''Jadi, bagi Tiongkok, Daqing sangat penting,'' tegas Hou Yunfu. (*/c5/ari)
Selengkapnya...

Doddy Sularso Bangun, Bos CV Raja Tebu

Sumber: Jawapos, Selasa 2 Juni 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=137245

Doddy Sularso Bangun, Bos CV Raja Tebu, Penjual Minuman Sari Tebu
Memeras Miliaran Rupiah dari Sari Tebu

Pengusaha sejati takkan menyerah ketika salah satu bisnisnya macet. Seperti Doddy yang kembali meraup sukses dengan bisnis minuman sari tebu berkonsep kemitraan, selepas bisnis kayunya mengalami kebangkrutan.

LUCKY NUR HIDAYAT, Jakarta

---

KEGAGALAN adalah sukses yang tertunda. Pepatah itu mungkin cocok untuk menggambarkan perjalanan usaha Doddy Sularso Bangun. Dia mampu bangkit dari kejatuhan bisnis kayu cetakan atau moulding yang dibangun sejak 2001 di Jambi.

''Macetnya bisnis pengelolaan kayu yang saya bangun pada 2004 membuat saya nekat merantau ke Jakarta,'' katanya saat ditemui di kediamannya di Bilangan Simprug, Jakarta Selatan, kemarin (1/6).

Pengalaman pahit ditipu orang dan mulai menipisnya stok kayu akibat gencarnya aksi pemberantasan pembalakan kayu secara liar dan illegal logging, membuatnya ogah kembali bergelut dengan gelondongan-gelondongan kayu. ''Gara-gara kayu juga saya sempat berurusan dengan yang berwajib karena bersitegang dengan polisi di Jambi,'' ungkap penggemar olahraga biliar ini.

Sempat luntang-lantung hidup tak jelas di Jakarta, bahkan menjadi bandar togel, pria yang mengaku gemar tawuran saat SMP dan SMA ini kemudian bertekad ingin sukses di ibu kota. ''Saya dulu kurang kasih sayang. Bapak saya tentara dan meninggal sewaktu saya masih kecil dan ibu pedagang di pasar yang harus bekerja sendiri menghidupi keluarga. Akibatnya, saya pun harus berpindah-pindah sekolah,'' terangnya.

Setelah berputar-putar ibu kota mencari inspirasi usaha baru, Doddy yang kehausan lantas membeli sari tebu. Rupanya jodoh dengan bisnis ini mulai di sini. Saat membeli sari tebu untuk kali pertama di Jakarta, pria kelahiran Jambi, 15 Agustus 1972 ini heran.

Air sari tebu yang dipasarkan pedagang di ibu kota kurang bersih dan rasanya tak seenak yang di Jambi. Karena penasaran dia pun mengamati beberapa pedagang sari tebu. ''Setiap pedagang di pinggir jalan di Mangga Besar, Jakarta Barat, tebu di pertokoan Glodok dan tempat lain saya satroni. Eh, walhasil saya menemukan fakta, beberapa di antara mereka tak menjual air sari tebu murni,'' terang anak pasangan Suprayitno dan Sulasmi ini. Apalagi, tebu yang digunakan juga tak cocok untuk dijadikan sari tebu.

Dari pengamatannya, banyak pedagang yang tak menjaga kebersihan sehingga warna sari tebu yang dihasilkan gelap. ''Sepulang dari survei saya merenung. Di otak saya terngiang-ngiang satu kalimat, jualan sari tebu yang tak murni saja laris, apalagi yang murni,'' ujar jebolan Fakultas Hukum Universitas Taruma Negara ini.

Suami Elly ini juga paham betul bagaimana mengolah tebu menjadi sari tebu dengan rasa enak. Sebab, saat kecil dia sering mengonsumsi tebu di tanah kelahirannya, Jambi, yang memang dikenal memiliki tebu berkualitas tinggi. Air sari tebunya banyak dan lebih manis daripada tebu kebanyakan. Akhirnya pada 2005 dengan modal Rp 50 juta, Doddy memutuskan membuat lima gerai Sari Tebu Murni dengan bahan baku tebu yang didatangkan langsung dari Jambi.

Walau sang istri kurang sreg karena belum melihat potensi bagus di bisnis tebu ini, bendera CV Raja Tebu tetap dikibarkan. Di awal episode bisnis sari tebu, dengan gerobak dorongnya, Doddy sering dikejar-kejar trantib di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dan pulang dengan tangan hampa. ''Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, tidak disangka respons masyarakat lebih dari yang diperkirakan. Begitu roda usaha diputar, langsung banyak yang mengajukan diri untuk bermitra,'' terangnya.

Melihat peluang ini, pria yang mengaku bisa naik haji, membeli rumah, dan mobil dari hasil berjualan tebu ini lantas mematenkan merek dagangnya dan membuat konsep kemitraan. Itu agar gerai Sari Tebu Murni bisa lebih banyak. Salah satu konsep gerai yang sangat laris terjual saat ini adalah menggabungkan sepeda motor dan gerobak. ''Dengan konsep ini si penjaja sari tebu bisa menjemput bola dengan menyambangi keramaian daripada hanya menetap di satu lokasi tertentu dan berharap pembeli datang,'' ujarnya.

Penghobi hampir semua jenis olahraga ini menjual paket gerai sepeda motor gerobak seharga Rp 39,5 juta per unit. Sedangkan gerai yang statis dijual dengan harga Rp 21,5 juta per unit dan yang di mal Rp 28,5 juta per unit. ''Ini murah lho. Itu sudah termasuk biaya pelatihan karyawan, mesin penggilingan tebu, tabung kaca untuk menampung air perasan tebu, saringan, dan tenda pelindung matahari,'' ungkap pria yang mengaku tak pernah malu menjalankan bisnis apa pun ini.

Yang istimewa, lanjutnya, karena usaha tersebut bersifat kemitraan, tak ada royalti yang harus dibayar pedagang. ''Tetapi, untuk menjaga standar kualitas air tebu, kami mewajibkan para mitra membeli tebu yang khusus didatangkan setiap hari dari Jambi," ujarnya.

Minimal setiap hari 4.000 batang tebu dikirim dari Jambi. Per batang dilego kepada para mitra seharga Rp 6.800, plus tambahan Rp 1.000 kalau tebu itu diantarkan ke tempat berjualan. Rata-rata pedagang menghabiskan 25 batang tebu setiap hari. ''Sehari bisa menjual 80 gelas saja dengan harga jual tanpa es Rp 3.500 per gelas atau Rp 4.500 per gelas dengan es, balik modal bisa tercapai sekitar lima bulan,'' seloroh pria yang tengah berencana membuka gerai di Singapura ini. (*/c2/kim)

Tentang Doddy

Nama: Doddy Sularso Bangun.

Lahir : Jambi, 15 Agustus 1972

Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Taruma Negara

Jabatan : Pemilik CV. Raja Tebu

Istri : Elly

Anak : Helen, Andreas, Cindy, Felix, Celline


Sumber: Jawapos, Rabu 2 Juni 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=137244

Naik Kelas, Sari Tebu Jadi Minuman Hotel Mulia

PENGALAMAN mengembangkan bisnis tebu selama lima tahun membuat insting Doddy semakin tajam. Itu juga yang dia tularkan kepada beberapa anak buahnya. Khususnya, yang menjadi ujung tombak di lapangan, yakni penjaja sari tebu dengan gerobak dan motor.

Salah satu hal yang Doddy berikan adalah resep sederhana untuk mengatasi penurunan omzet penjualan kala musim hujan tiba. Selama dua tahun pertama bisnis itu berjalan, bapak lima anak tersebut selalu dipusingkan oleh penurunan omzet sampai 40 persen untuk gerai di pinggir jalan kala musim hujan datang. Bahkan, penurunan omzet bisa lebih dari itu jika hujan turun sehari penuh.

Dia pernah iseng dengan meminta beberapa penjual sari tebu mendatangi tempat keramaian apa pun meski hujan. Ada yang mendatangi lokasi di dekat mal, tetapi tak dapat izin dari keamanan karena dianggap mengganggu arus lalu-lintas.

Namun, salah seorang penjual ternyata meraup sukses ketika berdagang di sekitar hotel dan apartemen. "Itu salah satu keuntungan yang didapat ketika gerai dan pelayanan kami menomorsatukan kebersihan. Karena itu, para penghuni hotel dan apartemen kalangan atas atau kaum berdasi tak canggung untuk meneguk minuman itu pada musim hujan," jelas penggemar olahraga voli tersebut.

Apalagi, kalangan berduit itu terbiasa menenggak minuman dingin pada kondisi apa pun, tak terkecuali kala cuaca dingin. "Sebab, mereka terbiasa tinggal di lingkungan ber-AC yang dingin. Itu membuat mereka lebih kuat dingin," papar dia.

Pucuk dicita, ulam pun tiba. Karena laris, salah satu gerai di Hotel Mulia, Jakarta, pun melirik usaha tersebut. "Alhamdulillah, sekarang, setiap bulan puasa, kami sebulan penuh diminta menggiling dan menyajikan sari tebu dalam hotel tersebut," ucap dia.

Doddy kini bukan lagi penjual sari tebu, tetapi penjual gerai dan tebu untuk mitra-mitranya. Gerai yang dijualnya kepada mitra mulai 10 sampai 20 gerai. Kini dia disuplai petani plasma tebu di Jambi dengan luas lahan 1.000 hektare.

Saat ini penyuka mobil jeep ini juga mampu meraup keuntungan miliaran rupiah dari kinerja gerainya yang kini lebih dari 800 unit yang tersebar di hampir seluruh daerah nusantara. Mitranya 350 orang lebih dengan karyawan lebih dari 900 orang. ''Jangan bicara omzetlah, bisa menakutkan. Yang jelas, bisa untuk beli satu rumah di Pondok Indah,'' terangnya lantas terkekeh. (luq/c11/kim)

Selengkapnya...