30 Januari 2010

Surabaya Transplant Center 3

Sumber : Jawapos, Sabtu 30 Januari 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=114377

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (3)

Dipotong Pakai Cusa, Harus Rapi dan Tidak Berdarah

Tepat sekali mantan CEO Jawa Pos yang kini menjadi Dirut PLN Dahlan Iskan menganjurkan tim liver transplant RSUD dr Soetomo agar belajar ke OOTC, Tianjin, Tiongkok. Para ahli di sana mengizinkan kami melihat dari dekat setiap tahap dalam transplantasi, baik pada donor maupun resipien (penerima)-nya.

Nany Wijaya, Wartawan Jawa Pos

---

Transplantasi liver adalah pekerjaan yang rumit, detail, dan membutuhkan banyak ahli. Apalagi, yang diganti adalah organ sebesar dan sepenting liver. Pastilah ruang operasinya besar, peralatan canggih, operasi belasan jam de­ngan belasan ahli bedah dan anestesi.

Setidaknya, itulah yang ada di benak saya. Saya tidak tahu gambaran para dokter yang bersama saya karena saya tidak bertanya.

Ketika tiba di ruang ganti OOTC (Oriental Organ Transplant Center) yang terletak di lantai 12, saya yakin gambaran itu tidak salah. Sebab, di ruang ganti wanita saja, ada lebih dari 200 loker yang terbagi dua. Satu loker di bagian depan, dekat rak sandal. Satu lagi di belakang, dekat kamar mandi dan pintu ke tangga yang menuju ke ruang operasi di lantai 13. Yang di ruang ganti pria juga begitu.

Seperti di rumah sakit lain, sebelum masuk kamar operasi OOTC, kita juga harus pakai baju dan sandal khusus kamar operasi, yang benar-benar bersih. Untuk mendapatkan baju dan kunci loker, kita harus memintanya dari ibu penjaga ruang loker. Sandalnya, bisa ambil sendiri di rak yang ada di samping loker depan.

Setiap orang berhak atas dua loker, yang nomornya sama. Satu loker di ruang depan, satu lagi di belakang. Yang depan untuk menyimpan jaket, tas, dan sepatu. Sedangkan loker belakang untuk baju dan perhiasan. Ruang loker yang di depan agak berbeda dari yang di belakang karena lantainya bertingkat dua. Atas dan bawah. Jarak antara lantai atas dan bawah hanya 10 sentimeter.

Lantai yang bawah disediakan untuk kaki yang masih bersepatu atau sandal dari luar. Sedang yang atas buat kaki telanjang atau yang memakai sandal ruang operasi. Karena kondisinya sangat bersih, sandal ruang operasi itu tak boleh menyentuh lantai yang bawah.

Antara ruang loker yang depan dan belakang, ada kamar mandi dan toilet. Di kamar mandi itulah para dokter dan perawat selalu mandi dan keramas setiap kali selesai operasi, atau sebelumnya bagi yang merasa tubuhnya berdebu atau berkeringat saat tiba.

Pengalaman pertama kami -baik dokter pria maupun wanita- di ruang loker ini sama: Terkaget-kaget. Sebab, para dokter dan perawat di sana berangkat mandi dan kembali ke loker dalam keadaan bugil, tanpa penutup apa pun. Untungnya, ruang loker pria dan wanita terpisah oleh tembok dan ruang ibu penjaga loker. Jadi, tak bisa saling mengintip. Meski begitu, tak ada dari kami yang berani mandi lantas lari bugil ke loker.

Setelah berganti dengan seragam ruang operasi yang berwarna agak kehijauan, kami ngumpul sebentar di ruang pertemuan yang tak jauh dari kamar ganti. Di situ, kami ditemani dr Cheng Pan, salah seorang direktur transplantasi liver OOTC. Di center itu ada 10 direktur. Empat direktur membawahi departemen transplantasi liver, dua untuk ginjal dan pankreas, satu untuk ICU, satu untuk anestesi, dan dua untuk ilmu penyakit dalam yang terkait dengan transplantasi ginjal dan liver.

Dengan dr Pan sebenarnya kami sudah bertemu, yakni saat perkenalan pada pagi harinya. Tapi, belum sempat ngobrol. Karena itu, momen menunggu persiapan pasien tersebut kami manfaatkan untuk ngobrol tentang transplantasi.

Sangat di luar dugaan kami, ketika ahli bedah yang pernah menimba ilmu di Amerika Serikat itu mengatakan, ''Transplantasi liver itu sulit. Tak mungkin bisa dilakukan oleh orang yang hanya mempelajarinya selama seminggu,'' kata ahli bedah andal itu.

Jujur, ciut juga nyali kami mendengar itu. ''Sangat discourage,'' komentar dr Philia, salah seorang ahli anestesi dan konsultan ICU dari Surabaya. Tetapi, akhirnya kami sadar, dia pasti tak bermaksud mengecilkan hati kami. Namun sebaliknya, menantang kami agar lebih serius ketika mempelajarinya dan tidak over confidence atau kelewat pede, sepulang dari OOTC.

Keyakinan tersebut terbukti. Selama kami di sana, dr Pan termasuk yang tidak pelit berbagi ilmu dengan kami. Baik selama di kamar operasi maupun di luarnya. Tak lama berdiskusi, dokter andalan OOTC itu lantas mengajak kami ke ruang operasi di lantai 13. Akses ke ruangan tersebut sangat khusus dan tak bisa diterobos orang-orang yang tidak berkepentingan. Termasuk keluarga pasien-pasien VIP.

Di ruang operasi nomor delapan, kami melihat seorang lelaki tua yang sangat kurus sudah tergolek di meja operasi. Kulit perutnya sudah mulai disayat, tetapi rongga perutnya belum terbuka. Pasien yang kulitnya sudah sangat menghitam itu ''ditangani'' oleh tiga dokter saja. Tepat di atas kakinya, ada seorang perawat kamar operasi yang bertugas melayani alat-alat yang dibutuhkan ketiga ahli bedah itu. Misalnya, gunting, benang, pisau bedah atau scalpel, kasa, spet, dan sebagainya.

Keempat orang itu melaksanakan tugasnya dalam posisi berdiri. Dan mereka akan terus berdiri selama operasi, yang rata-rata memakan waktu delapan jam. Selain mereka, ada seorang dokter ahli anestesi yang duduk tak jauh dari kepala pasien. Selama operasi, posisi duduk dan berdirinya di situ terus. Sebab, semua peralatan dan obat-obatan yang jadi tanggung jawabnya ada di sekitar kepala pasien.

Dan seorang perawat stand by, yang tugasnya mengambilkan tambahan cairan, obat, albumin, kasa steril, instrumen bedah, dan lain-lain. Biasanya, dia itu dibutuhkan pada awal pembedahan dan di tengah-tengahnya.

Tak ada yang istimewa pada tahap yang sangat awal tersebut. Cara menyayatnya pun standar. Karena itu, kami geser ke ruang sebelah, di mana donor berada. Bapak itu akan ditransplan dengan liver dari donor hidup yang kabarnya adalah anak kandungnya.

Setiap ruang operasi di lantai 13 itu memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Tidak terlalu luas, tapi tampak modern dan mewah karena dinding dan plafonnya berlapis bahan semacam epoxy berwarna abu-abu muda agak kehijauan. Begitu pula lantainya yang berwarna biru terang. Pintunya memakai sistem geser, yang bisa menutup secara otomatis. Untuk membukanya, cukup dengan menyentuhkan ujung sandal ke kotak stainless steel di ujung bawah bingkai pintu.

Peralatan operasinya? Wah dan mahal. Itu bisa dilihat dari merek dan bentuknya. Hampir tak ada sarana operasi di situ, termasuk pisau bedah, gunting, dan klem-klem untuk operasinya, yang bermerek lokal. Hampir semua bikinan Eropa dan Amerika Serikat. Begitu pula dengan obat-obatan dan cairan yang digunakan.

Semua atau 10 ruang operasi di lantai itu dilengkapi monitor, ultrasonografi untuk melihat aliran darah di pembuluh darah, dan alat rontgen ber-''lengan''. Ketika kami masuk ke ruang sebelah, tampak seorang anak muda bertubuh kekar tergolek di meja operasi dalam keadaan lemas tetapi sadar. Dada, lengan, hidung, dan mulutnya juga masih ''bebas''. Artinya, belum disambung dengan jarum-jarum, alat-alat monitor, atau slang-slang pembiusan. Bahkan, kateter untuk kencing pun belum terpasang. Dan karena itu, meja operasinya belum ditinggikan.

Meja operasi di situ bisa dinaikturunkan dan dicondongkan ke arah kepala maupun kaki, sesuai kebutuhan dokter. Saat persiapan, biasanya posisi meja masih rendah. Tetapi, setelah pasien dibius dan siap dibedah, biasanya meja dinaikkan sebatas dada ahli bedahnya. Itu untuk memudahkan dokter menjalankan tugasnya.

Meski donor tersebut masih sadar, kami tak berniat mengajaknya bicara. Apalagi, kami lihat mata lebarnya sedang asyik menjelajah ruangan dan alat-alat canggih di dekat kepalanya, yang pasti belum pernah dia lihat sebelumnya.

Dengan perawat yang sedang menyiapkannya pun, kami tidak berbicara. Satu-satunya komunikasi kami dengan perawat tersebut hanya terjadi saat kami masuk ruangan. Itu pun sebatas anggukan kepala.

Seorang perawat lain, lebih cantik, masuk ruangan, disusul seorang dokter yang masih sangat muda. Di center itu tak ada dokter atau perawat yang tua. Hanya yang sudah berpangkat direktur yang umurnya di atas 40 tahun. Tak ada yang lebih dari 48 tahun. Prof Shen Zhongyang sendiri, presdir OOTC, umurnya baru 48 tahun. Para perawatnya lebih istimewa lagi. Mereka tidak cuma muda, tapi umumnya juga cantik-cantik. Persis seperti komentar Pak Dahlan di buku Ganti Hati-nya.

Sesaat kemudian, anak muda tersebut mulai ''ditangani''. Tangan kanannya direntangkan ke penahan lengan di samping meja operasi. Di pergelangan tangan itulah, jarum infus yang kepalanya memiliki tiga mulut kecil untuk memasukkan infus, obat, dan entah alat apa lagi, dipasang. Sedangkan tangan kirinya dibiarkan tergolek sejajar tubuh. Di lengan atasnya hanya dipasang alat pengukur tekanan darah.

Lewat salah satu mulut jarum infus, dokter menyuntikkan sesuatu, yang saya kira adalah obat bius karena setelah itu si pasien tertidur. Sesudah itu, baru perawat memasang kateter kencing. Seusai memasang kateter, perawat yang sama meletakkan dua ganjalan kecil di bawah lutut pasien. Sementara perawat lain memasang semacam bantal kecil di bawah punggung atas pasien, sehingga posisi dada pasien agak mendongak.

Setelah itu, dia meninggalkan ruang operasi sambil membawa selembar celana panjang dari bahan flannel, yang dikenakan si donor saat dibawa ke kamar operasi tadi. Itu hal baru bagi sebagian di antara kami. Sebab, biasanya pasien sudah berpakaian khusus yang hanya bertali di bagian lehernya saat masuk ke ruang operasi.

Setelah itu, intubasi (memasukkan slang untuk pembiusan, untuk makanan, dan bantuan napas) dilakukan. Dilanjut dengan pembiusan dan pemasangan drap (kain steril penutup bagian tubuh yang tidak dioperasi) yang berlubang kotak di bagian perut hingga ketiak. Sebelum itu, bagian perut hingga leher pasien sudah disterilkan.

Bagian tubuh yang tidak tertutup drap ditutup selembar plastik steril yang kedua ujungnya berkantong. Kantong-kantong itu berfungsi menampung darah yang mungkin meleleh dari tubuh pasien, saat insisi (penyayatan) dilakukan atau selama operasi berlangsung.

Berbeda dari kantongnya, bagian tengah plastik tersebut berperekat dan menempel relatif kuat di kulit pasien. Gunanya untuk melindungi sterilitas kulit pasien yang tidak ikut dibedah. Karena menempel, saat dokter menyayat, plastik itu juga ikut robek. Namun, posisinya tidak bergeser. Pinggiran bagian yang tersayat juga tidak menganga sedikit pun.

Dengan dipasangnya plastik itu, berakhir sudah proses persiapan. Dan dimulailah tindakan pembedahan. Tiga dokter yang melapisi seragam operasinya dengan gaun operasi disposable (sekali pakai) berlengan panjang, yang steril dan tahan air, mengambil posisi di kiri dan kanan pasien. Yang ada di kanan pasien, tempat di mana liver berada, adalah kapten pembedahan. Sedangkan dua yang di kiri yang membantu.

Sebelum ketiganya mengambil posisi, perawat yang bertugas melayani kebutuhan pisau, gunting, jarum, dan sejenisnya lebih dulu memosisikan diri. Secara bertahap dan hati-hati, dokter mulai menyayat perut donor dengan irisan melintang dari pinggang kanan depan hingga pinggang kiri depan. Irisan itu tidak lurus, melainkan agak melengkung ke arah uluhati.

Untuk memudahkan pemotongan livernya, dokter lantas menambah bukaan perut dengan melakukan irisan tambahan di tengah irisan tadi, vertikal ke arah uluhati.

Bagian perut yang sudah terbuka tersebut lantas dikuakkan menggunakan retractor. Alat dari besi steril itu berbentuk lempengan pengait, yang bertumpu pada pipa-pipa tipis yang dirangkai di atas dada pasien. Kaki alat tersebut menempel dengan bantuan baut-baut kecil ke kaki meja operasi.

Besi penahan retractor itu hanya sebesar kelingking saya, tetapi kekuatannya sangat bisa diandalkan. Buktinya, tidak roboh atau melengkung ketika disandari ahli bedah (bukan kapten)-nya. Alat sederhana bikinan Jerman tersebut memiliki arti penting. Tanpa itu, mana mungkin dinding perut bisa ditahan dalam posisi menganga selama delapan hingga 12 jam.

Sebenarnya saya ingin membeli alat itu sebagai bagian dari persiapan untuk transplantasi liver perdana kita. Sayang, tak terjangkau karena harganya sekitar Rp 200 juta. Semoga Pak Gubernur Jatim bersedia membelikannya, sehingga transplantasi liver bisa segera dilaksanakan di Surabaya.

Dalam waktu setengah jam, perut terbuka. Seluruh isinya terlihat, termasuk liver donor yang berwarna merah jambu, montok dan mulus seperti pipi bayi. Itu menunjukkan liver tersebut sangat sehat.

Dengan tangan, dokter mendongakkan liver. Lantas mengambil kain steril yang sudah dibasahi untuk menutup usus pasien agar tidak tergores saat sang kapten membelah liver. Setelah itu, baru dia memeriksa liver dan posisi pembuluh darah-pembuluh darah liver yang akan dipotong.

Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan dengan sangat hati-hati karena sangat menentukan kualitas potongan liver yang akan dipasang ke donor dan yang terpenting, nasib sang donor sendiri.

Kalau salah potong, bisa terjadi perdarahan hebat yang salah-salah bisa merenggut nyawa si donor. Tragis sekali kalau hal itu sampai terjadi, karena donor hidup biasanya orang sehat dan berusia produktif. Sebab, salah satu syarat untuk menjadi donor hidup adalah berusia di bawah 50 tahun. Selain livernya harus sehat, tidak punya penyakit kanker yang bisa menyebar, diabetes atau gangguan jantung, paru, dan ginjal. Orang berusia 55 tahun juga masih bisa jadi donor liver, tapi yang terbaik adalah yang di bawah 50 tahun.

Selain untuk menghindari perdarahan, mengetahui posisi pembuluh darah liver sangat penting. Sebab, yang harus dibagi antara donor dan resipien (penerimanya) bukan cuma livernya, tapi juga pembuluh darahnya.

Seperti diketahui, liver terdiri atas dua bagian. Masing-masing bagian disebut dengan lobus. Besar kedua lobus itu tidak sama. Yang kanan lebih besar (65 persen) daripada yang kiri (35 persen). Kalau resipiennya bertubuh besar, yang diambil dari donor adalah lobus kanan. Kalau kecil atau wanita, biasanya yang dipakai lobus kiri. Sedangkan anak kecil dan bayi, hanya dua segmen (sekitar separo) dari lobus kiri. Keseluruhan liver memiliki delapan segmen.

Masing-masing lobus memiliki pembuluh darah sendiri, tetapi saling berhubungan. Terutama cabang-cabangnya. Bentuk dan jumlah cabang-cabang tersebut tidak sama pada setiap orang. Karena itu, dokter harus sangat sangat berhati-hati dan jeli saat membelahnya, agar liver yang diberikan kepada resipien maupun yang ditinggal di tubuh donor sama-sama berfungsi dan hidup sebagaimana mestinya.

Liver adalah satu-satunya organ dalam tubuh manusia yang bisa tumbuh sendiri. Hanya, pertumbuhan kembali liver donor jauh lebih cepat daripada yang ada di tubuh resipien. Bahkan, dua hari setelah dipotong, liver donor sudah menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan kembali. Dalam tempo dua tahun, liver donor sudah kembali utuh.

Pertumbuhan yang ada di tubuh resipien memang tak secepat itu. Tetapi, begitu pembuluh-pembuluh darahnya tersambung sempurna, potongan liver yang hanya separo (atau secuil pada anak-anak) itu sudah langsung berfungsi. Mahabesar Tuhan!

Rumitnya pemotongan liver tidak hanya menyangkut pembuluh darah dan saluran empedunya. Tetapi juga pada tepian potongan yang harus rapi dan tidak berdarah. Karena itu, dianjurkan untuk menggunakan Cusa. Pemotong liver yang mata pisaunya bukan metal, tapi berupa gelombang ultrasounds. Alat yang sangat mahal tersebut sudah dimiliki RSUD dr Soetomo Surabaya.

Kalau terpaksa, pemotongan bisa juga dikerjakan dengan pisau Harmony. Pemotong liver yang mata pisaunya metal. Tetapi, hasilnya tak bisa sebagus Cusa.

Meski menggunakan Cusa, kehati-hatian tetap menjadi suatu keharusan dalam membelah liver donor. Karena itu, proses tersebut bisa memakan waktu hingga dua jam. Bahkan bisa lebih kalau kaptennya belum betul-betul jagoan. (bersambung/iro)
Selengkapnya...

Surabaya Transplant Center (2)

Sumber: Jawapos, Jum'at, 29 Januari 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=114201

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (2)

Mirip Bengkel, Sehari Bisa Delapan Kali Transplantasi

Kita sering mendengar pepatah, 'Belajarlah walau sampai ke negeri China'. Untuk transplantasi liver, Tiongkok memang tempat belajar yang paling tepat. Selain jumlah kasus yang ditangani paling banyak, juga teknik operasinya paling maju. Begitu pula perawatan pascaoperasinya.

Oleh: Nany Wijaya

Wartawan Jawa Pos

Januari ini sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk datang ke Tianjin, Tiongkok. Sebab, udara di kota itu, seperti juga di Beijing, sedang tidak ramah. Suhunya bergerak dari minus 8 sampai minus 13 derajat Celsius, di bawah nol. Bagi orang lokal, ini musim dingin terburuk dalam lima tahun terakhir.

Namun, karena berpacu dengan waktu, inilah pilihan terbaik kami. Seperti yang saya sebutkan di tulisan kemarin, kami sedang berusaha menyelamatkan seorang bocah berumur tiga tahun yang sangat memerlukan liver baru.

Bocah ini akan mendapatkan donor dari ibunya. Untuk itulah, sembilan dokter dan dua perawat dari RSUD dr Soetomo Surabaya belajar dengan sangat serius di OOTC (Oriental Organ Transplant Center), Tianjin. Kondisi bocah inilah yang membuat kami tak takut pada dinginnya udara Tiongkok. Ketika kami tiba, Minggu pagi (17/1), suhu di Beijing minus 10 derajat Celsius. Begitu pula di Tianjin, yang berjarak sekitar 2,5 jam dengan bus dari ibu kota negeri berpenduduk 1,3 miliar orang itu.

Tanpa saya ceritakan pun, pembaca pasti sudah bisa membayangkan dinginnya udara bersuhu serendah itu. Dari dalam gedung terminal, terlihat salju masih menyelimuti sebagian jalan dan atap bangunan-bangunan di luar bandara. Padahal, sinar matahari cukup cerah. Artinya, udara di luar bandara memang sedang sangat dingin.

Tianjin sebenarnya bisa dicapai dengan kereta api yang baru dari Beijing. Lebih cepat, hanya 28 menit. Tetapi, karena kami masing-masing membawa koper besar -risiko traveling di musim dingin- terlalu ribet kalau harus menggunakan kereta. Apalagi, masih harus pakai underground (kereta bawah tanah) dulu. Dan, di sana, baik di bandara maupun stasiun, tidak ada petugas portir yang bisa membantu mengangkat koper.

Naik bus lebih simpel karena bisa langsung naik dari bandara. Turunnya di terminal bus Tianjin. Dari sini bisa naik taksi ke hotel atau ke mana pun tujuan kita.

Tepat jam makan siang, kami tiba di terminal Tianjin. Di situ Yang she fou (paman Yang) sudah menunggu kami dengan mobil pribadinya. Dia inilah yang melayani segala kebutuhan Dahlan Iskan selama dirawat di Tianjin. Ketika kembali ke tanah air, dia ikut dan tinggal di Surabaya selama enam bulan untuk mengurus makanan Dahlan.

Ini karena makanan punya peran penting dalam proses pemulihan pasien post-transplant. Jadi, meski dokter telah mengizinkan makan apa saja, sebagaimana orang normal, sebaiknya pasien tetap memperhatikan kandungan dan nilai gizi makanannya. Misalnya, jangan terlalu banyak mengonsumsi kandungan protein. Sebab, liver baru belum bisa bekerja maksimal.

Jarak terminal dengan Hotel Hua Xia tempat kami menginap, hanya 15 menit dengan taksi. Ongkosnya juga tidak mahal.

Hotel Hua Xia tidak besar, tapi bintang tiga. Lobinya kecil dan sederhana. Begitu pula restorannya. Tetapi, kamarnya sangat bersih, nyaman, dan apik. Para petugas dan pelayannya juga ramah, meski itu hotel milik pemerintah.

Dulu, pegawai pemerintah di Tiongkok memang terkesan sangar dan tidak ramah. Apalagi polisi, militer, dan petugas imigrasinya. Tetapi, sekarang tidak lagi. Mereka sekarang umumnya ramah, santun, dan murah senyum. Tiongkok benar-benar sudah berubah.

Hal paling menarik dari hotel ini, menurut saya, adalah adanya kotak-kotak kondom dan obat kuat di setiap kamar. Beberapa tahun terakhir, untuk menghambat penyebaran penyakit hepatitis dan HIV/AIDS, pemerintah di sana mewajibkan semua hotel menyediakan kondom di setiap kamar. Kalau obat kuat, itu kreativitas pihak hotel.

Namun, karena kemasan barang-barang tersebut mirip kotak permen dan diletakkan di meja samping ranjang, sebagian dari kami lantas mengira itu permen. Untung, ada yang memberi tahu saya. Dengan demikian, di antara kami tidak ada yang sempat mengunyah kondom. He he.

Minggu itu kami free. Tetapi, karena niat kami ke Tianjin untuk belajar, bukan piknik, waktu kosong itu kami pakai untuk diskusi tentang hal-hal yang perlu diperdalam selama di OOTC.

Senin pagi (18/1) yang kami nantikan tiba. Pukul 06.00 waktu setempat, saya sudah bangun. Langit di luar masih gelap dan berkabut tebal. Berarti di luar sana sangat dingin. Namun, suara klakson mobil sudah ramai bersahutan. Para pejalan kaki dan pengendara motor, sepeda bermotor, dan sepeda onthel juga sudah banyak yang berlalu lalang. Semuanya mengenakan overcoat tebal dengan penutup kepala dari bahan wool.

Luar biasa etos kerja bangsa Tiongkok ini. Layak diacungi dua jempol. Bayangkan, di pagi yang masih buta dan sangat dingin seperti itu mereka sudah mulai beraktivitas. Pantas kalau negeri ini bisa maju pesat dalam waktu singkat.

Jarak antara hotel dan rumah sakit Tianjin First Central, tempat OOTC bernaung, hanya 10 menit berjalan kaki. Ketika kami berangkat, matahari mulai bersinar. Tetapi, udaranya masih cukup untuk membekukan ujung hidung dan jari-jari kami. Maklum, masih minus 8 derajat Celsius. Atau dua derajat lebih hangat dari ketika kami tiba di Beijing.

Sebagaimana umumnya, acara pertama kami adalah perkenalan dengan para petinggi OOTC. Mereka menyambut kami dengan baik dan hangat. Bahkan, presiden direkturnya, Prof Dr Shen Zhongyang, langsung menawarkan kunjungan ke pusat transplantasi lain yang dipimpinnya, yakni di Rumah Sakit Tentara Beijing. Sebuah tawaran menarik yang tak mungkin kami tolak.

Acara berikutnya adalah berkeliling melihat fasilitas-fasilitas yang mereka miliki. Makan siang, lantas mendengarkan kuliah tentang teknik transplantasi liver.

Sebenarnya, kami ingin sekali bisa melihat langsung pelaksanaan transplantasi. Maklum, lima dari sembilan dokter yang ikut adalah ahli bedah digestif (perut) dan vaskuler (pembuluh darah) dan tiga lainnya ahli anestesi dan konsultan ICU. Begitu pula perawatnya. Yang seorang perawat untuk critical care (ICU), sedang yang lain, perawat bedah di kamar operasi. Hanya dr Sjamsul Arief yang bukan. Artinya, mereka adalah orang-orang yang sehari-hari berhubungan dengan operasi, anestesi, dan perawatan masa-masa kritis post atau pascaoperasi. Jadi, wajar sekali kalau mereka ingin segera bisa kembali ke "habitat"-nya.

Sayangnya, jadwal kami hari itu adalah kuliah di ruang pertemuan. Bukan di kamar operasi. Baru pada Rabu (20/1) kami diikutkan operasi. Itu pun masih tentatif (belum pasti), menunggu ada tidaknya donor cadaver (mayat). Maka, hari itu kami hanya bisa menyampaikan harapan (sambil berdoa).

Tampaknya Tuhan mendengar doa kami. Saat menanti jadwal berikutnya, Ellen Wei, sekretaris presdir OOTC, menawarkan, apakah kami mau ikut operasi? Siang itu akan ada transplantasi dengan menggunakan donor hidup. Risikonya, kalau kami mau, jadwal kuliah ditiadakan.

Mendengar itu, serentak kami menjawab, "Ya, mau!" Pucuk dicinta ulam tiba. Mana mungkin ditolak.

Karena operasinya agak siang, kami disuruh makan dulu di ruang VIP kantin rumah sakit, yang sudah di-booking Ellen. Di ruang itu hanya ada sebuah meja bundar yang tak terlalu longgar untuk 12 orang. Di situ sudah ditata peralatan makan yang terlalu bagus untuk ukuran kantin rumah sakit. Makanan dan cara menyajikannya juga oke banget.

Seusai makan, kami langsung ke lantai dua, ke ruang Prof Dr Shen Zhongyang yang bersebelahan dengan kamar kerja si cantik Ellen Wei. Kami ke situ bukan untuk bertemu Prof Shen. Sebab, seusai berkenalan dengan kami tadi, dia langsung ke bandara, terbang ke Beijing untuk rapat dengan Departemen Kesehatan. Kabarnya, hari itu dia minta izin untuk datang siang karena ingin menyambut kami. Sungguh suatu kehormatan bagi kami, tim dari RSUD dr Soetomo Surabaya.

Dengan didampingi Cindy, penerjemah resmi OOTC, kami menuju lantai 12 untuk ganti pakaian operasi.

Sambil menunggu donor dan resipien disiapkan, kami diajak ke lantai 13. Lantai ini terisolasi. Hanya mereka yang terlibat operasi yang boleh masuk. Di situ ada 10 ruang operasi, serta ruang penyimpanan bahan dan instrumen untuk operasi. Di salah satu ujung lantai ini ada lift besar untuk menaikkan pasien yang akan dioperasi, dan untuk menurunkan pasien yang selesai ditransplant. Di sisi lain lantai ini ada ICU. Tetapi, tempat ini bukan untuk pasien post-transplant. Ruang tersebut untuk pasien operasi lain dan pasien pascatransplantasi yang belum siap dipindahkan ke ruangan, tetapi tidak lagi memerlukan pengawasan dan perawatan sangat intensif.

Untuk pasien yang baru ditransplantasi, yang tentu memerlukan pengawasan dan perawatan sangat intensif, disediakan ICU khusus di lantai 12. Ruang ICU ini terletak di samping lift yang ke lantai 12. Di ruang inilah, Dahlan dulu "singgah" dan kali pertama dijenguk keluarganya, setelah livernya diganti dengan yang baru.

Lift yang ke lantai ini dijaga petugas khusus. Hanya dokter dan keluarga pasien yang dirawat di ICU yang boleh naik. Begitu pula pengunjung di lantai 13.

Meski ruang operasi ada di lantai 13, pengunjung ICU lantai tersebut tidak bisa masuk ruang operasi. Sebab, untuk ke ruang-ruang operasi itu, hanya ada satu akses: lift pasien yang ada di dalam ICU lantai 12. Letak lift ini tersembunyi dan diawasi. Karena itu, tidak sembarang orang bisa menemukannya, apalagi menggunakannya.

Oriental Organ Transplant Center atau OOTC sebenarnya bukan rumah sakit tersendiri. Hanya gedung dan administrasinya yang mandiri. Tetapi, secara yuridis, pusat ini berada di bawah naungan Tianjin First Central Hospital (TFCH). Sebuah rumah sakit pendidikan yang "tugas"-nya mendukung program pendidikan kedokteran Universitas Nankai, Tianjin.

Center ini memiliki 14 lantai. Lantai satu dan dua untuk administrasi dan kantor manajemen. Tiga-empat untuk ginjal dan saluran kencing. Sisanya, lantai lima hingga 12 untuk transplantasi. Tapi, lantai 13 khusus untuk transplantasi liver. Lantai teratas, untuk menyimpan instrumen operasi dan peralatan lain yang terkait dengan operasi.

Meski lantai 13 telah ditetapkan sebagai "wilayah"-nya transplantasi liver, sesekali tempat itu digunakan juga untuk ginjal. Yakni, ketika yang ditransplantasikan bukan hanya ginjal, melainkan multiorgan transplant (yang ditransplantasikan lebih dari satu organ).

Untuk operasi jenis ini, organ yang digunakan berasal dari satu donor. Seperti yang saya saksikan pada hari terakhir saya di situ, dari satu donor didapatkan tiga organ sekaligus. Yakni, liver, dua ginjal, dan satu pankreas. Karena umur organ-organ tersebut sangat terbatas -meski sudah didinginkan- ruang operasinya tidak boleh berjauhan. Karena itu, begitu selesai dicuci, masing-masing ginjal bisa langsung ditransplantasikan ke tubuh resipien, tanpa membuang lebih banyak waktu karena harus menunggu lift, misalnya. Begitu pula liver dan pankreasnya.

Ada kalanya seorang pasien membutuhkan dua organ sekaligus: Satu ginjal dan pankreas atau jantung dan paru-paru. Untuk ginjal, dalam transplantasi, seorang pasien hanya membutuhkan satu ginjal.

Karena itu, transplantasi organ yang satu ini bisa dilakukan dengan menggunakan donor hidup. Sama dengan liver.

Bisa belajar transplantasi di center ini sungguh suatu keberuntungan. Sebab, OOTC termasuk pusat transplantasi yang sangat aktif. Sebagai bukti, dalam setahun, center ini bisa melakukan lebih dari 650 transplantasi liver. Bahkan, mereka pernah melakukannya lebih dari 1.000 penggantian liver dalam setahun. Untuk ginjal, jumlahnya kurang lebih sama. Padahal, satu tahun hanya ada 365 hari.

Pada hari terakhir saya di sana, center itu melakukan delapan transplantasi liver dalam sehari. Bayangkan! Kok mirip bengkel ya!

Center ini memang lebih tepat disebut bengkel manusia daripada rumah sakit. Bengkel manusia terbesar di dunia, karena center ini yang paling banyak menangani penggantian organ-organ rusak dengan yang baru, dibanding pusat transplantasi lain di dunia.

Saya katakan mirip bengkel karena sejak masuk ke lobi OOTC sampai ke lantai-lantai tempat pasien dirawat, Anda tidak akan melihat perawat, pasien, dan dokter yang berseliweran. Sesekali saja, kalau beruntung, Anda berpapasan dengan pasien yang didorong kursi roda atau kereta dorong.

Namun, di lantai 13, Anda akan melihat betapa banyaknya manusia yang diganti "onderdil"nya, seperti sebuah bengkel mengganti spare parts mobil-mobil yang rusak agar bisa berjalan lagi. (bersambung/kum)
Selengkapnya...

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (1)

Sumber: Jawapos,Kamis, 28 Januari 2010
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=114034

Surabaya Siapkan Diri Jadi Liver Transplant Center (1)

Bermula dari Dahlan, agar Cangkok Hati Lebih Terjangkau

Impian RSUD dr Soetomo Surabaya untuk menjadi pusat transplantasi liver segera terwujud. Pekan lalu tim dokter dan perawat rumah sakit pendidikan itu belajar ke pusat transplantasi liver terbesar di dunia, OOTC, di Tianjin, Tiongkok. Apa saja yang dipelajari dan bagaimana suasana belajarnya? Inilah catatan wartawan Jawa Pos, Nany Wijaya yang mendampingi tim tersebut.

---

ADALAH Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos Group yang kini menjadi Dirut Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang pertama mencetuskan ide perlunya program transplantasi liver di Surabaya.

Ide yang terdengar seperti suara dari langit itu dia sampaikan pada 31 Oktober 2007, saat meluncurkan buku tentang pengalamannya operasi ganti hati.

Seperti diketahui, 29 bulan lalu, ketika masih menjadi CEO Jawa Pos Group, Dahlan menjalani transplantasi hati di Oriental Organ Transplant Center (OOTC), yang bernaung di bawah bendera Tianjin First Central Hospital (TFCH).

Seperti yang diduga banyak orang, biaya transplantasi liver sangat tidak murah. Sekalipun operasinya di Tiongkok, yang dalam segala hal terkenal sangat murah dibanding di negara lain, seperti Singapura, Korea, apalagi Jepang dan Amerika Serikat.

Itu karena yang harus disediakan penderita bukan hanya biaya operasi dan obat-obatan pascaoperasi. Juga biaya hidup dan tempat tinggal bagi keluarga yang mendampingi selama menunggu donor dan dalam perawatan pascaoperasi. Belum lagi tiket pesawat.

Tingginya biaya inilah yang menjadi concern Dahlan ketika itu. Belum lagi soal kendala bahasa, bagi mereka yang tidak bisa berbahasa Mandarin. Pimpinan lebih dari 100 surat kabar itu tidak punya kendala komunikasi selama di Tiongkok karena bahasa Mandarinnya sangat baik dan fasih.

Dua hal itulah yang lantas membuatnya merasa perlu untuk mendorong adanya program transplantasi liver di Surabaya. "Kalau transplantasinya di Surabaya, biayanya bisa lebih murah sehingga lebih banyak penderita bisa diselamatkan. Selain itu, tak perlu ada kendala bahasa," kata Dahlan saat itu.

Untuk membantu mewujudkan keinginan itu, Dahlan berjanji mendatangkan ketua tim dokter yang mengoperasinya dan menyerahkan semua keuntungan dari penjualan buku Ganti Hati-nya.

Ide dan niat baik Dahlan itu langsung disambut para dokter, terutama ahli bedah digestif (perut) RSUD dr Soetomo Surabaya. Selain karena kebutuhan transplantasi liver itu meningkat, juga sebagian dari mereka sudah mempelajari bidang tersebut ketika belajar di luar negeri. Misalnya, dr Poerwadi SpB, SpBA yang ahli bedah anak dan dr Sjamsul Arief SpA(K) MARS yang ahli penyakit liver anak. Poerwadi belajar transplantasi hati di Groningen, Belanda, sedangkan Sjamsul di Jepang.

Bagi RSUD dr Soetomo Surabaya, transplantasi organ bukan sesuatu yang baru. Jauh sebelum Dahlan ditransplan, mereka sudah banyak melakukan transplantasi kornea, jaringan (tulang dan kulit), dan bahkan ginjal.

Namun, untuk liver, terpikir pun belum. Ada banyak kendala teknis dan nonteknis yang tak mudah diatasi ketika itu. Mulai pengetahuan yang masih minim tentang transplantasi liver sampai ke masalah donor.

Mereka baru tergugah untuk melangkah ke bidang itu setelah Dahlan mengungkapkan keinginan dan dukungannya.

Masalahnya, dukungan saja tidak cukup. Apalagi, kalau transplannya harus menggunakan donor cadaver (mayat). Ketika itu, donor hidup belum terpikirkan meski di Jakarta dan Bandung sudah ada beberapa orang yang menjadi donor hidup bagi transplantasi liver. Apalagi, Dahlan sendiri ditransplan dengan donor cadaver.

Meski cadaver berarti mayat atau orang yang sudah meninggal, itu tidak berarti bahwa organ semua mayat bisa digunakan untuk transplantasi. Organ mayat yang bisa didonorkan adalah organ yang masih "hidup." Artinya, masih dialiri oksigen.

Tubuh mendapatkan oksigen dari paru-paru, melalui darah yang mengalir. Darah hanya bisa mengalir kalau jantung tetap berdenyut.

Seseorang dinyatakan meninggal kalau batang otaknya sudah mati. Kematian batang otak ditandai dengan berhentinya reaksi tubuh terhadap segala bentuk rangsangan. Mulai panggilan, cubitan, tusukan (jarum, misalnya) maupun sinar yang diarahkan ke pupil.

Organ tubuh sendiri tak bisa bertahan "hidup" lebih dari 20 menit, setelah batang otak mati. Kecuali jantung dan parunya dipertahankan tetap bergerak dan mengalirkan darah serta oksigen. Ini berarti orang itu harus dalam keadaan tersambung dengan alat bantu pernapasan, sejak sebelum atau sesaat setelah batang otaknya mati.

Alat bantu napas berfungsi mengalirkan oksigen ke paru dan mendorong jantung untuk tetap bergerak.

Kendala para dokter untuk mengambil organ dari orang yang sudah mati batang otaknya adalah agama dan budaya. Di Jepang sendiri, pelaksanaan donor dengan organ cadaver masih sangat sedikit.

Untuk mengatasi kendala tersebut, Jawa Pos lantas mengadakan beberapa diskusi dengan para ahli agama Islam, pakar dan penegak hukum. Hasilnya, pengambilan organ dari tubuh yang sudah mati tidak melanggar hukum apa pun kalau diambil dari orang yang secara medis memang sudah dinyatakan meninggal, tidak ada unsur jual beli, semasa hidup almarhum sudah mengizinkan, ahli waris juga mengizinkan, dan dianjurkan untuk menggunakan donor yang seiman.

Ternyata "lampu hijau" itu juga tidak cukup untuk menggerakkan tim dokter Surabaya melakukan transplantasi. Padahal, Menteri Kesehatan ketika itu, sudah menyatakan dukungannya. Saya tidak tahu di mana kendalanya.

Baru akhir bulan lalu, setelah dua tahun menunggu, keinginan melakukan transplantasi sendiri itu muncul dan disikapi dengan sangat serius.

Mengapa tiba-tiba keinginan itu muncul dan didorong ke permukaan dengan sangat serius? Tampaknya, ada keinginan yang kuat dari tim bedah anak untuk menyelamatkan nyawa dan masa depan seorang bocah berumur tiga tahun yang menderita kelainan atresia biliari. Bocah ini tinggal di daerah yang jaraknya sekitar empat jam perjalanan darat dari Surabaya, bersama kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai guru.

Status bocah ini sekarang adalah pasien rawat jalan, karena memang tak ada yang mengharuskan dia diopname.

Anak-anak dengan kelainan ini lahir dengan saluran empedu yang tidak sempurna. Pada orang normal, saluran empedu menghubungkan dua organ. Ujung yang satu menghubungkan kantung empedu dengan liver. Ujung lain menghubungkan liver dengan usus halus. Pada anak dengan atresia biliari, saluran yang ke usus itu tidak terbentuk. Dengan begitu, cairan empedunya menumpuk di liver. Akibatnya, liver rusak dan beban kerjanya berpindah ke limpa. Akibatnya, limpa membesar.

Karena semakin membesar, beberapa bulan lalu limpa itu diangkat oleh dr Poerwadi SpB, SpBA dari RSUD dr Soetomo Surabaya. Sebelum operasi dan setelahnya, bocah ini ditangani dr Sjamsul Arief SpA(K) yang ahli liver anak.

Dalam kasus atresia biliari, pengangkatan limpa sebenarnya tak banyak menolong. Sebab, yang dibutuhkan adalah saluran empedu yang menghubungan liver dengan usus halus dan liver yang sehat. Tetapi, jika limpanya tak segera diangkat, akibatnya bisa lebih fatal dan mungkin pertahanan hidup bocah malang itu lebih pendek.

Didorong oleh keinginan untuk menyelamatkan bocah ini dan lebih dari 20 bocah lain yang sependeritaan, program transplantasi liver ini dijajaki lagi.

Hanya, kali ini lebih serius, karena ada dukungan yang sangat konkret dari direktur RSUD dr Soetomo Surabaya dan gubernur Jawa Timur.

Pekan lalu, dengan rekomendasi Dahlan Iskan dan fasilitas Jawa Pos, sembilan dokter ahli dan dua perawat spesialis dari RSUD dr Soetomo Surabaya berangkat ke Tianjin, Tiongkok.

Kesembilan dokter itu adalah ahli bedah anak (dr Poerwadi SpB, SpBA dan dr IGB Adria Hari Astawa SpB, SpBA), ahli bedah digestif dewasa (dr Vicky Sumarki Budipramana SpB-KBD dan dr Iwan Kristian SpB-KBD), dan ahli bedah vaskuler (dr Heroe Soebroto SpBTKV). Kemudian, ahli anestesi (dr Philia Setiawan SpAn-KIC, dr Arie Utariani SpAn-KIC, dan dr Elizeus Hanindito SpAn-KIC) serta ahli penyakit liver anak (dr Sjamsul Arief SpA-K). Sedangkan dua perawat spesialisnya, masing-masing Choirul Anam dan Eko Yeppianto.

Ketika meninggalkan Surabaya pada 16 Januari lalu, tak ada yang mengira bahwa mereka adalah tenaga ahli yang sebenarnya sudah sangat siap melakukan transplantasi liver di Surabaya. Saya yakin, saat itu, mereka sendiri dan tim dokter ahli transplan di Tianjin juga tak menyadari hal itu.

Kehebatan dan kesiapan mereka untuk menjalankan misi besar itu justru tampak setelah mereka melihat langsung bagaimana transplantasi liver dilakukan di Tianjin dan setelah berdiskusi dengan tim dokter andalan OOTC. (bersambung/besok: 'Bengkel Manusia' Terbesar di Dunia/kum).
Selengkapnya...