26 Agustus 2009

Jiwa Wirausaha bagi Indonesia Maju

Sumber: Kompas, Rabu 26 Agustus 2009

Entrepreneurship harus terus dikembangkan karena tak akan ada habisnya. Akan terus ada peluang untuk entrepreneurship dalam mengubah kotoran menjadi emas,” ujar Ciputra dalam acara Hari Pendiri (Founder’s Day) Grup Ciputra di Jakarta, Senin (24/8). Suara Ciputra tetap prima walau telah mengikuti acara sepanjang hari.

Ditemani istrinya, Dian Sumeler, dan beberapa pucuk pimpinan Grup Ciputra, tokoh properti ini merayakan ulang tahun ke-78 bersama ratusan karyawan Grup Ciputra di kantor pemasaran Ciputra World di Kuningan, Jakarta.

Kesuksesan mengembangkan bisnis properti selama empat dekade tidak membuat Ciputra berpuas diri. Beberapa tahun terakhir ini, pendiri Grup Ciputra, yang memegang peran besar dalam Grup Jaya dan Metropolitan Development Group, ini berkeliling Indonesia menebarkan kewirausahaan.

Dalam satu kesempatan berbicara di depan ratusan orang dalam seminar yang diadakan Universitas Indonesia di Jakarta, Ciputra mengungkapkan, dia menjalani semua itu demi mencetak wirausaha andal.

Tanpa lelah Ciputra memotivasi semua orang, tua-muda, pemerintah-swasta, agar berwirausaha. Dia mendirikan berbagai sekolah dan tiga perguruan tinggi untuk mewujudkan cita-citanya, menelurkan jutaan wirausaha Indonesia. Ia meyakini, mereka yang memiliki jiwa wirausaha memiliki daya juang, inovasi, dan daya saing tinggi.

”Karena inovasi dalam kerangka entrepreneurship sangat penting untuk kemajuan,” katanya. Berkali-kali ia menekankan kata inovasi dalam orasinya.

Dalam berbagai kesempatan, Ciputra mengatakan, suatu bangsa membutuhkan sedikitnya 2 persen dari jumlah penduduknya menjadi wirausaha agar menjadi negara maju.

Singapura, yang tidak lebih luas dari DKI Jakarta, punya 7,2 persen wirausaha. AS 2,14 persen wirausaha. Indonesia baru memiliki 0,1 persen wirausaha. Indonesia, kata Ciputra, butuh sedikitnya 4 juta wirausaha.

”Jiwa entrepreneurship harus terus ditanamkan untuk survive dan menang dari kompetitor. Jangan berpuas diri. Kita punya juara olimpiade matematika dan lain-lain, tapi tidak maju karena kurang entrepreneur,” ujarnya.

Bill Gates kalah

Pak Ci, begitu panggilan akrabnya, menerima dua penghargaan dari pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) Jaya Suprana. Pertama, untuk prestasi meraih 42 penghargaan internasional dan domestik, dan, kedua, karena upayanya menyelenggarakan pelatihan kewirausahaan untuk 1.231 dosen.

Universitas Ciputra Entrepre- neurship Center menyusun model pembelajaran kewirausahaan, berakar pada sukses Ciputra.

”Pak Ci sudah menerima 42 penghargaan. Bill Gates cuma menerima 12 penghargaan,” ujar Jaya Suprana.

Menurut Jaya, banyak pengusaha yang sukses seperti Ciputra. Namun, dalam hal kewibawaan di usaha properti, nama Ciputra tidak ada tandingan.

Ciputra menjadi begawan properti yang disegani kawan dan lawan. Hanya dengan keteguhan jiwa wirausaha Ciputra mampu mencapainya. Jiwa yang ingin diwariskan kepada semua anak negeri ini. (hamzirwan)

Selengkapnya...

Eniya, Membuka Jalan ke Kota Hidrogen

Sumber: Kompas, Selasa 25 Agustus 2009

Oleh Nawa Tunggal

Selama belajar 10 tahun hingga memperoleh gelar doktor di Jepang, 1993-2003, inspirasi puncak Eniya Listiani Dewi meretas jalan menuju ”kota hidrogen” di Indonesia, seperti tahun 2003 saat Jepang mulai mewujudkannya di kota industri otomotif, Fukuoka.

Eniya berhasil membuka jalan ke kota hidrogen setelah memproduksi ”jantung” sel bahan bakar hidrogen dengan komponen lokal 80 persen sehingga harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan pasaran di Asia kini.

Masyarakat Ilmu Polimer Jepang memberinya penghargaan atas temuan tersebut dalam simposium internasional di Kobe, 29 Mei 2009 lalu. Sebanyak 4.000 ahli polimer dari berbagai penjuru dunia diundang menghadiri kegiatan itu. Namun, pemberangkatan Eniya dan semua peserta yang lain kemudian dicegah karena saat itu Kobe terserang pandemi flu A-H1N1.

Simposium dibatalkan. Simbol anugerah dikirimkan ke Indonesia dan diterima Eniya akhir Juni 2009. ”Justru masyarakat Jepang lebih dulu menghargai temuan hasil riset tim kami,” ujar Eniya, Kepala Perekayasaan Fuel Cell atau Sel Bahan Bakar pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Eniya, putri pertama dari dua bersaudara pasangan Hariyono (almarhum) dan Sri Ningsih, asal Magelang, Jawa Tengah, ini meraih banyak penghargaan di bidangnya.

Memulai dari akhir

Memahami kota hidrogen mencakup pemenuhan kebutuhan energi masyarakat kota secara ramah lingkungan. Tujuannya, melanggengkan kehidupan kota tanpa risiko pencemaran karena sel bahan bakar hidrogen menghasilkan energi tanpa mengemisi karbon dan limbahnya hanya air dan panas.

Aplikasi sel bahan bakar untuk kota hidrogen bertujuan memenuhi kebutuhan rumah tangga, mulai dari penerangan, memasak, sampai kendaraan. Jadi, knalpot kendaraan tak mengepulkan asap, tetapi mengucurkan air murni.

Menurut Eniya, Jepang membuat simulasi kota hidrogen dengan membagikan generator sel bahan bakar berkapasitas 1.000 watt-2.000 watt kepada 2.000 keluarga di Fukuoka untuk penggunaan cuma-cuma selama lima tahun. Disediakan pula angkutan umum bus dengan bahan bakar hidrogen yang ramah lingkungan.

Keinginannya mewujudkan kota hidrogen di Indonesia memang terkesan tak mungkin. Di balik itu Eniya mengungkap spirit dari teknokrat BJ Habibie dalam teknik berinovasi, yaitu start from the end atau memulai dari yang terakhir.

Kenangan akan Habibie terus mengendap karena Eniya berhasil mewujudkan keinginannya sejak kecil untuk studi di luar negeri berkat kebijakan Habibie era 1990-an. Saat itu Kementerian Negara Riset dan Teknologi di bawah Habibie memberi beasiswa bagi lulusan SMA berprestasi untuk melanjutkan studi ke berbagai negara industri.

Ia terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa dalam program Science and Technology Advance Industrial Development (STAID) Kementerian Negara Riset dan Teknologi.

Eniya menyelesaikan S-1 di Universitas Waseda, Tokyo, hingga memperoleh gelar doktor (S-3) pada Fakultas Aplikasi Kimiawi, Polimer, Katalis, dan Sel Bahan Bakar.

Teknologi sel bahan bakar termasuk the end atau bagian akhir pengembangan teknologi mutakhir menyongsong peradaban ramah lingkungan dalam pemenuhan energi dengan sumber energi tak terbatas, seperti air sebagai sumber hidrogen.

Menurut Eniya, metode produksi hidrogen, selain proses elektrolisis dari air, dapat pula ditempuh seperti di Fukuoka, yakni mengubah metana dari berbagai bahan bakar gas, termasuk biogas menjadi hidrogen.

Memupuk harapan

Seperti para periset dan perekayasa lain, Eniya berharap ada investor yang mampu mengaplikasikan temuannya untuk pengembangan sel bahan bakar secara kompetitif. Ia membuka secara transparan, bagaimana mengganti komponen ”jantung” sel bahan bakar impor dari AS atau Jepang dengan komponen-komponen lokal.

Manufaktur generator sel bahan bakar dengan komponen lokal sudah diuji menurunkan 80 persen harga dari pasaran Asia. Substitusinya antara lain pada material katalis elektrode sel bahan bakar impor dengan logam platina, yang berharga jauh lebih mahal, diganti komponen lokal vanadium yang fungsi dan keandalannya tak jauh beda.

Penggunaan nafion pada polimer elektrolit sel bahan bakar impor seharga 1.000 dollar AS (sekitar Rp 10 juta) per meter persegi disubstitusi proses sintesis hidrokarbon polimer nanosilika berharga Rp 1,5 juta per meter persegi, atau berkurang 85 persen.

Substitusi material impor juga untuk komponen lain sel bahan bakar yang dirangkai berurutan membentuk lapisan stack fuel cell atau generator sel bahan bakar. Komponen itu meliputi end-plate, current collector, graphite bipolar-plate, dan membrane electrode assembly (MEA) sebagai ”jantung” sel bahan bakar. Rangkaian stack fuel cell impor (tanpa MEA) senilai Rp 23,95 juta bisa diturunkan menjadi Rp 5 juta.

”Untuk mengaplikasikan temuan ini, saya berpijak pada upaya memproduksi listrik permukiman dengan sumber hidrogen yang menyesuaikan sumber daya setempat. Aplikasi untuk sistem transportasi bisa menyesuaikan kemudian,” ujar Eniya.

Selengkapnya...

Usain Bolt, Sang Sprinter Legendaris

Sumber: Kompas, Rabu, 26 Agustus 2009

Oleh Korano Nicolash LMS

Seusai memecahkan rekor dunia 200 meter atas namanya sendiri pada Kejuaraan Dunia Atletik Ke-12, di Stadion Olympic, Berlin, Jerman, Kamis (20/8), Usain Bolt yang genap berusia 23 tahun pada 21 Agustus lalu dengan rasa percaya diri tinggi menegaskan, sasarannya adalah menjadi sprinter legendaris dunia.

”Saya ingin menyampaikan bahwa tujuan saya berlari selama ini untuk menjadi sprinter legendaris. Oleh karena itu, saya tak pernah memikirkan rekor dunia. Saya juga tak membiarkan diri berada dalam suasana yang tertekan. Saya tahu apa yang harus dilakukan, semuanya tinggal dilaksanakan,” tandas Bolt.

”Saya berusaha melakukan semuanya sebaik mungkin. Saya merasa berada di jalur yang tepat untuk menjadi sprinter legendaris. Saya sungguh bahagia,” ujar pria dengan tinggi badan 196 sentimeter ini.

Keinginan Bolt menjadi sprinter legendaris dunia sudah dibuktikan sejak memecahkan rekor dunia 200 meter atas namanya sendiri. Tahun lalu dia juga beberapa kali memecahkan rekor dunia atas namanya.

Berawal pada 31 Mei 2008 dalam kejuaraan atletik di New York, Amerika Serikat. Ketika itu Bolt untuk pertama kalinya memecahkan rekor dunia atas nama rekan senegaranya, Asafa Powell. Rekor dunia Powell yang tercatat 9,74 detik pada Kejuaraan Nike dipertajam Bolt 0,02 detik menjadi 9,72 detik.

Hanya berselang tiga bulan kemudian, pada Olimpiade Beijing di Stadion Sarang Burung, Bolt kembali mempertajam rekor dunia 100 meter atas namanya sendiri, dari 9,72 detik menjadi 9,69 detik.

Tiga medali

Di Beijing, Bolt tidak hanya memecahkan rekor dunia 100 meter, tetapi juga rekor dunia 200 meter atas nama Michael Johnson, sprinter AS yang mencatat waktu 19,32 detik pada Olimpiade 1996 Atlanta.

Bolt mempertajamnya menjadi 19,30 detik, dan berselang empat hari kemudian Bolt bersama-sama rekannya, Nesta Carter, Michael Frater, dan Asafa Powell, kembali membuat rekor baru untuk nomor estafet 4 x 100 meter. Rekor sebelumnya dibuat tim estafet Inggris dengan waktu 37,73 detik, dan bertahan sembilan tahun.

Inilah kelebihan Bolt dibandingkan sprinter flamboyan asal AS, Carl Lewis, yang mampu meraih tiga medali emas sekaligus di Olimpiade Los Angeles 1984. Dia menjadi legenda karena meraih medali emas dari nomor 100 meter, 200 meter, serta nomor lompat jauh.

Sebelumnya, Jessy Owen, sprinter AS, meraih empat medali emas pada Olimpiade 1936 di Berlin. Bolt memperoleh ketiga medali emas di Olimpiade Beijing, ini sekaligus merupakan pemecahan rekor lari jarak pendek.

Bukti bahwa dirinya berada di jalur yang tepat untuk menjadi sprinter legendaris kembali dia pertontonkan pada Kejuaraan Dunia Atletik 2009 Berlin yang berakhir Minggu (23/8). Pada hari kedua (Minggu, 16/8) kejuaraan utama atletik yang merupakan babak final nomor 100 meter, Bolt turun di lajur 4. Ia kembali mencuri perhatian dunia setelah mampu memecahkan rekor dunia atas namanya sendiri menjadi 9,58 detik.

Tyson Gay (26), sprinter AS yang berharap mampu memberikan perlawanan kepada Bolt, tak mengecewakan. Gay berlari dengan waktu 9,71 detik. Dengan hasil tersebut, itu berarti Gay tertinggal 0,13 detik atau empat-lima meter di belakang Bolt, sekalipun waktu yang dibuat Gay menjadi rekor nasional baru untuk AS.

Kemampuan Bolt mempertajam rekor dunia atas namanya sendiri membuat orang lupa bahwa Maret lalu dia mengalami kecelakaan saat mengendarai kendaraannya di Kingston, ibu kota Jamaika. Beruntung, kecelakaan itu hanya membuat Bolt mengalami cedera ringan.

Berlatih keras

”Semua ini saya peroleh karena bekerja keras, berlatih keras, dan berusaha keras agar mampu mendapat hasil tercepat,” tutur Bolt seusai penutupan Kejuaraan Dunia Atletik Ke-12 tersebut.

Kerja keras Bolt kembali dibuktikan ketika kembali memecahkan rekor pada nomor 200 meter atas namanya sendiri. Untuk nomor ini, dia meninggalkan lawan-lawannya jauh di belakang. Percepatan yang dia lakukan atas rekor dunia itu signifikan, mencapai 0,11 detik. Ketika di Beijing, Bolt mencatat 19,30 detik dan di Berlin dia berlari dengan waktu 19,19 detik.

Medali emas ketiga Bolt kembali diperoleh dari nomor estafet 4 x 100 meter. Hanya di Berlin, Nesta Carter diganti sprinter spesialis 200 meter Jamaika lainnya, Steve Mullings.

Namun, bersama Mullings, Michael Frater, dan Powell— yang merupakan peraih medali perunggu 100 meter Berlin—tim Jamaika belum mampu memecahkan rekor dunia, seperti yang mereka lakukan di Beijing.

”Sebelum menyelesaikan nomor ini ada beberapa persoalan yang mengganggu, seperti Powell yang mengalami cedera selangkangan. Itu sebabnya dia berlari lurus agar tidak terganggu cederanya. Adapun saya menjadi pelari ketiga karena lebih bagus berlari di lintasan miring,” ungkapnya.

Apa pun hasil estafet 4 x 100 meter itu, Bolt sudah membuktikan bahwa dirinya berada di jalur menjadi sprinter legendaris dunia. Dalam dua kali kesempatan, Olimpiade dan Kejuaraan Dunia, dia meraih tiga medali emas sekaligus pemecahan rekor pribadinya.

Dari kriket

Berlari menjadi pilihan hidupnya. Lewat lari, Bolt mengantongi ribuan dollar AS. Dari Kejuaraan Dunia Atletik yang lalu, sebagai hasil pemecahan rekor, ia mendapat 320.000 dollar AS.

Pria kelahiran Trelawny, Jamaika, ini awalnya tak melirik dunia lari. Orangtuanya, Jennifer dan Wellesley, mengingat Bolt kecil yang suka bermain kriket hingga menginjak SMA William Knibb.

Namun, pelatih kriket di sekolah justru melihat bakat lari dalam diri Bolt. Dia lalu dilatih khusus oleh Pablo McNeil, mantan atlet olimpiade Jamaika, dan Dwayne Barrett. Pada Kejuaraan Dunia Yunior 2001 di Hongaria, Bolt belum mendapat medali.

Kemampuannya belum terasah, antara lain karena ia tak bisa melepaskan kebiasaan keluar malam. Namun, pada kejuaraan yunior di Kingston 2002, Bolt langsung menjadi juara dengan catatan waktu 20,61 detik di nomor 200 meter. Namanya langsung masuk tim olimpiade Jamaika.

Seusai meraih gelar di Sherbrooke, Quebec, Kanada, Bolt mulai dikenal. Bahkan ia memperoleh penghargaan dari International Amateur Athletic Federation (IAAF) sebagai atlet muda istimewa tahun 2003.

Bolt makin bersinar ketika dilatih Glen Mills tahun 2005. Mills mengajarkan pentingnya disiplin dan sikap profesional seorang atlet.

Olimpiade 2012 London masih tiga tahun lagi, tetapi Bolt sudah harus menyiapkan diri untuk mengikuti Liga Emas IAAF yang akan berlangsung di Zurich, Swiss, Jumat (28/8) ini.

Masih adakah kejutan yang bakal dia tunjukkan di Zurich? Pengamat atletik menyatakan bahwa kemungkinannya kecil mengingat kondisi Bolt masih belum pulih 100 persen. Kita tunggu saja....

Usain Bolt, Pemegang Rekor Dunia 100 Meter dan 200 Meter
sumber: Jawapos, 27 Agustus 2009

Segera Jadi Legenda

Arena atletik Olimpiade Beijing 2008 memunculkan satu nama yang amat fenomenal. Sprinter Jamaika Usain Bolt mengentak dengan tiga rekor dunia untuk melengkapi tiga medali emas yang dibawanya pulang.

---

USAIN Bolt jadi raja nomor lari jarak pendek dunia. Juara Olimpiade dan Kejuaraan Dunia sudah jadi bukti. Tapi, prestasi itu rupanya belum menjadi klimaks atas segala prestasi di dunia yang ditekuninya tersebut.

Dengan pose khas yang disebutnya sebagai pose ''Lightning Bolt'', bercanda di hadapan ratusan kamera foto dan televisi serta menyambut hangat sambutan para penonton di Olympic Stadium Berlin, Bolt kembali menjadi bintang di Kejuaraan Dunia Atletik 2009. Seperti di Beijing, Bolt mendominasi pemberitaan even tersebut berkat rekor dunia yang kembali diraihnya. Pelari 23 tahun itu memecahkan rekor atas namanya sendiri di 100 meter dan 200 meter.

Bolt mempertajam dua rekornya dengan lebih cepat 0,11 detik. Di 100 meter, catatan waktunya menjadi 9,58 detik, sementara di 200 meter jadi 19,19 detik. Tak diragukan lagi, Bolt masih layak menyandang julukan manusia tercepat di dunia atau Raja Sprint atau julukan-julukan lain yang sejenis.

Bolt datang ke Berlin melalui persiapan yang mungkin lebih keras jika dibandingkan dengan sebelum olimpiade. Beban untuk mempertahankan predikat juara jelas lebih berat baginya. Di tengah sikapnya yang hangat dan banyak bercanda, Bolt sukses menunjukkan keseriusannya yang berbuah manis.

''Tahun lalu (di Beijing) saya adalah lelucon. Tapi, saya menunjukkan kepada orang-orang tak ada lagi lelucon di sini (Berlin). Saya melakukan hampir semuanya seperti yang saya lakukan di Beijing. Memenangkan tiga emas di sini, sa­ya bangga pada diri saya,'' ujarnya. Bolt meninggalkan kesan yang mendalam di Berlin. Dengan gaya khasnya yang suka bercanda, dia membuat banyak orang di Berlin tersenyum.

"Bagi saya, tak terlalu sulit melakukan apa yang telah saya tunjukkan. Sebab, saya hanya berusaha untuk menjadi diri sa­ya sendiri dan bersenang-senang. Saya sangat ingin datang ke sini dan menunjukkan kepada siapa pun kepribadian saya. Ter­nyata, mereka suka itu,'' tutur Bolt.

Kini, jalan Bolt untuk menjadi legenda dari arena atletik makin terbuka. Dia sudah memiliki prestasi yang menakjubkan dan dikenal bersih dari hal-hal berbau kontroversi, seperti doping, yang sempat menenggelamkan atletik beberapa tahun terakhir. Karena itu, nama dan prestasinya turut mengangkat kembali pamor atletik.

''Saya belum sampai ke sana (menjadi legenda). Dari tahun ke tahun, saya harus menjadi juara lagi dan lagi,'' paparnya.

Pernyataan Bolt tersebut seakan merevisi dari pernyataannya beberapa hari sebelumnya saat di terjebak dalam euforia se­telah mencetak rekor di 200 meter. Saat itu, dengan penuh percaya diri, dia menyebut dirinya layak untuk disebut sebagai legenda lari jarak pendek.

"Saya akan menjadi legenda. Saya tidak peduli dengan rekor, tidak pula tertekan untuk itu. Saya tahu apa yang harus saya lakukan dan akan mengeksekusinya de­ngan baik," kata pelari berusia 23 tahun itu sebagai­mana di­lansir Reuters. (anton hadiyanto/diq)

Belum Puas Cuma 100 meter dan 200 Meter
Sumber: Jawapos, Kamis 27 Agustus 2009

USAIN Bolt membutuhkan tantangan lain di masa mendatang. Dia ingin menjadi pelari yang do­minan di nomor lari jarak pendek. Untuk itu, setelah menciptakan rekor dunia di nomor 100 meter dan 200 meter, Bolt mengincar rekor nomor 400 meter.

Bolt sedang menikmati kejayaan sesudah menciptakan dua rekor di Kejuaraan Dunia Atletik 2009 di Berlin, Jerman. Selain itu, dia menjadi bagian dari tim estafet 4 x 100 meter Jamaika yang juga menciptakan rekor Olimpiade.

Glenn Mills, pelatih Bolt, mengatakan kepada Radio Jamaica bahwa Bolt berambisi memecahkan rekor 400 meter yang masih dipegang oleh sprinter AS Michael Johnson. Rekor dengan catatan waktu 43,18 detik itu diciptakan Johnson pada 1999. Namun, Mills mengatakan bahwa realisasi Bolt bisa turun di nomor 400 meter baru terjadi pada 2010.

"Dalam poin karirnya saat ini, saya tak melihat ada masalah ba­gi dia (Bolt, Red) untuk ber­kon­sentrasi pada nomor 100 dan 200 meter. Jika dia tak termotivasi untuk terjun ke 400 meter, saya tak akan menekannya. Tapi, dia ingin mencobanya pada 2010," ujar Mills kepa­da Eurosport.

Menurut Mills, 2010 menjadi waktu yang tepat untuk me­ngawali kompetisi di 400 meter. Ma­sih ada dua tahun sebelum ber­langsungnya Olimpiade London 2012. Sehingga Bolt dan Mills dapat mengatur masa puncak sebelum terjun ke berbagai kompetisi sebagai persiapan menuju Olimpiade.

Sejauh ini, belum ada pelari yang memiliki rekor di tiga nomor tersebut. Bolt berpeluang menjadi orang pertama yang punya rekor di tiga nomor jarak pendek dalam waktu bersamaan. Sampai saat ini, catatan terbaik Bolt di 400 meter adalah 45,28 detik.

Sementara itu, seorang biomechanist asal Stanford University (AS), Prof Mark Denny, me­rilis sebuah penelitian tentang re­kor 100 meter. Setelah Olimpiade lalu, dia memprediksi bahwa rekor di nomor tersebut masih bisa diperbaiki hingga seperlima de­tik atau 0,20 detik di masa men­datang. Denny melihat bahwa para sprinter pria belum men­dapatkan kecepatan puncak di berbagai nomor lomba.

Saat ini, rekor Bolt di 100 meter adalah 9,58 detik. Jika di­ban­dingkan dengan rekor Bolt di Olimpiade Beijing 2008, catatan waktu tersebut lebih cepat 0,11 detik. Denny memperkirakan, suatu saat nanti ada sprinter yang mencatat waktu 9,48 detik. Artinya, Bolt tinggal 0,10 detik lagi untuk bisa mencapai puncak kecepatan sprinter pria versi Denny. (ady/diq)

Segera Rilis Buku Kisah Sukses
Sumber: Jawapos, Kamis 27 Agustus 2009

PERJALANAN Usain Bolt hingga mencapai kesuksesan terbukti telah memberikan inspirasi bagi banyak orang. Tapi, kisah yang dilakoni Bolt tersebut saat ini baru bisa diketahui kalangan terbatas. Artinya, masyarakat luas masih belum bisa mengetahuinya dengan detail.

Nah, beberapa saat lagi, kisah itu bisa dinikmati kalangan lebih luas. Pihak Bolt berencana me­nerbitkan buku seputar kisah sukses Bolt. Saat ini proses untuk merealisasikan niat tersebut sudah masuk dalam pembicaraan dengan beberapa penerbit yang tertarik memublikasikan buku yang dimaksud.

"Kami sedang melakukan negosiasi buku tentang Usain," ujar Ricky Simms, agen Bolt, kepada Associated Press. "Kami belum dapat mengungkapkan lebih jauh hal itu saat ini," tambahnya.

Banyak hal yang akan dice­ritakan dalam buku tersebut. Tak hanya perjalanan Bolt di garis lintasan, tapi juga kisah hi­dupnya di luar kompetisi. Be­gitu pula kehidupan masa kecilnya dan kedekatannya de­ngan keluarganya.

"Negosiasi tak hanya tentang bagaimana buku tersebut disebarluaskan. Kami juga melakukan pembicaraan tentang semuanya, termasuk isi buku dan berbagai hal pendukungnya," jelas Simms. (ady/diq)

Inspirasi untuk Berprestasi
sumber: Jawapos, 27 Agustus 2009

KIPRAH Usain Bolt hingga ber­tabur rekor terbukti telah memberi inspirasi. Banyak orang mendapatkan motivasi tambahan dalam kehidupan. Bahkan, karena hal itu, Jamika bisa mencapai level atas dalam persaingan di dunia atletik.

Jamaika pulang dari Kejuaraan Du­nia Atletik 2009 dengan torehan tujuh emas, empat perak, dan dua perunggu. Bolt hanya menyumbangkan tiga emas di antaranya. Tapi, empat emas lain yang diperoleh rekan-rekannya terinspirasi dari emas pertama yang diraih Bolt pada nomor 100 meter.

''Usain membuat kami nyaman. Kemenangannya memberikan tambahan motivasi bagi kami. Akan sangat berbeda jika dia mengalami kegagalan besar di nomor 100 meter yang merupakan kekuasaannya,'' tutur Shelly Ann-Fraser yang menyumbangkan emas pada nomor 100 meter wanita.

Hal senada diungkapkan Brigitte Foster-Hylton dan Melaine Wal­ker. Ke­duanya meraih emas di lari ga­wang, Foster-Hylton di 100 meter dan Walker di 400 meter. ''Tim ini sangat beruntung memiliki pri­badi seperti Usain. Dia memberikan kemenangan besar bagi bangsa kami,'' papar Foster-Hylton. (ady/diq)


Selengkapnya...

22 Agustus 2009

Tong Sin Fu

Sumber: Jawapos, Sabtu 22 Agustus 2009


Tong Sin Fu, di Balik Generasi Emas Bulu Tangkis Indonesia-Tiongkok
Sudah Tidak Lagi Berpikir Menjadi WNI

Salah satu orang penting di balik keberhasilan Tiongkok menguasai bulu tangkis dunia adalah Tong Sin Fu alias Tang Xianhu. Pelatih kelahiran Lampung itu pernah memoles generasi emas bulu tangkis Indonesia. Dia terpaksa kembali ke Tiongkok karena permohonannya menjadi WNI (warga negara Indonesia) ditolak.

M.DINARSA K., Hyderabad

---

PRIA renta itu hampir selalu berada di tepi lapangan setiap kali Lin Dan tampil pada Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2009. Kepalanya terbungkus topi dan sebuah tas diselempangkan di pundak. Lin Dan, pebulu tangkis tunggal pria andalan Tiongkok, selalu menoleh ke arah pria renta itu setiap kali lawan berhasil menerobos pertahanannya. Me­nunggu instruksi.

Lin Dan, yang sejatinya hanya diunggulkan di peringkat kelima, akhirnya berhasil menjadi juara dunia di Gachibowli Indoor Stadium, Hyderabad, 10-16 Agustus lalu. Keberhasilannya, antara lain, berkat instruksi pria tua yang tak lain adalah Tong Sin Fu, pelatih tim nasional (timnas) Tiongkok.

Itu adalah gelar juara dunia ketiga bagi pemain berjuluk Super Dan tersebut, setelah memenanginya pada 2006 dan 2007. Di partai final, Tong tak tampak di pinggir lapangan lagi. Alasannya, mungkin, partai tersebut mempertemukan sesama pemain Tiongkok, Lin Dan v Chen Jin.

Tong adalah sosok yang sangat berjasa bagi kemajuan bulu tangkis di negeri terpadat di dunia itu. Sentuhan magisnya membuat Tiongkok menjadi raksasa bulu tangkis di era modern ini. Para pemain Tiongkok, dalam beberapa tahun terakhir, memang bermain dengan kemampuan jauh di atas pemain mana pun. Tak heran, pada kejuaraan di India itu timnas Tiongkok hanya kehilangan gelar ganda campuran. Empat nomor lain dikuasai pemain Tiongkok. Bahkan, tiga partai final berlangsung antarpemain Tiongkok.

Sebaliknya, Indonesia terpuruk. Nova Widianto/Liliyana Natsir, satu-satunya wakil di final kerjuaraan itu,dikalahkan duet Denmark, Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl.

Melatih pemain Tiongkok, kata Tong, tidak terlalu susah. Sebab, mereka sangat berbakat. ''Di Tiongkok, para pemandu bakat telah menyediakan pemain-pemain bagus. Kami, para pelatih, tinggal memoles,'' katanya dengan bahasa Indonesia yang masih fasih.

Tong memang lahir dan besar di Indonesia. Tepatnya di Teluk Betung, Lampung, 13 Maret 1942.

''Di Tiongkok, nama saya sering disebut Tang Xianhu atau Tang Hsien Hu, bergantung dialek daerah masing-masing. Tapi, orang tua saya memberi nama Tong Sin Fu,'' paparnya kala ditemui di sela Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2009. Ketika masih menangani timnas Indonesia, dia punya nama Fuad Nurhadi.

Tak kurang dari tiga puluh tahun dia menjadi pelatih bulu tangkis. Kepelatihannya berawal pada akhir 1979, saat dia mulai gantung raket. Selama enam tahun Tong memoles para pemain wanita Tiongkok. Di antaranya Li Lingwei dan Han Aiping. Dua pebulu tangkis andalan Tiongkok di era 1980-an.

Kemudian pada 1986 Tong melatih di Indonesia. Awalnya, dia tidak menangani pemain Pelatnas Cipayung. Dia melatih di klub Pelita Jaya milik Aburizal Bakrie. Ketika itu dia dikontrak USD 750 per bulan. Setelah itu Tong ditarik untuk menangani pebulu tangkis yang ditempa di Pelatnas Cipayung.

Ketika itu sejumlah pemain legendaris nasional masih di pelatnas. Seperti Liem Swie King di masa-masa akhirnya, Icuk Sugiarto, dan Hastomo Arbi. Kemudian, dia ikut membidani lahirnya para pemain generasi emas, seperti Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata, dan Hariyanto Arbi.

Bahkan, Tong mengantarkan Alan meraih medali emas bulu tangkis di Olimpiade Barcelona 1992. Waktu itu Susi Susanti juga berhasil meraih emas sehingga dijuluki pengantin emas. ''Para pemain Indonesia saat itu memang berbeda dengan yang ada sekarang,'' katanya.

''Secara kualitas mereka lebih baik. Selain itu, saya lihat mereka punya semangat dan kemauan keras untuk menjadi juara,'' lanjut pria 68 tahun itu. ''Filosofi saya sebagai pelatih adalah bukan pelatih yang harus pandai, melainkan pemain sendiri. Tugas pelatih hanya membantu,'' sambungnya. Pemain terakhir Indonesia yang ditangani adalah Hendrawan yang juga sempat menyabet juara dunia.

Pada 1998 dia memutuskan kembali ke Tiongkok setelah permohonannya menjadi warga negara Indonesia (WNI) ditolak. ''Kenapa itu (penolakan menjadi WNI, Red) diungkit-ungkit lagi. Itu sudah cerita lama,'' kata pria yang kini menetap di Fuzhou tersebut. ''Waktu itu saya sudah berusaha mati-matian untuk menjadi WNI, tapi tetap tidak dikabulkan. Apa mau dikata,'' katanya.

Dia hanya terdiam ketika ditanya apakah masih ingin menjadi WNI. ''Saya cukup bahagia dengan posisi saya saat ini. Kalau toh bisa menjadi WNI, sekarang usia saya sudah lanjut,'' kata suami Li Qing itu, sembari sesekali membenarkan letak topinya.

Meski begitu, dia belum tahu kapan akan pen siun sebagai pelatih. ''Saya menikmati peran saya sekarang. Selama saya masih kuat, saya akan terus melatih. Sebab, di usia ini kalau tidak ada kegiatan, malah tidak enak,'' paparnya.

Di Tiongkok, Tong tak langsung melatih tim nasional, melainkan menjadi pelatih tim bulu tangkis Provinsi Fujian. Tak lama kemudian, dia melatih timnas Negeri Panda itu. Pada Olimpiade Sydney 2000, dia harus melihat anak didiknya, Xia Xuanze, menyerah di tangan Hendrawan yang pernah dilatihnya.

Namun, Hendrawan hanya meraih perak di Olimpiade itu setelah di final dikalahkan Ji Xinpeng, pemain lain Tiongkok. Salah satu keberhasilan Hendrawan saat itu berkat arahan Tong Sin Fu. Sebaliknya, keberhasilan Ji Xinpeng mengalahkan Hendrawan -yang kini melatih tim Malaysia- juga berkat sentuhan Tong Sin Fu.

Setelah itu Tong ikut membidani lahirnya para pebulu tangkis andalan Tiongkok saat ini. Mi salnya, Lin Dan, Chen Jin, Bao Chunlai, dan ganda pria Cai Yun/Fu Haifeng. Nama-nama inilah yang beberapa tahun terakhir mendominasi peta persaingan bulu tangkis dunia. Bahkan, selain mengantarkan Lin Dan hat-trick juara dunia, dia berhasil mengantar Super Dan meraih medali emas Olimpiade Beijing tahun lalu.

Tong merupakan salah satu pemain junior Indonesia terbaik di era 1950-an. Pada 1960, dia pergi ke Tiongkok bersama rekannya, Hou Chia Chang, asal Surabaya. ''Saya meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi sambil bermain bulu tangkis,'' tutur bapak dua anak itu.

Dia meninggalkan orang tua dan tiga saudaranya, yang saat itu tinggal di daerah Pejompongan, Jakarta.

Di Tiongkok karir bulu tangkis Tong Sin Fu melesat. Hanya dalam lima tahun dia sudah menjadi juara nasional. Gelar itu dikuasai sampai 1975. Hou Chia Cang juga berhasil. Mereka berdua dijuluki Raksasa Tiongkok karena keperkasaannya.

Sayang, ketika itu pemerintah Tiongkok tak mengizinkan atlet-atletnya mengikuti turnamen di Eropa atau di negara-negara yang tak sepaham. Akibatnya, nama mereka berdua tidak begitu dikenal secara internasional. Tapi, pers Barat yang mengendus keberadaan mereka menganggapnya sebagai kekuatan tersembunyi.

Tong hanya tampil di Ganefo (Games of The New Emerging Forces) 1963 dan 1966. Dia menjadi juara tunggal pria.

Pada 1976, ketika rezim komunis Tiongkok mulai terbuka dan mengizinkan atlet-atletnya bermain di luar negeri, Tong dan Hou mulai menunjukkan kemampuan. Bahkan, di sebuah laga ekshibisi, Tong berhasil menggilas pe main terbaik Eropa saat itu, Erland Kops, dengan skor sangat telak, 15-0, 15-0. Oleh pers Barat, Tong dijuluki The Thing.

Ketika itu dominasi tunggal pria dunia di tangan Rudy Hartono yang berhasil menjuarai All-England delapan kali. Tapi, Tong maupun Hou tidak sempat ditarungkan dengan jagoan Indonesia itu.

Mereka pernah bertemu Iie Sumirat dalam sebuah even antarpemain Asia di Bangkok pada 1976. Iie Sumirat berhasil memecundangi keduanya. Saat dikalahkan Iie Sumirat, usianya sudah 34 tahun. Tak lama kemudian, dia memutuskan gantung raket, dan menjadi pelatih.

Tong mengaku, meski sudah tak tinggal dan melatih di Indonesia, dia terus memperhatikan perkembangan bulu tangkis di negeri kelahirannya ini. Dia tak menampik, saat ini prestasi bulu tangkis nasional memang tak sebaik di era-era sebelumnya. Tapi, dia yakin, Indonesia kembali bangkit. ''Hanya masalah waktu menunggu bulu tangkis Indonesia berkibar kembali,'' ucapnya.

Dia mengaku masih punya banyak sanak-saudara di Indonesia. Sesekali dia pulang ke Indonesia. Kedua anaknya -dia tidak mau menyebutkan namanya- juga dilahirkan di Indonesia. Tong adalah contoh mutiara berharga yang disia-siakan. (*/cfu)


Selengkapnya...

12 Agustus 2009

Pulau Pribadi Rp 1,7 T

Athina Onassis Jual Pulau Pribadi Rp 1,7 T

Sumber: Jawapos, Rabu 12 Agustus 2009

ATHENA - Anda tertarik memiliki pulau untuk kepentingan pribadi? Cucu miliarder dan mantan raja kapal mendiang Aristotle Onassis, Athina Onassis Roussel, menjual sebuah pulau milik keluarganya di Kepulauan Ionian, Yunani. Pulau Skorpios tersebut ditawarkan EUR 120 juta (sekitar Rp 1,709 triliun).

Kabar penjualan pulau itu menjadi pemberitaan media massa di Yunani Senin lalu (10/8) dan dikutip sejumlah kantor berita asing kemarin (11/8).

Pulau tersebut digunakan Onassis sebagai tempat pernikahan dengan janda mendiang Presiden AS John F. Kennedy, Jacqueline (Jacky) Kennedy, pada 1968. Setelah Onassis meninggal pada 1975, pulau itu diwariskan kepada putrinya dan anak keduanya, Christina. Selanjutnya, ketika meninggal pada 1988, Christina mewariskan pulau tersebut kepada putri tunggalnya, Athina.

Jenazah Onassis, anak pertamanya (Alexander), dan Christina dimakamkan di pulau itu. Sebagai penghormatan, patung Onassis dibangun di Pulau Lefkada, pulau terbesar di Kepulauan Ionian, di dekat Pulau Skorpios.

Saat ini Athina merupakan satu-satunya keturunan Onassis yang masih hidup. Perempuan kelahiran 29 Januari 1985 itu mewarisi kekayaan tak kurang EUR 2,5 miliar (sekitar Rp 35,6 triliun) berupa properti, saham, perusahaan, karya seni, dan jet pribadi.

Namun, ahli waris kerajaan Onassis tersebut jarang menghabiskan waktu di Pulau Skorpios. Meskipun keturunan Yunani, pada 1999 dia menulis dokumen bahwa dirinya ''membenci semua hal yang berbau Yunani''.

Lahir dengan nama Athina Roussel, dia lebih suka menggunakan nama Athina Onassis de Miranda atau Athina Miranda Onassis dalam kompetisi berkuda. Apalagi, sejak dia menikah dengan atlet berkuda Álvaro Affonso de Miranda Neto pada Desember 2005.

Belakangan, muncul laporan bahwa Athina ingin menjual pulau itu setelah berselisih dengan pemerintah Yunani. Ini menyusul penolakan Yunani untuk memberikan status warga negara bagi suami Athina agar bisa mengikuti kompetisi berkuda dalam Olimpiade Athena pada 2004.

Negosiasi penjualan pulau masih berlangsung. Orang terkaya di dunia versi majalah Forbes, Bill Gates, menjadi salah satu tokoh yang berminat membeli. Diva musik pop Madonna juga tertarik.

Pulau Skorpios merupakan salah satu di antara gugusan pulau di Kepulauan Ionian. Saat ini pulau kecil itu dijaga ketat alias tertutup bagi orang luar. Sebagai pulau pribadi, Skorpios mulai dibangun pada 1960-an. Sekitar 500 pekerja membangun kediaman keluarga Onassis. Rumah tersebut dilengkapi fasilitas listrik dan jaringan air minum. Saat ini sekitar 30 orang dipekerjakan di sana sebagai penjaga keamanan.

Di pulau tersebut juga terdapat Pink House (vila yang ditinggali Jacky Kennedy), lapangan tenis, dan taman yang luas dan mewah. Ada dua pantai di pulau tersebut tempat kapal-kapal bisa bersandar.

Di atas salah satu pantai, terdapat kapel (gereja kecil). Di sanalah Onassis menikahi Jacky Kennedy dan anggota keluarganya dimakamkan. (DPA/dwi)

Selengkapnya...

03 Agustus 2009

Kembar Siam Dempet Kepala Pertama di Indonesia

Sumber: Jawapos, Senin 3 Agustus 2009

Ana-Ani, Kembar Siam Dempet Kepala Pertama di Indonesia
Hidup Normal, Berprestasi di Kampus

Dua puluh dua tahun lalu, untuk yang pertama di Indonesia, dua bayi kembar dempet kepala bisa dipisahkan. Kini, mereka sudah beranjak dewasa dan tergolong berprestasi di kampusnya. Inilah kisah mereka yang penuh liku.

---


JUMAT lalu (31/7) adalah hari ulang tahun Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani, dua saudara kembar yang ketika lahir dalam kondisi dempet kepala (craniopagus). Anak pasangan Tularji-Hartini itu lahir di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, pada 1987.

Kondisi Ana dan Ani (panggilan akrab untuk Yuliana dan Yuliani) saat itu tentu menyedihkan kedua orang tuanya. Setelah bertanya ke sana kemari, mereka dirujuk ke Jakarta. Akhirnya, pada 21 Oktober 1987, dilakukan operasi pemisahan oleh tim dokter di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Saat itu, operasi dipimpin Prof dr RM Padmosantjojo yang melibatkan 96 dokter, memakan waktu 13 jam, dan menelan biaya sedikitnya Rp 42 juta. Kasus Ana-Ani tersebut dicatat sejarah kedokteran di Indonesia sebagai kembar siam pertama yang sukses menjalani operasi pemisahan.

Kini Ana dan Ani sudah beranjak dewasa. Bulan depan, mereka memasuki semester lima masa perkuliahannya di Universitas Andalas, Padang. Dasar kembar, dalam banyak hal -mulai pilihan pakaian, aksesori, sampai gaya rambut yang dibiarkan tergerai panjang- selera mereka sama.

Sejak kecil, keduanya punya cita-cita yang sangat kuat untuk menjadi dokter. Itu dipengaruhi oleh sosok Padmosantjojo, ketua tim dokter yang sukses memisahkan mereka. Namun, hanya Ani yang berkesempatan masuk ke fakultas kedokteran. Ana berkuliah di fakultas perternakan jurusan nutrisi dan makanan. Meski beda fakultas, mereka satu kampus.

''Kami sudah sepakat, pokoknya harus satu universitas. Apa pun jurusannya. Pokoknya, yang penting salah satu dari kami ada yang di kedokteran,'' kata Ani ketika ditemui Jawa Pos di rumah Prof Kamardi Talut, orang tua wali Ana-Ani yang tinggal di Jalan Jati IV, Padang, akhir pekan lalu. Selama di Padang, Ana-Ani memang tinggal di rumah dokter spesialis bedah urologi Universitas Andalas itu.

***

Setelah lulus dari SMU Katolik Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, pada 2006 Ana-Ani mengikuti tes masuk PTN (perguruan tinggi negeri). Karena bercita-cita jadi dokter, keduanya memilih Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Itu pilihan pertama. Pilihan kedua adalah Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Sayang, hasil tes mengumumkan, mereka tidak lulus.

Ana-Ani kemudian pulang kampung dan kuliah di LP3I Tanjung Pinang. Meski lulus tes di jurusan IT dan komputer, tak lama kemudian keduanya pindah ke jurusan akuntansi. ''Kami pindah ke akuntansi. Sebab, di jurusan IT dan komputer, yang perempuan di kelas cuma kami,'' tutur Ani.

Setahun berjalan tak menyurutkan mimpi keduanya untuk menjadi dokter. Pada 2007, Ana-Ani kembali menjajal keberuntungan. Mereka kembali ikut tes masuk PTN. Pilihannya tetap kompak, fakultas kedokteran. Tapi, kali ini atas saran Padmosantjojo, pilihannya di Universitas Andalas. Asumsinya, persaingan masuk di Andalas tak seketat di UI.

Hubungan Padmosantjojo dengan Ana-Ani memang terjalin sejak mereka menjalani operasi pemisahan. Meski tak ada hubungan famili, Padmosantjojo sudah menganggap Ana-Ani seperti anak kandungnya. Begitu juga di mata dua saudara kembar itu, sosok Padmosantjojo sudah dianggap sebagai bapak kandung mereka. Karena itu, untuk cita-cita pun, mereka ingin menjadi seperti Padmosantjojo, yakni menjadi dokter ahli saraf.

Padmosantjojo juga sangat perhatian kepada anak-anak angkatnya tersebut. Karena itu, ketika tahu Ana-Ani ingin sekali menjadi dokter, dia dengan penuh ketulusan membantu. Termasuk membantu pembiayaan.

Saat tes masuk PTN ke Universitas Andalas, keduanya memilih fakultas kedokteran. Untuk pilihan kedua, mereka kompak mengambil jurusan nutrisi dan makanan fakultas peternakan.

Ternyata, hasil tes mengumumkan bahwa mereka diterima di pilihan kedua. Tentu saja mereka kecewa. Karena saking kepengin masuk di kedokteran, mereka lantas menjajal jalur extension. Sebenarnya, melalui jalur itu, keduanya bisa saja diterima. Tapi, Ana-Ani sadar, jika mereka sama-sama kuliah di jalur extension fakultas kedokteran, biayanya sangat mahal.

Sebagai gambaran, biaya masuknya saja di extension mencapai Rp 80 juta. Belum lagi SPP per semester Rp 6 juta. Kalau di peternakan jalur reguler, biaya masuk pada 2007 itu hanya Rp 3 juta dengan SPP Rp 1.450.000 per semester.

Ana-Ani sadar bahwa mereka tak ingin membebani Padmosantjojo dengan sama-sama memaksa masuk di jalur extension. Apalagi, saat itu Padmosantjojo yang biasa mereka panggil pakde akan segera memasuki masa pensiun.

Sejak lahir hingga sekarang, sang pakde itulah yang membiayai pendidikan mereka. Atas pertimbangan tersebut, Ana mengalah. Dia memilih tetap kuliah di fakultas peternakan dan Ani yang masuk ke kedokteran dari jalur extension. Apalagi, menurut mereka, Padmosantjojo sempat menyampaikan bahwa Ani lebih cocok di kedokteran. Ana dianggap tidak tegaan dan gampang merasa jijik daripada si Ani.

Selama menjalani kuliah, prestasi akademik keduanya cukup membanggakan. Nilai IPK terakhir si Ana 3,42 dan Ani 3,00.

***

Gara-gara beda fakultas, Ana-Ani tidak bisa lagi selalu berpenampilan kompak. Ada peraturan khusus di fakultas kedokteran. Semua mahasiswinya wajib mengenakan rok. Padahal, Ana maupun Ani sama-sama paling benci memakai rok. ''Ya sudah, Ani harus pakai rok. Mau bagaimana lagi, soalnya peraturan. Kalau aku, nggak bakalan deh,'' tutur Ana, lantas tertawa.

Di kampus, keduanya juga sering mendapatkan perhatian istimewa dari para dosen. Apalagi Ana-Ani memang cukup aktif di kelas. Tak jarang, dosen mengajak untuk membantu bila ada proyek-proyek penelitian. ''Ada nggak enaknya. Meskipun ada teman-teman yang suka, lebih banyak yang nggak suka. Banyak yang jealous (iri, Red),'' tuturnya.

Bagaimana soal biaya bulanan? ''Ada dari pakde (Padmosantjojo, Red) dan dari keluarga di Tanjung Pinang juga. Pokoknya, lebih dari cukup,'' jawab Ana.

Ani menceritakan, dirinya ingin menjadi dokter spesialis bedah saraf seperti Padmosantjojo. Dia sangat kagum dengan kepiawaian orang tua angkatnya itu. Apalagi, di kedokteran dia mempelajari betapa rumitnya saraf-saraf di kepala. Dengan segala keterbatasan teknologi kedokteran dulu, Ani sangat sadar bahwa peluang hidup mereka saat dipisahkan sebenarnya sangat kecil.

''Ternyata, Tuhan sangat baik sama kami. It's a miracle,'' kata Ani. Dia menyadari, sampai sekarang, pemisahan bayi kembar siam masih menjadi operasi yang berisiko tinggi. Terutama kembar dempet bagian kepala seperti dia.

Sebut saja kembar siam craniopagus asal Iran, Ladan dan Laleh Bijani, yang meninggal dunia karena kegagalan operasi pemisahan mereka di RS Raffles, Singapura, pada 8 Juli 2003. Padahal, saat operasi dilakukan, mereka sudah berusia 29 tahun.

Secara terpisah, Padmosantjojo menjelaskan, berdasar data yang dimilikinya, baru Ana-Ani satu-satunya kembar dempet kepala yang sukses dipisahkan, hidup sampai dewasa dan kuliah. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia.

Sekitar enam tahun lalu, Padmosantjojo mendapat kabar bahwa ada kembar dempet kepala yang juga sukses dipisahkan di Zimbabwe. Tim dokter di sana, ternyata, menggunakan teknik seperti saat Padmosantjojo memisahkan Ana-Ani. Caranya adalah membelah pembuluh darah (sinus sagitalis) di daerah otak si bayi kembar.

''Saya dengar karena membelahnya ragu-ragu, keduanya selamat. Tapi, ada cacat mental,'' katanya.

Ketua Umum Yayasan Nakula-Sadewa -sebuah perhimpunan bagi orang-orang kembar di Indonesia- Seto Mulyadi mengatakan, di dunia ini memang baru Ana-Ani kembar dempet kepala yang sukses dipisahkan dan tumbuh sehat hingga dewasa. ''Sampai sekarang, saya berpendapat mereka -termasuk Prof Padmosantjojo- sebagai harta kekayaan bangsa ini,'' ujar Seto, yang juga ketua Komnas Anak. (pri/kum)


Padmosantjojo, Dokter Dermawan yang Mengoperasi si Kembar Dempet Kepala
Sulitnya seperti Memisah Uang Kertas

Sumber : Jawapos, Senin 3 Agustus 2009

Prof Dr dr Padmosantjojo SpBS mungkin tergolong dokter langka. Dialah yang ikut mengoperasi bayi kembar dempet kepala Yuliana-Yuliani hingga berhasil. Perannya tak hanya sampai di situ. Dia juga yang membiayai sekolah saudara kembar itu hingga sekarang di bangku kuliah.

---

SETELAH mengoperasi Yuliana-Yuliani pada 1987, Padmosantjojo ti­dak pernah lagi menemukan dan berhadapan dengan kasus serupa. Bagi Padmosantjojo, operasi pemisahan kembar siam dempet kepala Yuliana-Yuliani merupakan momentum sekali dalam seumur hidupnya.

''Kalau bisa jangan ada lagi deh. Capek dan be­lum tentu berhasil lagi,'' kata ahli bedah saraf itu sete­ngah bercanda, saat ditemui di ruang praktiknya di RSCM, Jakarta Pusat, awal pekan lalu.

Menurut dia, Yuliana-Yuliani sampai sekarang masih memegang rekor sebagai bayi kembar siam dempet kepala termuda yang menjalani operasi pemisahan dan berhasil. Saat dioperasi, Yuliana-Yuliani baru berusia 2 bulan 21 hari.

Padmo merasa sukses besar yang diraih bersama tim tidak akan tercapai tanpa perlindungan Tuhan. ''Bayangkan saja, prinsipnya dikarang sendiri, lantas hipotesis itu juga dibuktikan sendiri. Nggak ada yang memberi contoh,'' ungkap ahli bedah saraf keturunan Pakubuwono IV, kelahiran Kediri 26 Februari 1938 itu.

Meskipun tak ada panduannya, operasi Yuliana-Yuliani meraih sukses besar. Keduanya terus hidup sampai sekarang dalam keadaan normal. Puncak dari operasi pemisahan itu adalah saat Padmo dengan telaten selama berjam-jam membelah perlengketan duramater otak dan pembuluh darah vena (sinus sagitalis) setebal 2,5 mm tanpa lecet dengan mata telanjang.

Cara ini tak pernah diikuti para pakar bedah saraf dunia, karena mereka tak cukup telaten. Ketika menghadapi kasus seperti ini, umumnya mereka memberikan seluruh pembuluh darah yang seolah menyatu itu ke salah satu bayi kembar siam. Lalu, pasangannya dicangkoki pembuluh darah buatan. ''Pemisahan ini seperti membelah uang kertas, tanpa merusak gambar pada sisi masing-masing,'' tuturnya.

Padmo juga meyakini dalam kasus kembar siam dempet kepala, operasi sebaiknya dilakukan secepatnya. Dia juga lebih suka membiarkan selaput otak luar membentuk lapisan tulang kepala sendiri daripada membuatkan tulang buatan. Teknik inilah yang belakangan diakui dunia bedah saraf internasional dengan sebutan prinsip Padmosantjojo.

Pascaoperasi, Padmo tidak mengizinkan Yuliana-Yuliani langsung dibawa pulang ke Tanjung Pinang. Bukannya khawatir dengan efek menyimpang yang muncul pascaoperasi pemisahan, Padmo ternyata tidak percaya keluarganya sanggup merawat Yuliana dan Yuliani dengan baik.

''Bagaimana mau percaya, wong dia (Tulardji) tukang batu yang nggak punya apa-apa,'' katanya. ''Padahal, usia balita itu kan rentan sekali. Bisa kena demam berdarah, mencret, atau muntaber yang nggak ada hubungannya dengan kondisi kembarnya, lalu bisa mati,'' imbuh lulusan Rijksuniversiteit, Groningen, Belanda itu.

Sampai 1994, Yuliana-Yuliani berada dalam perawatan intensif Padmo. Bahkan, kedua orang tua mereka, yakni Tulardji dan Hartini, be­serta ibun­da Tulardji, terus tinggal di Jakarta. Biaya selama di Jakarta hampir seratus persen ditanggung Padmo. Padmo menyebut banyak orang yang hanya membonceng populer. Tapi, mereka tidak ikut memberikan bantuan.

Setelah masa balita Yuliana-Yuliani dilalui, Padmo memutuskan merelakan keduanya beserta keluarga kembali ke Tanjung Pinang. Selain memberikan modal usaha bagi Tulardji, Padmo tetap membiayai kebutuhan sehari-hari, terutama pendidikan Yuliana-Yuliani.

''Saya kagum dengan Tulardji yang kehidupannya bisa berkembang seperti sekarang. Jarang ada orang diberi modal, terus mau berupaya serius untuk mengembangkannya,'' kata Padmo.

Tapi, mengapa mengizinkan Yulia­na-Yuliani yang sangat istimewa kembali ke Tanjung Pinang, bukannya dirawat sendiri?

''Saya tidak mau, kalau sudah dewasa terjadi cultural shock. Keluarga saya dan keluarganya berbeda. Di keluarga saya semua tersedia. Kalau nanti dia balik ke keluarganya lalu terjadi perbedaan nilai-nilai, kan jadi bingung. Bagi saya yang penting kesehatan ter­jaga, soal moral dan budaya biar ikut keluarganya sendiri,'' bebernya.

Soal besarnya cita-cita Yuliana-Yuliani untuk menjadi dokter, Padmo menyebut dia sama sekali tidak pernah mengarahkan hal tersebut. (pri/kum)


Ayah Pingsan, Ibu Tak Boleh Lihat


Sumber : Jawapos, Senin 3 Agustus 2009

JIKA saja Ana dan Ani lahir normal, keluarga Tulardji sebenarnya mempunyai persediaan uang yang cukup untuk biaya persalinan. Menjelang Hartini -istri Tulardji-melahir­kan, dia punya tabungan Rp 4 juta. Itu bukan jumlah yang kecil untuk ukur­an pada 1987.

Tapi, setelah proses persalinan Hartini harus melalui operasi caesar, Tulardji sama sekali tidak punya uang lagi. ''Begitu tahu bayi saya yang kembar dalam kondisi begitu (dempet kepala, Red), saya sempat pingsan. Saya merasa pusing, seolah tidak ada jalan solusi,'' kenang pria 48 tahun itu saat ditemui di rumahnya, Jalan Sumatera, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, awal pekan lalu.

Pekerjaan Tulardji sehari-hari hingga sekarang adalah tukang bangunan. Dia hanya lulusan SD.

Pria asli Pacitan itu mengatakan, dirinya sama sekali tidak pernah punya bayangan akan memiliki anak kembar. Apa lagi kembar siam dempet kepala. Begitu juga Hartini.

Hartini setelah menjalani caesar di RSU Tanjung Pinang tidak bisa lang­sung menemui bayi kembarnya. Kala itu, pintu ruang bayi tempat Ana-Ani selalu tertutup dan dijaga. Pihak rumah sakit, termasuk Tulardji, sengaja merahasiakan keadaaan sang bayi agar psikologis Hartini yang masih lemah tidak drop.

Beberapa hari menjelang dirujuk ke RSCM, Jakarta Pusat, Hartini baru bisa menemui Ana-Ani kali pertama. ''Hati saya kaget, takut, dan sedih. Tapi, saya mencoba untuk kuat,'' ke­nang wanita 44 tahun itu.

Jalan mulai terbuka setelah Bambang Sumantri, dokter anak di RSU Tanjung Pinang, merujuk Ana-Ani ke RSCM. Dengan bantuan biaya dari Pemda Riau, mereka bisa berangkat ke Jakarta pada hari yang ke-20. Sampai dilakukan operasi pemisahan, Tulardji dan Hartini tinggal di mes milik Pemda Riau. Setelah itu, mereka dipindah ke mes milik Depsos.

Tulardji menuturkan, ketika dilakukan operasi pemisahan Ana-Ani, situasinya sangat menegangkan. ''Sepanjang operasi berlangsung, saya dan istri hanya bisa berdoa,'' katanya.

Hingga sekarang, Tulardji mengaku tidak tahu persis siapa yang membia­yai operasi tersebut. Dia hanya me­ngerti bahwa perawatan dua buah hatinya pascaoperasi atas bantuan Ya­yasan Tiara Putra yang diketuai Halimah Bambang Trihatmodjo, menantu mantan Presiden Soeharto (alm).

Meskipun operasi berjalan sukses, para anggota tim dokter, terutama Padmosantjojo, yang menangani bedah saraf dan Iskandar Wahidiyat selaku dokter anak melarang Ana-Ani pulang ke Tanjung Pinang.

Padmosantjojo seminggu sekali memeriksa perkembangan Ana-Ani. Dari sana, hubungan kekeluargaan yang lebih erat tumbuh di antara mereka. Setelah dua tahun menumpang di mess milik Depsos, Tulardji diminta untuk mencari rumah kontrakan. Padmosantjojo yang membiayai.

Hingga 1994, Tulardji sekeluarga, termasuk ibunya, tinggal di Jakarta. Ketika itu, dia mulai merasa tidak betah. Penyebabnya, kehidupan ekonomi keluarganya tidak berkembang. Padmosantjojo memang sangat membantu. Tapi, Tulardji tak mau terus-menerus menjadi beban. Akhirnya, dia memutuskan untuk membawa pulang Hartini dan bayi kembarnya ke Tanjung Pinang pada perte­ngahan 1994.

Kembali ke Tanjung Pinang, Tulardji mendapat ''sangu'' sebagai modal hidup dari Padmosantjojo. Sebagian uang itu digunakan Tulardji untuk membeli tanah 17 x 17 m seharga Rp 15 juta di Jalan Sumatera yang menjadi tempat tinggalnya hingga sekarang.

Saat ini, di sebelah rumahnya itu berdiri rumah kos-kosan dua tingkat yang juga buah karya Tulardji. Yang di atas tiga kamar dan yang dibawah dua kamar. Selain memiliki satu Suzuki Shogun, Tulardji baru saja membeli dua kavling tanah di Batu Delapan, arah luar Kota Tanjung Pinang.

Hartini juga cukup produktif. Dia ikut membantu menambah pemasukan keluarga. Bersama sejumlah kawannya, dia berbisnis kredit barang-barang rumah tangga.

Menurut Tulardji, bantuan Padmosantjojo kepada keluarganya, terutama untuk Ana-Ani, tidak mungkin mampu dibalasnya. ''Ibarat bumi sama langit. Saya hanya bisa berdoa mudah-mudahan beliau sehat, mudah rezeki, dan panjang umur,'' katanya.

Ana-Ani punya dua adik, yaitu Geddy Prastikno, 15, yang baru saja masuk SMA dan Rizky Ferdiansyah, 11, kelas 1 SMP. Tulardji menuturkan, berbeda dengan kakaknya yang kembar, biaya semua keperluan Geddy dan Rizky mereka penuhi sendiri. ''Sebagai orang tua, kami menginginkan semua anak kami mendapatkan yang terbaik,'' tuturnya. (pri/kum)


Mata Kanan Mereka Sama-Sama Minus Tiga

Sumber : Jawapos, Senin 3 Agustus 2009

MESKI satu universitas, karena kuliah di fakultas yang berbeda, lokasi kampus Yuliana dan Yuliani terpisah. Fakultas kedokteran berada di Jalan Perintis Kemerdekaan dan fakultas peternakan di Jalan Limau Manis.

Dari rumah Kamardi Talut (orang tua wali si kembar) ke kampusnya, Yuliani cukup berjalan kaki sekitar 5 -10 menit. Sementara itu, Yuliana lebih jauh lagi, sekitar 30 menit dengan bus kampus.

Meskipun kampusnya terpisah lumayan jauh, perasaan mereka yang sensitif tetap terikat. ''Kalau Yuliana dapat masalah, aku bisa merasakan mood yang tadinya ceria tiba-tiba ikut sedih. Ada apa ini, aku langsung bisa kebayang dia,'' ujar Yuliani.

Soal pakaian juga tidak ketinggalan. Meskipun sering mencoba bereksperimen membeli baju di gerai terpisah, pilihan model yang diambil tetap saja sama. ''99 persen model pakaian kami kembar. Padahal, saat beli, banyak yang misah lho,'' katanya. Kalaupun ada perbedaan, hanya pada pilihan warna. Yuliani lebih suka warna biru dan hitam. Sedangkan Yuliana lebih dominan dengan warna hitam, merah, dan oranye.

Menurut Yuliani, semua itu terjadi secara alamiah, tanpa direncanakan sebelumnya. ''Kalau soal baju, apa yang Yuliana suka biasanya aku juga suka. Begitu juga sebaliknya,'' tambahnya. Mimpi saat tidur, kegandrungan terhadap musik R&B, dan hasrat untuk ke toilet kadang juga muncul secara bersamaan.

Bahkan, minus mata mereka juga hampir sama. Yuliani minus yang sebelah kanan 3 dan kiri 4. Yuliana minus yang kanan 3 dan kiri 2,75. ''Jadi, kami kembaran di kanan, minus 3,'' kata Yuliani.

Meski begitu, bukannya tidak ada perbedaan di antara mereka. Yuliani lebih cerewet dan Yuliana cenderung berkarakter serius dan tenang. Mungkin karena itu, Yuliana diposisikan oleh Yuliani sebagai kakak. Dalam keseharian, Yuliani menyapa Yuliana dengan panggilan mbak.

Soal makanan juga ada perbedaan selera rasa. Secara spesifik, mereka menyukai cokelat, hati, dan daging ayam. Tapi, secara umum, Yuliana lebih suka yang asin-asin dan Yuliani suka yang pedas, terutama cabai rawit.

Dalam hubungan keduanya, beberapa kali diwarnai kejadian lain yang kadang sulit dinalar. Misalnya, ada barang milik Yuliani rusak, pasti segera disusul milik Yuliana. Suatu ketika, tangkai kanan kacamata Yuliana patah gara-gara jatuh. Tak lama kemudian tangkai kacamata Yuliani ikut patah, tapi yang kiri.

Di waktu lain, Yuliani terjatuh dan lengan kirinya terluka. Nah, tanpa alasan yang jelas, tahu-tahu lengan kanan Yuliana ikut terluka dan berdarah. Pernah juga Yuliana hampir ditabrak kendaraan dari sisi kanan. Keesokannya gantian Yuliani yang diserempet ambulans dari arah kiri.

''Ajaib banget kan. Kalau aku sakit, Ana pasti ikutan sakit. Salah satu saja yang minum obat, pas­ti yang lain sembuh,'' kata Yuliani. Dia juga menyadari, luka-luka yang dialaminya sering pada ba­gian kiri. Begitu juga kalau ada barang yang rusak, sebagian besar di sisi kiri. Yuliana kebalikannya, yakni di sebelah kanan. (pri/kum)
Selengkapnya...