30 Juli 2009

Prof. Yohanes Surya


Persiapkan Indonesia Raih Nobel 2020

Fisikawan pendidik dan peneliti ini telah berjasa membuka jalan bagi bangsa Indonesia untuk memasuki fase renaisans. Dia telah merintis jejak bagi murid-murid cemerlang sekolah menengah Indonesia masuk pada komunitas fisika pemula antarbangsa melalui Olimpiade Fisika Internasional dan kompetisi riset fisikawan muda beraras dunia: The First Step to Nobel Prize in Physics. Ia pun bercita-cita mempersiapkan peneliti Indonesia meraih Nobel tahun 2020.

Sehubungan dengan cita-cita itu, dia didaulat memimpin pusat penelitian nanoteknologi dan bioteknologi, dua bidang ilmu di gerai perbatasan, The Mochtar Riady Center for Nanotechnology and Bioengineering, yang Desember 2004 nanti resmi dibuka di Karawaci, Tangerang.

Peran pembuka jalan itu menutup peluang pria kelahiran Jakarta 6 November 1963 ini berkiprah dalam fisika nuklir, yang ia tekuni di Jurusan Fisika College of William and Mary, Virginia, AS hingga mendapat PhD (1994) dengan summa cum laude.

Tahun depan ia bermaksud menjala pelajar berlatar Badui, Kubu, dan Sakai untuk pelatihan fisika di Jakarta yang akan disertakan dalam olimpiade fisika tingkat nasional. Tak keliru kalau ia memantarkan diri dengan Yohanes Pembaptis.

"Bila Yohanes Pembatis mempersiapkan jalan bagi Yesus, maka Yohanes Surya membuka jalan bagi Indonesia meraih Nobel," katanya.

Menyuntik optimisme adalah bagian dari retorikanya saban mengajar di pusat pelatihan Tim Olimpiade Fisika Indonesia, Karawaci. Memimpin TOFI sejak ikut Olimpiade Fisika Internasional (1993), Yohanes Surya berhasil menyemai 55 pelajar SMU berbagai kota Indonesia (setiap tahun Indonesia mengutus lima peserta) bertanding fisika yang diadakan di Amerika, Asia, Australia, dan Eropa dengan hasil mengagumkan.

Sejak pertama ikut, langsung mendapat perunggu, Indonesia tak pernah berhenti membawa pulang penghargaan dari sana. Yohanes baru lega ketika tahun 1999 di Padova, Italia, peserta Indonesia mulai mendulang medali emas dari kompetisi yang menyertakan hampir 100 negara itu.

Sukses itu tak berhenti di sini. Pengalaman mengikuti olimpiade dengan prestasi membanggakan itu memudahkan Yohanes menghubungi perguruan tinggi papan atas AS melamar tempat belajar sekaligus beasiswa bagi alumni TOFI. Tak kurang Universitas Princeton memilih satu orang, Institut Teknologi Massachusetts (MIT) menerima tiga orang, Universitas Stanford mengundang satu orang, dan Institut Teknologi California (Caltech) memanggil satu orang. Belum lagi universitas bagus Amerika lain.

Dua di antaranya sedang dibimbing fisikawan penerima Nobel. Oki Gunawan, anggota TOFI 1993, kini dibimbing Daniel Chee Tsui di Princeton. "Kalau sudah dibimbing pemenang Nobel, riset mereka nanti tak mungkin kelas kacangan," kata dekan Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan ini. "Itu yang membuat saya makin optimistis, Indonesia tak lama lagi meraih Nobel."

Di dalam negeri, fisikawan yang lulus sarjana di UI tahun 1986 itu dengan senang hati memenuhi undangan pemerintah daerah hampir semua provinsi untuk menatar dan melatih guru fisika SLTP dan SMU. Perjalanannya ke daerah membuka jaringan yang memungkinkannya mengindrai murid pandai untuk ia rekrut entah buat TOFI entah buat lomba lain. Tahun ini, Septinus George Saa dari SMU Negeri 3 Waena, Jayapura, Papua, berhasil menjuarai The First Step to Nobel Prize.

Jaringan dengan daerah itu kemudian membuka jalan baru bagi Yohanes mencari anak jenius yang tersebar di seantero negeri. Di Yogyakarta ia menemui Indranu, putra sepasang dosen UGM, yang dalam usia sembilan sudah akrab dengan persamaan relativitas umum Einstein. Sempat mengalami kesulitan sebelum bertemu dengan Yohanes, Indranu kini mahasiswa teknik tahun pertama di UGM tapi, kata Yohanes, "Dia sudah bikin 15 makalah relativitas umum, kuantum gravitasi, dan superstring yang ia pelajari sendiri dan dinilai berkelas doktor oleh guru besar fisika Swedia."

Seakan merupakan kehendak sejarah bahwa ia pembuka jalan di jagat fisika, terbuka lagi kesempatan baginya menjadi fisikawan rombongan pertama yang membawa ekonofisika, cabang ilmu yang mengawinkan fisika dan ekonomi, di Indonesia. Bidang ini akan jadi pilihan kajian bagi mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan, yang didirikan tahun 2003 di mana ia duduk sebagai dekan.

Semangatnya menyelenggarakan pelatihan khusus fisika di Karawaci yang makan waktu satu sampai dua tahun itu bukannya tak mengundang kritik. Guru besar fisika ITB, Tjia May On, saat Olimpiade Fisika Internasional di Nusadua, Bali, mengingatkan sukses Indonesia dalam lomba ini tak dapat dijadikan ukuran keberhasilan pengajaran fisika di sini. Masalahnya, peserta olimpiade Indonesia mendapat perlakuan khusus dengan latihan ketat, sementara Amerika-yang tak sesukses Tiongkok atau Indonesia dalam peristiwa itu-mengandalkan muridnya dari sekolah biasa saja.

Sabtu, 20 Maret lalu Yohanes Surya dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam Fisika UPH. Dialah fisikawan Indonesia yang masuk jajaran ilmuwan "selebritis" di sini. Selain dikenal khalayak lantaran kadang muncul di televisi, juga karena tulisan populernya yang tak terhitung di koran-koran. Penjelasan singkatnya tentang peristiwa fisika dalam format kartun disiarkan beberapa koran dan telah diterbitkan sebagai buku.

Sehari-hari bekerja dengan fisika, Yohanes Surya memperistri Christina yang tidak mendalami bidang ini. Dia sarjana bahasa Inggris. Bertemu pertama kali di gereja 15 tahun silam, pasangan ini dikaruniai tiga putri: Chrisanthy Rebecca Surya (14), Marie Felicia Surya (5), dan Marcia Ann Surya (6 bulan).


Berikut percakapan dengan guru yang luwes bergaul ini.

TENTANG apa pidato pengukuhan Anda?

Ada contoh dari bidang keuangan. Sistem saham yang ruwet didasari oleh suatu konsep yang dikembangkan tahun 1990an. Namanya pengaturan diri sendiri. Konsep ini kemudian jadi bahasan utama saya dalam orasi kemarin, yang ternyata banyak saya jumpai dalam pengalaman sebagai fisikawan pendidik.

Apa itu pengaturan diri sendiri?

Gagasannya dari tumpukan pasir. Misalkan kita menumpuk pasir. Begitu mencapai ketinggian dan kemiringan tertentu, pasir yang kemudian kita tambahkan dari atas tumpukan itu akan berusaha mengatur diri sendiri sehingga kemiringannya selalu sama dengan kemiringan tadi.

Rupanya ada semacam pengaturan di alam: setelah mencapai keadaan kritis, suatu sistem akan mengatur diri sendiri. Yang menarik, proses pengaturan itu mengikuti hukum pangkat. Kalau divisualkan, hukum pangkat itu begini: beberapa elemen punya nilai tinggi, tapi bagian terbanyak dari elemen di dalam sistem itu mendadak bernilai kecil. Di alam hukum pangkat ini menguasai banyak bidang.

Mahasiswa saya bikin tesis mengenai demografi dan menemukan penyebaran penduduk Indonesia itu mengikuti hukum pangkat. Artinya apa?

Ada pengaturan diri sendiri dalam penyebaran penduduk. Orang akan mengorganisasi diri menuju tempat yang memberi keuntungan. Tempat seperti itu penuh dan hanya beberapa jumlahnya di tiap provinsi. Sebagian besar tempat lain yang sulit mendulang keuntungan langsung sepi.

Berlaku di seluruh daerah?

Ya. Tesis ini menjelaskan mengapa transmigrasi gagal. Begitu kita memindahkan sejumlah orang ke suatu tempat, mereka akan mengorganisasi diri. Bila tempat itu tidak menguntungkan, mereka akan kembali. Jadi, program transmigrasi tak terlalu bagus di sini.

Kecuali kalau dibuat daerah itu menarik dan mendatangkan uang?

Ya, itu mungkin bisa. Hasil pemilu kemarin mengikuti hukum pangkat juga. Kami sudah bikin analisis bagaimana korelasi antara partai dan jumlah pemilih. Yang paling tinggi: Golkar dan PDI-P. Perolehan partai lain langsung drop dan mengikuti hukum pangkat. Mengapa? Karena orang akan mengatur diri sendiri memilih mana yang menurut pikirannya sesuai dengan kemauannya.

Kalau diberi kebebasan, dia akan mengikuti hukum pangkat. Kalau ada rekayasa?

Ha-ha-ha. Itu enggak bisa. Makanya saya bilang, pemilu ini demokratis karena mengikuti hukum pangkat. Orang mengatur dirinya sendiri. Partai mana yang menang? Yang paling banyak kampanye dan paling memengaruhi orang.

Mengapa memilih topik ini?

Karena sekarang saya bekerja dalam ekonofisika. Saya mau analisis sosial itu lebih ke arah sistem kompleks.

Bagaimana menjelaskan pelatihan khusus yang Anda adakan untuk mengikuti olimpiade fisika dikaitkan dengan konsep mengatur diri sendiri? Amerika mencomot peserta dari sekolah saja.

Saya sebenarnya hanya memengaruhi siswa supaya dapat mengorganisasi diri dalam arti, mengatur diri sendiri untuk belajar dengan baik. Di Amerika kesadaran belajar sendiri sudah begitu besar. Walau enggak disuruh, orang belajar sendiri.

Di pelatihan itu saya sebetulnya cuma memfasilitasi. Anak belajar sendiri. Kami kasih buku supaya mereka mengatur diri sendiri dan mencapai hasil maksimal. He-he-he. Menurut saya, pelatihan itu enggak salah. Sekolah itu sama saja dengan pelatihan sebab di sekolah orang dilatih juga.

Kapan mengikuti pola Amerika?

Ke depan arah kita akan ke situ. Sekarang saya menulis buku latihan. Enam dari 16 buku yang saya rencanakan sudah jadi. Sepuluh sedang saya rapikan. Isinya soal dan penyelesaian bahan yang diujikan di olimpiade, serta soal mekanika dan elektromagnetik.

Kami akan sebarkan buku yang rencananya selesai tahun 2005 itu ke seluruh Indonesia. Semua orang bisa dapat, bisa belajar sendiri. Pada saat itu kompetisinya benaran. Target saya tahun 2006, Indonesia juara dunia. Nanti kita lihat hukum pangkat akan berlaku sebab setelah juara dunia, saya mau murid mengatur dirinya sendiri.

Jadi, enggak ada lagi pelatihan?

Tetap ada. Cuma beberapa bulan.

Orangtua anak jenius yang anaknya pernah Anda latih tak setuju Anda terlalu memaksa anak bekerja keras. Sudah pintar kenapa usaha harus luar biasa?

Sebab bakat enggak cukup. Harus kerja keras. Saya tidur tiga sampai empat jam sehari. Saya kerja keras: menulis, bikin video untuk memudahkan pengajaran fisika, mempersiapkan kuliah, dan merancang soal untuk pelatihan. Tidur pukul satu. Pukul empat pagi sudah bangun.

Saya melihat ternyata untuk meraih Nobel, enggak perlu pintar. Memang banyak yang pintar seperti Feynman, Gell-Man, atau Schwinger. Itu kan jenius. Top-toplah.

Tapi, ada juga yang tak terlalu pintar seperti Masatoshi Koshiba yang dapat Nobel tahun 2002. Dia itu semula tak diterima di universitas karena nilainya jelek. Profesor yang menguji kasih rekomendasi untuk dibawa Koshiba kepada profesor lain. Bunyinya "Saya tak kasih rekomendasi, tapi kalau Anda mau terima, silakan". Ternyata dia dapat Nobel. Karena kerja keras. Cerita seperti ini tak hanya dari satu pemenang Nobel.

Yang menarik juga adalah peran orangtua. Kebanyakan orangtua peraih Nobel itu memberi perhatian kepada anaknya supaya bisa berkembang. Orangtua Feynman mengarahkannya jadi fisikawan sejak SD. Terus Hooft. Orangtuanya memberi dia sejak kecil permainan yang mengasah logika.

Daniel Chee Tsui; orangtuanya buta huruf dan tinggal di desa. Mereka berkorban jual rumah supaya bisa menyekolahkan anak ke luar negeri.

Tapi, Feynman banyak main?

Ya, main waktu senggang. Selagi mahasiswa dan saat meneliti dia bekerja mati-matian. Belajar sampai pagi. Berpikir tanpa berhenti. Gell-Mann begitu juga. Menghitung dan menghitung terus, berpikir dan berpikir terus, sampai menemukan sesuatu.

Saya sering cerita bagaimana orang berpikir terus sampai menemukan sesuatu. Kalau seorang berpikir terus, menurut fisikawan Helmholtz, dia akan mengalami tiga fase. Pertama, fase inkubasi. Kedua, fase saturasi. Ketiga, fase pencerahan. Jadi, setelah jenuh sekali, dia tercerahkan. Pada masa pencerahan itu bisa keluar ide luar biasa yang bisa terucapkan tanpa sadar.

Gell-Mann menyebut sembarang saja tanpa sadar mengenai isospin pecahan pada sebuah ceramah di Princeton, padahal itulah yang selama ini dia cari. Berkat temuan itu dia dapat Nobel.

Saya sadar kalau enggak kerja keras, enggak ada apa-apanya. Kalau saya mau berarti, harus lebih dari pemenang Nobel itu, dong. Memang bakat bisa mendorong.


ANDA selalu menyebut tahun 2020, Indonesia meraih Nobel. Kenapa begitu antusias?

Karena dengan Nobel, Indonesia bisa lebih maju. Coba lihat Pakistan. Negara itu miskin. Sekarang orang bilang sains di Pakistan itu bagus karena ada Abdus Salam yang dapat Nobel. Jadi, Nobel semacam simbol yang akan menarik orang.

Orang Pakistan sekarang tertarik pada fisika karena Salam?

Betul, ada hubungannya. Karena dengan itu, Salam dapat menarik fisikawan Pakistan yang dia bimbing untuk bekerja dengan koleganya pemenang Nobel atau fisikawan di berbagai tempat sekelas Nobel.

Maksud Anda membentuk jaringan?

Persis. Seperti kita sekarang. Dengan bertahun-tahun dapat medali di olimpiade, kita punya tiga mahasiswa S1 di MIT, selain di Stanford, Caltech, dan Princeton. Hebat-hebat. Nilai mereka tinggi. Saya tanya, "Kok bisa?" Mereka bilang pelajaran tingkat 1 dan 2 terlalu gampang, jadi ada yang langsung ambil kuliah semester 9.

Evelyn, angkatan 2002 TOFI, di Stanford sekarang dibimbing Douglas Osheroff yang dapat Nobel 1996. Dia dipilih karena nilainya terlalu tinggi. Jadi, murid yang saya lihat bakal dapat Nobel kini diasuh peraih Nobel. Karena sudah jadi murid peraih Nobel, dia akan kecipratan cara berpikirnya. Nah, inilah yang kita harapkan dapat Nobel di masa mendatang.

Asuhan Anda pada maju, sementara Anda jadi pelatih. Tampaknya mengorbankan diri?

Saya mediator, fasilitator, dan merasa diciptakan untuk itu. Kalau Yohanes Pembaptis menyiapkan jalan bagi Yesus; Yohanes Surya membuka jalan untuk Nobel. Ha-ha-ha. Saya sudah bahagia dengan posisi ini. Mungkin ini peran saya. Saya pikir ini panggilan pribadi

Pernah merasa kesepian karena mengurus ini sendiri?

Sebenarnya saya menikmati. Saya tidak sendirian banget. Banyak orang mendukung. Setiap tahun banyak hal aneh terjadi. Selalu ada yang bantu menyediakan dana, sejak saya pimpin TOFI tahun 1993 sampai sekarang. Mulai orangtua murid, Radius Prawiro, Mochtar Riady, sampai Departemen Pendidikan Nasional yang kini menyerap olimpiade sebagai program nasional. Sambil itu, saya membuka bidang yang frontier.

Bidang apa itu?

Nanoteknologi, suatu teknologi di mana kita memanipulasi atom atau molekul untuk menghasilkan produk baru tapi terdepan. Mochtar Riady mengajak saya membangun pusat riset nanoteknologi dan bioteknologi di Karawaci.

Yang termasuk nanoteknologi di pusat ini adalah terapi genetika dan manipulasi atom. Ke depan, dengan manipulasi atom ini, orang memperkirakan dapat mengubah batubara jadi emas sebab dengan mengubah kedudukan atom-atom pada molekul batubara, ia bisa jadi emas.

Di bidang bioteknologi, nanoteknologi itu mengubah gen-gen. Kita bisa dapat tanaman yang jauh lebih bagus. Pengobatan kanker sekarang melalui nanorobot. Di Amerika sudah diusahakan bagaimana robot membawa obat kanker ke sasaran yang tepat

Kedua bidang ini, nanoteknologi dan rekayasa genetika, sangat frontier. Mochtar Riady bilang mau mendirikan pusat nanoteknologi. "You mau pimpin enggak," katanya. Kita mau Indonesia bisa bermain di atas juga. Saya bilang oke.

Siapa yang akan bergabung?

Saya kumpulin tokoh terkenal di bidang ini dari AS, Jerman, Jepang, dan pemenang Nobel, Calude Cohen Tannoudji. Saya kontak dengan beberapa teman. Felix Mesak, orang Indonesia peneliti di Pusat Terapi Kanker Ottawa, yang menemukan obat kanker. Dia sangat terkenal, penilai untuk jurnal nanoteknologi yang amat prestisius. Kemudian Sinta Limantara dari Satya Wacana yang ahli dalam pemanfaatan klorofil dan dapat Hadiah Humboldt dari Jerman. Juga Kebamoto dari UI.


Bagaimana dengan laboratorium?

Akan dibangun di Karawaci. Laboratorium yang sangat canggih. Mahal, tapi (Pak) Mochtar sudah siap sebab dia ingin di masa tuanya ingin menyumbangkan sesuatu buat ilmu pengetahuan. Ini akan jadi tempat buat orang Indonesia menemukan hal-hal hebat, satu jalan untuk dapat Nobel entah fisika, kimia, biologi karena ketiga bidang ini jadi dasarnya.


Anak Anda ketularan fisika?

Chrisanthy kelihatannya ketarik sama fisika. Dia siswi SMP, tapi banyak baca buku fisika universitas.

Anda paksa dia?

Bukan. Mungkin karena banyak ketemu dengan anak-anak olimpiade. Itu mungkin yang saya sebut tadi self organizing, mengatur diri sendiri. He-he-he. Jadi, dia kepengaruh. Mungkin pikirannya orang lain bisa, kok saya enggak bisa. Dia mau belajar, mau tunjukin ke saya.

Anda membimbing dia?

Secara khusus enggak. Kalau ada pertanyaan, saya layani. Kelihatan dia mau belajar. Yang kedua masih 5 tahun. Mungkin karena self organizing juga, lihat kakaknya, dia mau belajar juga. Ha-ha-ha. Saya mulai dengan matematika SD, pelajaran kelas tiga. ►Kompas, Minggu, 16 Mei 2004, Pewawancara: Salomo Simanungkalit
Selengkapnya...

Prof Nelson Tansu, Ph.D.

Usia 25 Tahun Mengajar S-3

Sumber : Tokoh Indonesia

Dia asli orang Indonesia yang prestasinya diakui dunia internasional. Pria kelahiran Medan 20 Oktober 1977, ini sudah meraih 11 penghargaan dan memiliki tiga hak paten atas penemuan risetnya. Pada usia 25 tahun ia telah berhasil meraih gelar PhD di University of Wisconsin, Madison, dan kemudian langsung mengajar mahasiswa S-3.

Dia menjadi profesor di universitas ternama Amerika, Lehigh University, Pensilvania, mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2), doktor (S-3), bahkan post doctoral Departemen Teknik Elektro dan Komputer.

Lebih dari 84 hasil riset maupun karya tulisnya dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal ilmiah internasional. Sering diundang menjadi pembicara utama di berbagai seminar, konferensi dan pertemuan intelektual, terutama di Washington DC.

Selain itu, dia sering datang ke berbagai kota lain di AS dan luar AS seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia. Yang mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers.

Di bidang itu, ia mengembangkan teknologi yang mencakup semiconductor lasers, quantum well dan quantum dot lasers, quantum intersubband lasers, InGaAsN quantum well dan quantum dots, type-II quantum well lasers, dan GaN/AlGaN/InGaN semiconductor nanostructure optoelectronic devices. Teknologi tersebut diterapkan dalam aplikasi di bidang optical communication, biochemical sensors, sistem deteksi untuk senjata, dan lainnya.

Meski sudah hampir satu dekade ia berada di AS, hingga sekarang ia masih memegang paspor hijau berlambang garuda. Pria ganteng kelahiran Medan, 20 Oktober 1977, ini mengaku mencintai Indonesia. Ia tidak malu mengakui bahwa Indonesia adalah tanah kelahirannya. "Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Indonesia," katanya serius. "Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja jika bangsa kita terus bekerja keras," kata Nelson lagi.

Nelson Tansu adalah anak kedua di antara tiga bersaudara buah hati pasangan Iskandar Tansu dan Lily Auw yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan. Mereka adalah lulusan universitas di Jerman. Abang Nelson, Tony Tansu, adalah master dari Ohio, AS. Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University (OSU). Tampak jelas bahwa Nelson memang berasal dari lingkungan keluarga berpendidikan.

Dalam perjalanan hidup dan karirnya, ia mengakui mendapat dukungan yang besar dari keluarga terutama kedua orang tua dan kakeknya. "Mereka menanamkan mengenai pentingnya pendidikan sejak saya masih kecil sekali," ujarnya.

Ketika Nelson masih SD, kedua orang tuanya sering membanding-bandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya yang sudah doktor. Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab, para sepupu Nelson itu jauh di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi, Nelson kecil menganggapnya serius dan bertekad keras mengimbangi sekaligus melampauinya.

Waktu akhirnya menjawab imipian Nelson tersebut. "Jadi, terima kasih buat kedua orang tua saya. Saya memang orang yang suka dengan banyak tantangan. Kita jadi terpacu, gitu," ungkapnya. Nelson mengaku, mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta disiplin belajarnya. "Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik, namun agak keras. Tetapi, karena kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan berusaha sesempurna mungkin mencapai standar tertinggi dalam melakukan sesuatu," jelasnya.

Saat usia SD itu pulalah, Nelson kecil gemar membaca biografi para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa. Selain Albert Einstein yang menjadi pujaannya, nama-nama besar seperti Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann ternyata sudah diakrabinya. "Mereka hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih PhD, jadi profesor, dan ada pula yang berhasil menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu," jelas Nelson penuh kagum.

Berkat kegemarannya membaca itu, sejak kecil Nelson sudah mempunyai cita-cita yang besar. "Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan, saya selalu ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat. Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil," ujarnya dengan wajah serius.

Seiring dengan perjalanan waktu, Nelson meniti tangga pendidikan mengejar cita-cita masa kecilnya. Sebelum bertolak ke Amerika, lulusan terbaik SMU Sutomo 1 Medan 1995 ini lolos menjadi finalis Tim Olimpiade Fisika Indonesia. Sukses ini membuat dirinya mendapat tawaran beasiswa dari Bohn's Scholarships untuk kuliah di jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat.

Masuk kampus September 1995, laki-laki berdarah Tionghoa ini menyandang gelar bachelor of science hanya dalam tempo dua tahun lebih sembilan bulan. Predikatnya pun summa cum laude. Setelah merampungkan S-1-nya di bidang applied mathematics, electrical engineering, and physics pada 1998, ia kebanjiran tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi top di Amerika. Meski ada tawaran dari universitas yang peringkatnya lebih tinggi, ia memilih tetap tinggal di Universitas Wisconsin dan meraih gelar doktor di bidang electrical engineering pada Mei 2003.

Selama bersekolah di sana, berkat beasiswa yang diperolehnya, orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya berkat kerja keras dan prestasi Nelson sendiri. Biaya kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya ditanggung lewat beasiswa universitas. "Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan kebutuhan di universitas," katanya.

Selama menggarap program doktornya, Nelson terus mengukir prestasi. Berbagai penghargaan dikoleksinya, antara lain WARF Graduate University Fellowships dan Graduate Dissertator Travel Funding Award. Bahkan, penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan semiconductor nanostructires meraih penghargaan tertinggi di departemennya, yakni The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award.

Setelah menyandang gelar doktor, Nelson mendapat tawaran menjadi asisten profesor dari berbagai penjuru universitas di Amerika. Peluang menggiurkan ini menjauhkan minatnya untuk kembali ke Tanah Air. Akhirnya, awal 2003, di usianya yang ke-25, ia memilih Lehigh University, dan menyandang gelar asisten profesor di bidang electrical and computer engineering. Di AS, itu merupakan gelar untuk guru besar baru di perguruan tinggi. "Walaupun saya adalah profesor di jurusan electrical and computer engineering, riset saya sebenarnya lebih condong ke arah fisika terapan dan quantum electronics," jelasnya.

Lehigh University merupakan sebuah universitas unggulan di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast, Negeri Paman Sam. Ia berhasil menyisihkan 300 doktor yang kehebatannya tidak diragukan lagi. "Seleksinya ketat sekali, sedangkan posisi yang diperebutkan hanya satu," ujarnya menggambarkan situasi saat itu.

Lelaki penggemar buah-buahan dan masakan Padang itu mengaku lega dan beruntung karena dirinya yang terpilih. Menurut Nelson, dari segi gaji dan materi, menjadi profesor di kampus top seperti yang dia alami sekarang sudah cukup lumayan. Berapa sih lumayannya? "Sangat bersainglah. Gaji profesor di universitas private terkemuka di Amerika Serikat adalah sangat kompetitif dibandingkan dengan gaji industri. Jadi, cukup baguslah, he...he...he...," katanya, menyelipkan senyum.

Sebagai intelektual muda, dia menjalani kehidupannya dengan tiada hari tanpa membaca, menulis, serta melakukan riset. Tentunya, dia juga menyiapkan materi serta bahan kuliah bagi para mahasiswanya. Kesibukannya itu bertumpu pada tiga hal yakni yakni, learning, teaching, and researching.

Boleh jadi, tak ada waktu sedikit pun yang dilalui Nelson dengan santai. Di sana, 24 jam sehari dilaluinya dengan segala aktivitas ilmiah. Waktu yang tersisa tak lebih dari istirahat tidur 4-5 jam per hari.

Selama mengajar di kampus, karena wajahnya yang masih muda, tak sedikit insan kampus yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program master. Dia dikira sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama kalangan universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya, mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu.

"Di semester Fall 2003, saya mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang physics and applications of photonics crystals. Di semester Spring 2004, sekarang, saya mengajar kelas untuk mahasiswa senior dan master tentang semiconductor device physics. Begitulah," ungkap Nelson menjawab soal kegiatan mengajarnya.

Selama September hingga Desember atau semester Fall 2004, dia mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang applied quantum mechanics for semiconductor nanotechnology. "Selain mengajar kelas-kelas di universitas, saya membimbing beberapa mahasiswa PhD dan post-doctoral research fellow di Lehigh University ini," jelasnya saat ditanya mengenai kesibukan lainnya di kampus.

Tansu yang Lain

Meski namanya sudah banyak dikenal di seluruh dunia, hanya sedikit yang tahu bahwa guru besar muda ini berasal dari Indonesia. Di sejumlah kesempatan, banyak yang menganggap Nelson adalah orang Turki yang ada hubungan famili dengan mantan PM Turki Tansu Ciller.

Ada pula yang mengira bahwa Nelson adalah orang Asia Timur, tepatnya Jepang atau Tiongkok. Yang lebih seru, beberapa universitas di Jepang malah terang-terangan melamar Nelson dan meminta dia "kembali" mengajar di Jepang.

Seakan-akan Nelson memang orang sana dan pernah mengajar di Negeri Sakura itu. Dilihat dari nama, wajar jika kekeliruan itu terjadi. Begitu juga wajah Nelson yang seperti orang Jepang. Lebih-lebih di Amerika banyak profesor yang keturunan atau berasal dari Asia Timur dan sangat jarang yang berasal dari Indonesia.

Nelson pun hanya senyum-senyum atas segala kekeliruan terhadap dirinya. "Biasanya saya langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa saya asli Indonesia. Mereka memang agak terkejut sih karena memang mungkin jarang ada profesor asal aslinya dari Indonesia," jelas Nelson.

Tansu sendiri sesungguhnya bukan marga kalangan Tionghoa. Memang, nenek moyang Nelson dulu Hokkien, dan marganya adalah Tan. Tapi, ketika lahir, Nelson sudah diberi nama belakang "Tansu", sebagaimana ayahnya, Iskandar Tansu. "Saya suka dengan nama Tansu, kok," kata Nelson dengan nada bangga.

Rebutan Berbagai Universitas

Berkat prestasi Nelson Tansu yang luar biasa, ia sempat menjadi incaran dan malah "rebutan" kalangan universitas AS dan mancanegara. Ada yang menawari jabatan associate professor yang lebih tinggi daripada yang dia sandang sekarang (assistant professor). Ada pula yang menawari gaji dan fasilitas yang lebih heboh daripada Lehigh University.

Tawaran-tawaran menggiurkan itu datang dari AS, Kanada, Jerman, dan Taiwan serta berasal dari kampus-kampus top.

Semua datang sebelum maupun sesudah Nelson resmi mengajar di Lehigh University. Tapi, segalanya lewat begitu saja. Nelson memilih konsisten, loyal, dan komit dengan universitas di Pennsylvania itu. Tapi, tentu ada pertimbangan khusus yang lain.

"Saya memilih ini karena Lehigh memberikan dana research yang sangat signifikan untuk bidang saya, semiconductor nanostructure optoelectronic devices. Lehigh juga memiliki leaderships yang sangat kuat dan ambisinya tinggi menaikkan reputasinya dengan memiliki para profesor paling berpotensi dan ternama untuk melakukan riset berkelas dunia," papar pengagum John Bardeen, fisikawan pemenang Nobel itu.

Nelson mengaku memilih universitas luar negeri sebagai wadah kiprah ilmiahnya karena semata-mata iklim keilmuan di sana sangat kondusif. Di sana ia bisa memanfaatkan fasilitas laboratorium yang lengkap, mengakses informasi dari perangkat berteknologi canggih, dan melahap buku-buku terbaru di perpustakaan.

Peran dan keberadaan para ilmuwan sangat dihargai dan dihormati di sana. Selain itu, fasilitas riset yang sangat ia butuhkan juga menunjang komitmennya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi negara dan dunia.

Walaupun dikelilingi oleh berbagai fasilitas yang lengkap, hidup di perantauan membuatnya harus memendam rindu pada keluarga, teman, dan makanan khas Indonesia. Namun, kerinduan itu terobati dengan peluang berkarya yang lebih besar dan gaji yang cukup di universitas swasta ternama seperti tempatnya bekerja.

Ia memang tak mau menyebut angkanya. Tapi, sebagai gambaran, kata Nelson, rata-rata US$ 10.000 per bulan plus fasilitas kesehatan. "Jumlah ini cukup kompetitif dengan gaji yang ditawarkan dunia industri," kata ilmuwan muda yang rajin memberi ceramah di berbagai universitas di Amerika dan Eropa ini.

Meski memilih menetap di Amerika, ahli semikonduktor untuk serat optik ini mengaku akan mempertimbangkan dengan serius kalau pemerintah sungguh-sungguh membutuhkannya.

Ditanya soal pacar, Nelson tersipu-sipu dan mengaku belum punya. Padahal, secara fisik, dengan tinggi 173 cm, berat 67 kg, dan wajah yang cakep khas Asia, Nelson mestinya mudah menggaet (atau malah digaet) cewek Amerika.

"Ha... ha... ha.... Pertama, saya ini nggak ganteng ya. Tapi, begini, mungkin karena memang belum ketemu yang cocok dan jodoh saja. Saya sih, kalau bisa, ya dengan orang Indonesia-lah. Saya sih nggak melihat orang berdasarkan kriteria macem-macem. Yang penting orangnya baik, pintar, bermoral, pengertian, dan mendukung," paparnya panjang lebar sambil tersipu malu.
Selengkapnya...

Profesor Ken Soetanto

Peraih Empat Doktor di Jepang

Raih 31 Paten, Researchnya didanai Rp 144 Miliar Setahun

sumber: Jawapos di posting disini

Prestasi membanggakan ditorehkan Profesor Ken Soetanto. Pria kelahiran Surabaya ini berhasil menggondol gelar profesor dan empat doktor dari sejumlah universitas di Jepang. Lebih hebatnya, puncak penghargaan akademis itu dicapainya pada usia 37 tahun.

SEPINTAS, penampilan fisiknya nyaris tak berbeda jika dibandingkan dengan kebanyakan orang Jepang. Kulitnya kuning. Rambut lurusnya, disisir rapi. Kemejanya yang diseterika licin dipadu jas menunjukkan dia menyukai formalitas. Tapi, begitu berbicara, akan terkesan bahwa Prof Soetanto -demikian dia dipanggil- bukan orang Jepang. Bicaranya ceplas-ceplos dengan logat suroboyoan-nya yang khas.

Penemu konsep pendidikan tinggi "Soetanto Effect" di Negeri Sakura itu beberapa hari ini berkunjung ke Indonesia. Soetanto mendampingi sejumlah koleganya, Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general manager of Waseda University), menandatangani memorandum of understanding (MoU) antara Waseda University dan President University, Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu.

Waseda University adalah perguruan tinggi swasta terbesar di Jepang. Reputasinya setara dengan universitas negeri semisal Tokyo University, Kyoto University, atau Nagoya University. Mahasiswa yang berguru di Waseda University 51.499 orang. Di anatar jumlah itu, 1.234 orang berasal dari luar Jepang.

Waseda University telah menganugerahkan 81 gelar kehormatan bagi pemimpin negara, mulai mantan PM India Jawaharlal Nehru (1957) hingga mantan PM Singapura Lee Kuan Yew (2003). Dari Indonesia, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita juga pernah belajar di sini.

President University adalah institusi perguruan tinggi berbasis kurikulum bertaraf internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar 1.040 perusahaan di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang. Selain putra berbaik dari Indonesia, para mahasiswa President University berasal dari China dan Vietnam.

Kehadiran Soetanto tak begitu menyita perhatian publik. Maklum, wakil dekan Waseda University tersebut hanya "sebentar" memberikan ceramah populernya di hadapan ratusan mahasiswa dan civitas academica President University. Dia tak sempat berbagi keilmuan dengan sesama akademisi seperti UI, UGM, ITB, dan Unair. Sebuah kesempatan yang agak disesalkan bagi orang dengan kemampuan akademik sekaliber Soetanto.

Prestasi akademik Soetanto bisa dibilang di atas rata-rata. Misalnya, pada 1988-1993, dia tercatat sebagai direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) merangkap associate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, AS.

Dia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering, Program University of Yokohama (TUY). Selain itu, pria kelahiran 1951 tersebut saat ini masih terdaftar sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, serta profesor tamu di Venice International University, Italia.

Otak arek Suroboyo itu memang brilian. Dia berhasil menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Hal tersebut terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya. Yakni, bidang applied electronic engineering di Tokyo Institute of Technology, medical science dari Tohoku University, dan pharmacy science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar, Waseda University.

"Saya sungguh menikmati pekerjaan sebagai akademisi," kata Soetanto di sela kesibukannya menyaksikan MoU Waseda University dan President University.

Di luar status kehormatan akademik tersebut, dia masuk birokrasi di Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan Presiden RI B.J. Habibie itu tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI).

Selain itu, dia ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan terlibat di Japanese Government 21st Century Vision. "Pada jabatan tersebut, saya berpartisipasi langsung menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang," ungkap Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa itu. Buah pemikiran Soetanto terkenal lewat konsep pendidikan "Soetanto Effect" dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.

Inovasi yang dipatenkan itu mayoritas berlatar bidang keilmuannya, mulai elektronika engineering, teknologi informasi, penemuan pengobatan kanker, dan teknik imaging serta bidang farmasi.

Mau tahu berapa dana yang diraih Soetanto untuk membiayai riset-risetnya? Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademikus bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mendanai Soetanto sampai USD 15 juta (Rp 144 miliar) per tahun.

Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan, khususnya bagi warga Surabaya, adalah latar belakang sekolah dasar dan menengahnya yang ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda mengenyam pendidikan SD swasta di Kapasari, SMP Baliwerti, dan SMA Budiluhur yang dulu menjadi jujugan sekolah warga keturunan Tionghoa.

Toh, Soetanto mengaku belum puas. Obsesi terpendamnya adalah bagaimana karya akademisnya bisa dinikmati orang lain. "Saya berbahagia bila bisa menyenangkan orang lain," katanya mengungkap visi hidupnya.

Soetanto sempat memberikan buah pemikirannya di hadapan ratusan mahasiswa President University. Isi ceramah akademisnya menarik perhatian mahasiswa. Bahkan, beberapa jajaran direksi PT Jababeka, termasuk Dirut PT Jababeka Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto membeberkan pengalamannya bisa ’menaklukkan’ dunia perguruan tinggi Jepang kendati hingga sekarang masih berkewarganegaraan Indonesia.

Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang perlu dirombak lagi agar lulusannya lebih berkualitas. "Sistem pendidikan di sini (Indonesia) sudah tertinggal jauh. Bahkan di bawah Malaysia dan Vietnam," jelas Soetanto dengan gaya bicara berapi-api.

Ironisnya, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia juga sangat kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya gaji guru yang memaksa mereka harus bekerja sambilan. "Karena faktor tersebut, jangan heran bila banyak ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri," pungkas Soetanto. (bersambung)


Rabu, 29 Juni 2005,
Profesor Ken Soetanto, Arek Suroboyo Peraih Empat Doktor di Jepang (2-Habis)
Sempat Tampik Tawaran Soeharto untuk Pulang

Kisah sukses Prof Ken Soetanto tak terlepas dari sentimen politik, terutama kebijakan pemerintah Orde Baru yang meminggirkan hak-hak sipil warga keturunan Tionghoa. Tekanan inilah yang memicu dia memilih "lari" ke Jepang.

AGUS MUTTAQIN, Jakarta

PASAR Atom Surabaya punya ikatan sejarah yang melekat pada kehidupan Ken Soetanto muda. Sebab, pria kelahiran 1951 itu sejak belia sudah diajari ayahnya berdagang di sana. Sambil menimba ilmu di sekolah menengah di kawasan Baliwerti, Soetanto merasakan betul pahit getirnya mencari uang.

Di pasar yang terkenal dengan produk kain dan garmen itu, Soetanto mengelola toko elektronik bersama sang kakak. Toko sederhana itu menyediakan berbagai perkakas elektronik, mulai radio, tape recorder, hingga televisi. Soetanto juga melayani servis purnajual lengkap dengan onderdilnya.

Berkat ketekunannya, Soetanto menjadi manajer toko sejak 1968 hingga 1974. Pada 1969, SMA Chung-chung di kawasan Baliwerti, Bubutan, ditutup pemerintah seiring kebijakan anti-Tionghoa kala itu. Akibatnya, Soetanto hanya bisa bersekolah hingga kelas 1 SMA. Tetapi, penutupan sekolah itu memberi hikmah tersendiri. Soetanto jadi makin berkonsentrasi mengurusi toko elektronik. Apalagi, Soetanto juga punya hobi mengutak-utik peralatan elektronik.

Suatu hari, keahlian Soetanto di bidang elektronik mencuri perhatian seorang pelanggannya yang kebetulan berkewarganegaraan Jepang. Orang itu kagum melihat cara Soetanto ’menganalisis’ sekaligus memperbaiki kerusakan radionya.

"Orang Jepang itu lantas menawari Soetanto belajar elektronik ke Jepang. Orang itu tidak menyediakan dana, tetapi hanya kalau mau belajar ke Jepang, bakal difasilitasi," kata Longtjing Tandi, kerabat dekat Prof Soetanto, yang kini menetap di kawasan Pinangsia, Jakarta Pusat, kemarin.

Soetanto langsung tertarik. Rasa penasaran mengalahkan segalanya, termasuk siap berjauhan dengan orang tua di Surabaya. Keinginannya belajar elektronik tersebut diceritakan ke semua orang. Menariknya, hal itu menjadi bahan lelucon di kalangan kerabatnya.

"Waktu itu ada saudara yang bilang, bagaimana kamu mau belajar ke Jepang, wong letak (negara) Jepang saja tidak tahu. Apalagi, kamu (Soetanto) warga keturunan. Piye toh," kenang Longtjing.

Toh, semua itu tak membuat Soetanto patah arang. Ini dibuktikan dengan langkahnya yang bersemangat mencari tahu bagaimana belajar ke Jepang dari berbagai informasi. Soetanto juga siap memecah celengan untuk ongkos membeli tiket dan biaya hidup beberapa bulan bila sampai di Jepang. Dan, pada 1974, atau saat berusia 23 tahun, Soetanto pun akhirnya jadi juga terbang ke Jepang.

Salah satu ketertarikannya belajar di Negeri Sakura karena inovasi televisi merek Jepang yang semakin tahun menjadi maju. Produk televisi merek Jepang, antara lain, Toshiba dan Sanyo, kala itu menjadi tren karena teknologi transistor memungkinkan bentuk televisi menjadi lebih kecil dan trendi. Ini sekaligus menggantikan teknologi televisi sebelumnya yang menggunakan tabung.

"Saya memang penasaran dengan teknologi transistor. Ini inovasi luar biasa. Sebab, sebelumnya banyak televisi Eropa merek Grundig dan Philips yang tampilannya jauh lebih gede karena menggunakan tabung," kata Soetanto.

Dia benar-benar bermodal nekat. Betapa tidak. Soetanto terbang ke Jepang hanya dibekali uang hasil tabungannya setelah enam tahun menjadi manajer di toko elektronik. Celakanya, Soetanto sama sekali tidak bisa berbahasa Jepang.

Menurut Longtjing, Soetanto sesampai di Tokyo sejenak menetap di rumah warga Jepang kenalannya sewaktu di Surabaya. Selanjutnya, dia mencari informasi rumah kos di dekat kampus. Soetanto awalnya menginginkan kuliah satu tahun di Electronics Institute dan langsung pulang ke Surabaya.

Tetapi, dia menyadari bakal kesulitan belajar di perguruan tinggi tanpa menguasai bahasa Jepang. "Saya selanjutnya berangkat ke Osaka. Saya belajar singkat tentang bahasa Jepang," jelas Soetanto.

Pria berkacamata itu sempat kesulitan belajar bahasa Jepang karena ada pengajarnya yang menegur, kalau belajar bahasa Jepang di Osaka, harus menggunakan logat Osaka. Dan, lambat laun Soetanto pun akhirnya bisa menguasai bahasa Jepang.

Impian Soetanto baru terpenuhi setelah tiga tahun "hidup menggelandang" di Tokyo. Nama Soetanto keluar sebagai dua di antara 30 pelamar beasiswa mahasiswa asing yang ditawarkan pemerintah Jepang.

Selanjutnya, Soetanto kuliah di TUAT (Tokyo University of Agriculture and Technology) dengan mengambil jurusan teknik elektronik. Selepas mengambil gelar sarjana, Soetanto melanjutkan ke program master dan doktor. Yang menarik, Soetanto mengambil dua program doktor. Yakni, doktor bidang teknik di Tokyo Institute of Technology (1985) dan bidang kedokteran di Tohoko University (1988).

Begitu meraih gelar dua doktor, Soetanto pulang ke Surabaya untuk yang pertama. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkannya untuk menyunting gadis impiannya yang kebetulan teman sebangkunya semasa di SMA Ching-chung. Soetanto dan istrinya terpaksa untuk sementara berjauhan karena kembali masuk ke bangku perkuliahan program doktoral. Istri, orang tuanya, dan mertuanya pun memaklumi tekad bajanya dalam menimba ilmu.

Selang beberapa tahun kemudian, dia menamatkan lagi program doktor bidang farmasi di Science University of Tokyo. Nah, ada kejadian menggelikan ketika beberapa kerabatnya dari Indonesia, termasuk Longtjing, diundang menghadiri wisuda program doktor Soetanto yang keempat.

Sesampai di ruang wisuda, ternyata Longtjing tidak tahu-menahu bidang pekerjaan yang ditekuni kerabatnya itu. Ditanya pekerjaannya, Soetanto hanya bilang sebagai pengangguran. "Dia bilang kerja pengangguran. Kalaupun kerja, itu serabutan," ungkap Longtjing.

Dia tidak percaya dan bertanya kepada keempat profesornya yang kebetulan mengikuti wisuda. Profesor yang mempromotori Soetanto serempak menyatakan bahwa dia adalah aset perguruan tinggi termahal karena kecerdasannya yang luar biasa. "Itu (mahasiswa) nomor satu. Selama lima puluh tahun mengajar di sini (Science University of Tokyo), saya belum pernah punya mahasiswa secerdas dia (Soetanto)," ujar profesor seperti yang dikutip Longtjing. Pendek kata, semua menilai positif kemampuan akademik Soetanto.

Toh, jawaban tersebut tak menghilangkan rasa penasaran Longtjing. Dia justru semakin penasaran mengapa seorang mahasiswa cerdas justru bekerja serabutan.

Soetanto lantas menjelaskan kegalauan Longtjing. Dia menyatakan, iklim pendidikan tinggi di Jepang tidak mendukung seseorang yang cerdas dijamin mendapat posisi penting. "Ini Jepang. Di sini, senioritas masih berlaku. Jadi, kalaupun saya punya empat gelar doktor pada usia 37 tahun, itu belum tentu bisa diterima. Saya perlu antre dulu untuk bisa bekerja seperti mereka," jelas Soetanto.

Penjelasan tersebut akhirnya dimengerti Longtjing. Dan, Longtjing mengusulkan agar dia bisa mengambil program doktor lagi ke AS. Usul Longtjing itu direspons Soetanto. Dan, dia akhirnya memilih terbang ke AS untuk menjadi akademisi di Drexel Unversity dan Thomas Jefferson University, Philadelphia. Di dua universitas tersebut, Soetanto tercatat sebagai associate professor. Otaknya juga diakui akademisi AS terbukti mampu meraih bantuan riset senilai USD 1 juta dari NIH (National Institutes of Health, USA).

Tampaknya, Soetanto tidak bisa bertahan lama berada di komunitas perguruan tinggi di AS. Maklum, selama berada di AS, dia mengaku rindu dengan suasana penuh romantisme dan "etik" Jepang yang hanya ditemukan di Negeri Sakura.

Bak gayung bersambut, profesornya di Jepang, Motoyosi Okujima, kebetulan meminta agar dia balik ke Jepang untuk membesarkan Toin University of Tokyo (TUY). Dan, tawaran tersebut akhirnya memaksa Soetanto kembali ke Jepang pada 1993.

Di TUY, Soetanto mendapat posisi sebagai profesor dan ketua Program Biomedical Engineering Departement of Control and Systems Engineering. Dia juga mendapat jabatan lain sebagai direktur Center for Advanced Research of Biomedical Engineering di TUY yang dibiayai Kementerian Pendidikan Jepang. Jabatan lain yang dijabat hingga sekarang adalah wakil dekan di International Affairs of Waseda University.

Popularitas Soetanto di kalangan akademisi di Jepang pernah terdengar di telinga mantan Presiden RI B.J. Habibie. Habibie yang kala itu menjabat Menristek pada era 1980-an pernah bertemu hingga empat kali untuk meminta Soetanto pulang kampung memperkuat jajaran akademisi di Indonesia.

"Tetapi, Soetanto masih ingin tinggal di Jepang. Saya nggak tahu alasannya menolak pulang ke Indonesia," jelas Longtjing.

Dalam wawancara dengan koran ini, Soetanto mengaku belum tertarik pulang ke tanah air karena perhatian pemerintah terhadap akademisi dinilainya kurang. Padahal, kala itu Habibie menawari Soetanto untuk bergabung di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Kendati menolak tawaran pulang, kecintaan Soetanto terhadap tanah kelahirannya tak sedikit pun berubah. Hingga detik ini, Soetanto mempertahankan kewarganegaraan Indonesia. Untuk melepas kerinduan dengan sanak familinya yang tinggal di Jalan Darmahusada, Surabaya, Soetanto biasanya pulang sekali setahun.

Yang menarik, karena masih ada darah Tinghoa, Dubes China di Jepang juga pernah menawari Soetanto berpindah kewarganegaraan ke China. Tawaran itu pun ditolak. "Saya masih WNI. Paspor saya masih Indonesia," tegasnya singkat.

Perjumpaan Habibie dengan Soetanto bisa dibilang tidak sengaja. Suatu ketika, Habibie sedang mengunjungi koleganya beberapa doktor universitas di Tokyo. Soetanto memfasilitasi pertemuan itu dengan menjadi penerjemah (bahasa Jepang) antara Habibie dan para doktor. Suatu ketika, Habibie menyentil siapa penerjemah itu kok fasih berbahasa Indonesia dan Jepang. Pertanyaan Habibie itu dijawab koleganya bahwa dia doktor berkewarganegaraan Indonesia. "Dia mahasiswa program doktoral dengan prestasi jempolan," kata kolega Habibie.

Habibie tenyata pernah menyampaikan keinginannya ’memulangkan’ Soetanto ke hadapan Pak Harto. Karena itu, saat ada kunjungan dinas ke Jepang, Soeharto pernah menemui Soetanto. "Saat itu beliau (Soeharto) juga meminta Soetanto pulang, tetapi tetap ditolaknya," kata Longtjing. Longtjing mengetahui apa pun aktivitas Soetanto karena selama berada di Tokyo selalu berkomunikasi lewat telepon.

Interaksi Soetanto dengan pejabat Indonesia tidak hanya itu. Mantan Wapres Adam Malik pun pernah meminta bantuan Soetanto ketika menjalani perawatan kesehatan rutin di Tokyo. Saat itu, yang memfasilitasi perkenalan Adam Malik dan Soetanto adalah Dubes RI di Jepang Wiyogo Atmodarminto.

Wiyogo yang mantan gubernur DKI benar-benar ketiban sampur karena dimintai bantuan staf Wapres agar mengurus perawatan Adam Malik di sebuah rumah sakit di Jepang. Maklum, tingkat kedisiplinan di Jepang yang begitu tinggi tak memungkinkan memprioritaskan perawatan pejabat sekelas Wapres sekalipun. Artinya, Adam Malik harus tetap antre untuk menjalani perawatan.

Untungnya, Wiyogo mengingat nama Soetanto yang kebetulan menjadi doktor bidang kedokteran dari Tohoku University. Soetanto akhirnya turun tangan. Dan, Adam Malik pun tidak perlu antre untuk menjalani perawatan, bahkan mendapat perawatan eksklusif dari kolega Soetanto. (AGUS MUTTAQIN, Jakarta)

Selengkapnya...

Anak Cerdas Butuh Layanan Khusus

Sumber: Kompas, Kamis 30 Juli 2009
Jakarta, Kompas - Anak cerdas dan berbakat istimewa yang ber-IQ di atas 125 membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Tidak sebatas percepatan studi, tetapi yang lebih penting adalah pengembangan secara maksimal potensi diri mereka.

Seperti diberitakan sebelumnya, baru 9.551 siswa cerdas dan berbakat istimewa mendapat layanan khusus di sekolah.

Diperkirakan ada 2,2 persen anak usia sekolah atau 1,05 juta anak sekolah memiliki kualifikasi cerdas istimewa.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Anak Cerdas dan Berbakat Istimewa, yang juga pengajar di Universitas Negeri Jakarta, Amril Muhammad mengatakan, berbeda dengan anak berkebutuhan khusus yang mendapat pelayanan melalui sekolah luar biasa (SLB) dan anak normal di sekolah umum, anak cerdas dan berbakat istimewa belum mendapat pelayanan terbaik.

Beragam pilihan

Pelayanan terbaik itu bisa beragam bentuk. Tahap awal, kecerdasan dan bakat anak dinilai. Nilai itu dijadikan dasar penyusunan program individual oleh guru dan psikolog pendamping.

Jenis pelayanan yang ada baru kelas akselerasi di 318 sekolah. Padahal juga dibutuhkan penguasaan substansi. Adapun kemampuan verbal dan komunikasi juga harus baik agar apa yang mereka sampaikan mewakili kecerdasan mereka. Program pengayaan juga dibutuhkan sesuai dengan minat anak.

Dia menyarankan, setiap kota dan kabupaten setidaknya memiliki satu sekolah khusus anak cerdas dan berbakat, tidak perlu mahal, tetapi dikelola guru yang kompeten dan kreatif. ”Anak-anak itu butuh ruang berekspresi dan bereksperimen sesuai kecerdasan dan bakatnya. Lepas dari kekakuan birokratisasi pendidikan,” ujarnya.

Kurang terasah

Fisikawan Prof Yohanes Surya, kemarin di hadapan para guru di Surabaya pada seminar motivasi yang diadakan harian Surya dan majalah Kuark, mengatakan, potensi ribuan anak genius kurang terasah baik. Diduga beberapa penyebabnya adalah karena pengajaran kurang baik dan pelajar kurang dimotivasi agar mengeluarkan kemampuan terbaik.

Surya mengatakan, penelitian di dunia menyebutkan, ada satu orang genius dari setiap 11.000 orang. Jadi dari 230 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 20.900 orang jenius. ”Mereka punya IQ minimal 160 atau setara Einstein,” ujarnya.

Anak Indonesia yang semula tak pernah menang kompetisi tingkat dunia kini sering memetik medali emas pada kompetisi sains dunia. Dia membuktikan itu dengan mendidik anak-anak pedalaman Papua. ”Mereka perlu motivasi untuk memunculkan kemampuan terbaik. Manusia secara naluriah perlu berada dalam kondisi kritis untuk bisa mengeluarkan potensi terpendamnya,” ujarnya. (INE/RAZ)
Selengkapnya...

Inilah Anak-anak Muda Penerus Bill Gates

sumber : okezone, Senin 27 Juli 2009

SAN FRANSISCO - Saat Bill Gates menelurkan pemikiran untuk membuat Microsoft, usianya baru 19 tahun. Begitu juga dengan pendiri Dell, Michael Dell. Ke depan, tidak menutup kemungkinan jika akan banyak anak-anak muda yang lahir untuk berperan sama seperti Bill Gates.

Dilansir melalui paidContent.org, Senin (27/7/2009), beberapa anak muda telah digadang-gadang sebagai penerus jejak Bill Gates. Anak-anak muda ini kebanyakan berumur maksimal 21 tahun dan telah berhasil 'mendulang emas' di dunia teknologi (IT).

1. Catherine Cook (19 tahun)
Ia dan saudara kandungnya, David Cook, membuat sebuah situs jejaring sosial bernama myYearbook. Situs ini bermula dari saran dan kritik teman-temannya yang tidak menyukai buku tahunan cetak yang beredar di lingkungan sekolah karena fot-fotonya yang terlihat jadul dan tidak bisa di-update. Catherine pun membuat buku tahunan online dimana teman-temannya bisa mengganti foto mereka dengan yang baru. Dalam waktu dua bulan, mereka bisa menyelesaikan myYearbook dan meluncurkannya pada April 2005. Dalam sehari mampu menjaring 3.000 anggota. Kini, myYearbook punya 9,8 juta unique visitor dalam sebulan, yang rata-rata adalah pelajar dan mahasiswa. Bahkan tahun lalu, Catherine mampu menghasilkan USD10 juta dari myYearbook.

2. Ashton dan Ryan Clark (20 tahun)
Kedua saudara kembar ini memulai bisnis website mereka sejak umur 11 tahun. Situs pertama mereka bernama circuitbreakers, yang merupakan situs jual beli elektronik dengan harga terjangkau. Sekarang, mereka sudah memiliki perusahaan bernama Dynamik Duo yang mampu menghasilkan pendapatan hingga dua digit. Dynamik Duo sendiri merupakan perusahaan yang bertugas dalam menjalankan operasional situs. Saat ini, lebih dari setengah lusin situs aktif berada dalam genggaman mereka. Di antaranya Hostivo, layanan pembuatan situs bagi perusahaan-perusahaan. Juga ada 247 mixtapes, situs yang memungkinkan pengunjung untuk membuat kompilasi musiknya sendiri. Serta We Park Chicago, situs yang memungkinkan para pengendara memesan tempat parkir di mana saja di Chicago.

3. Ashley Qualls (18 tahun)
Sejak umur 14 tahun, Ashley sudah bermain-main dengan kode HTML. Suatu ketika, ia tak sengaja mampu membuat halaman situs yang sangat gemerlap, lengkap dengan pernak-pernik layaknya situs milik seorang gadis seperti pita, button, quote dan glitter. Akhirnya, ia pun membuat situs bernama whateverlife.com yang memungkinkan para gadis untuk mendesain halaman mySpace mereka menjadi berbeda. Hingga kini, whateverlife memiliki 5.000 desain layout. Situsnya mampu me-makeover 60 juta halaman dalam sebulan. Ia pun mendapatkan USD50.000 setiap bulannya dan mampu membeli rumah di Detroit. Sayangnya, Ashley memilih untuk tidak meneruskan pendidikannya untuk menjalankan bisnis ini. Bahkan, pada 2007, ia telah menolak tawaran MySpace yang mau membeli situsnya seharga USD1,5 juta. Ini merupakan keputusan yang harus ia sesali belakangan karena saat ini, visitor di situsnya telah menurun drastis, dari 7 juta visitor menjadi hanya 550.000 saja.

4. Kavyon Beykpour (20 tahun)
Ia memiliki niat mulia yaitu 'membantu perusahaan menjadi ternama hanya melalui internet. Awalnya, Beykpour membuat desan dan aplikasi perusahaan yang akan beriklan di Facebook. Kemudian, ia pun melebarkan sayap untuk mempromosikan kampus dan sekolah agar lebih ternama di internet. Aplikasi kampus dan sekolah inilah yang membuatnya menjadi kaya. Aplikasi mobile bernama iStanford ini memungkinkan mahasiswa dan calon mahasiswa untuk mengakses layanan universitas. Mulai dari katalog perkuliahan, jadwal olahraga, rekomendasi kelas, hingga biodata profesor pengajar. Aplikasi iStanford kini bisa diunduh melalui iPhone. Saking menariknya, iStanford mampu menambah pundi Beykpour hingga USD1 juta.

5. Jenny Liu and Kevin Modzelewski (20 tahun)
Mereka menemukan metode mobile wallet saat baru menjadi mahasiswa di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Sayangnya, teknologi ini sangat bergantung dengan keberadaan perangkat RFID yang baru digunakan di toko-toko perbelanjaan besar. Keduanya sempat diundang oleh NFC developer untuk mendemonstrasikan aplikasi temuan mereka. NFC sendiri juga merupakan teknologi mobile wal0
Selengkapnya...

Bill Gates Berhenti Gunakan Facebook

Teman Bejibun, Bill Gates Berhenti Gunakan Facebook
Sumber : okezone, Minggu 26 Juli 2009

NEW DELHI - Idealnya mempunyai teman banyak di Facebook, tentu menjadi sesuatu yang membanggakan. Akan tetapi, itu tidak berlaku bagi Bill Gates. Justru, gara-gara banyaknya anggota Facebook lain yang ingin bertemanan dengannya, dia justru keluar dari situs jejaring sosial tersebut.

Ya, pendiri Micorosoft itu resmi menyatakan kalau dirinya sudah tidak menggunakan Facebook lagi, sejak beberapa waktu ini. Alasannya, di dalam akun Bill Gates, telah ada 10 ribu orang yang mengantri untuk menjadi 'sahabatnya' di Facebook.

"Sebanyak 10 ribu orang ingin berteman denganku di Facebook. Dan itu sangat mengganggu, jadi, saya putuskan untuk keluar saja," tegas pria terkaya di dunia itu, saat berbicara di sebuah forum di India.

Reuters, Minggu (26/7/2009), melaporkan kalau Gates sangat kelimpungan meng-approve ribuan orang tersebut. Terlebih, banyak teman yang meng-invite pria yang terkenal dermawan itu, tidak dikenalnya. Sehingga sulit bagi Gates, untuk mengidentifikasi.

Dalam kesempatan yang sama, Gates mengingatkan kepada masyarakat untuk berhati-hati dalam menggunakan teknologi. Diakui oleh dirinya, teknologi jika digunakan secara berlebihanan akan menyita waktu si penggunanya.

"Saya memang gemar membaca, akan tetapi kebanyakan bacaan saya bukan berasal dari komputer," tegasnya. (srn)
Selengkapnya...

28 Juli 2009

Gates Berhenti Gunakan Facebook

Teman Bejibun, Bill Gates Berhenti Gunakan Facebook
Sumber: okezone, Minggu 26 Juli 2009
NEW DELHI - Idealnya mempunyai teman banyak di Facebook, tentu menjadi sesuatu yang membanggakan. Akan tetapi, itu tidak berlaku bagi Bill Gates. Justru, gara-gara banyaknya anggota Facebook lain yang ingin bertemanan dengannya, dia justru keluar dari situs jejaring sosial tersebut.

Ya, pendiri Micorosoft itu resmi menyatakan kalau dirinya sudah tidak menggunakan Facebook lagi, sejak beberapa waktu ini. Alasannya, di dalam akun Bill Gates, telah ada 10 ribu orang yang mengantri untuk menjadi 'sahabatnya' di Facebook.

"Sebanyak 10 ribu orang ingin berteman denganku di Facebook. Dan itu sangat mengganggu, jadi, saya putuskan untuk keluar saja," tegas pria terkaya di dunia itu, saat berbicara di sebuah forum di India.

Reuters, Minggu (26/7/2009), melaporkan kalau Gates sangat kelimpungan meng-approve ribuan orang tersebut. Terlebih, banyak teman yang meng-invite pria yang terkenal dermawan itu, tidak dikenalnya. Sehingga sulit bagi Gates, untuk mengidentifikasi.

Dalam kesempatan yang sama, Gates mengingatkan kepada masyarakat untuk berhati-hati dalam menggunakan teknologi. Diakui oleh dirinya, teknologi jika digunakan secara berlebihanan akan menyita waktu si penggunanya.

"Saya memang gemar membaca, akan tetapi kebanyakan bacaan saya bukan berasal dari komputer," tegasnya. (srn)
Selengkapnya...

Inilah Anak-anak Muda Penerus Bill Gates

Sumber: okezone, Senin 27 Juli 2009
SAN FRANSISCO - Saat Bill Gates menelurkan pemikiran untuk membuat Microsoft, usianya baru 19 tahun. Begitu juga dengan pendiri Dell, Michael Dell. Ke depan, tidak menutup kemungkinan jika akan banyak anak-anak muda yang lahir untuk berperan sama seperti Bill Gates.

Dilansir melalui paidContent.org, Senin (27/7/2009), beberapa anak muda telah digadang-gadang sebagai penerus jejak Bill Gates. Anak-anak muda ini kebanyakan berumur maksimal 21 tahun dan telah berhasil 'mendulang emas' di dunia teknologi (IT).

1. Catherine Cook (19 tahun)
Ia dan saudara kandungnya, David Cook, membuat sebuah situs jejaring sosial bernama myYearbook. Situs ini bermula dari saran dan kritik teman-temannya yang tidak menyukai buku tahunan cetak yang beredar di lingkungan sekolah karena fot-fotonya yang terlihat jadul dan tidak bisa di-update. Catherine pun membuat buku tahunan online dimana teman-temannya bisa mengganti foto mereka dengan yang baru. Dalam waktu dua bulan, mereka bisa menyelesaikan myYearbook dan meluncurkannya pada April 2005. Dalam sehari mampu menjaring 3.000 anggota. Kini, myYearbook punya 9,8 juta unique visitor dalam sebulan, yang rata-rata adalah pelajar dan mahasiswa. Bahkan tahun lalu, Catherine mampu menghasilkan USD10 juta dari myYearbook.

2. Ashton dan Ryan Clark (20 tahun)
Kedua saudara kembar ini memulai bisnis website mereka sejak umur 11 tahun. Situs pertama mereka bernama circuitbreakers, yang merupakan situs jual beli elektronik dengan harga terjangkau. Sekarang, mereka sudah memiliki perusahaan bernama Dynamik Duo yang mampu menghasilkan pendapatan hingga dua digit. Dynamik Duo sendiri merupakan perusahaan yang bertugas dalam menjalankan operasional situs. Saat ini, lebih dari setengah lusin situs aktif berada dalam genggaman mereka. Di antaranya Hostivo, layanan pembuatan situs bagi perusahaan-perusahaan. Juga ada 247 mixtapes, situs yang memungkinkan pengunjung untuk membuat kompilasi musiknya sendiri. Serta We Park Chicago, situs yang memungkinkan para pengendara memesan tempat parkir di mana saja di Chicago.

3. Ashley Qualls (18 tahun)
Sejak umur 14 tahun, Ashley sudah bermain-main dengan kode HTML. Suatu ketika, ia tak sengaja mampu membuat halaman situs yang sangat gemerlap, lengkap dengan pernak-pernik layaknya situs milik seorang gadis seperti pita, button, quote dan glitter. Akhirnya, ia pun membuat situs bernama whateverlife.com yang memungkinkan para gadis untuk mendesain halaman mySpace mereka menjadi berbeda. Hingga kini, whateverlife memiliki 5.000 desain layout. Situsnya mampu me-makeover 60 juta halaman dalam sebulan. Ia pun mendapatkan USD50.000 setiap bulannya dan mampu membeli rumah di Detroit. Sayangnya, Ashley memilih untuk tidak meneruskan pendidikannya untuk menjalankan bisnis ini. Bahkan, pada 2007, ia telah menolak tawaran MySpace yang mau membeli situsnya seharga USD1,5 juta. Ini merupakan keputusan yang harus ia sesali belakangan karena saat ini, visitor di situsnya telah menurun drastis, dari 7 juta visitor menjadi hanya 550.000 saja.

4. Kavyon Beykpour (20 tahun)
Ia memiliki niat mulia yaitu 'membantu perusahaan menjadi ternama hanya melalui internet. Awalnya, Beykpour membuat desan dan aplikasi perusahaan yang akan beriklan di Facebook. Kemudian, ia pun melebarkan sayap untuk mempromosikan kampus dan sekolah agar lebih ternama di internet. Aplikasi kampus dan sekolah inilah yang membuatnya menjadi kaya. Aplikasi mobile bernama iStanford ini memungkinkan mahasiswa dan calon mahasiswa untuk mengakses layanan universitas. Mulai dari katalog perkuliahan, jadwal olahraga, rekomendasi kelas, hingga biodata profesor pengajar. Aplikasi iStanford kini bisa diunduh melalui iPhone. Saking menariknya, iStanford mampu menambah pundi Beykpour hingga USD1 juta.

5. Jenny Liu and Kevin Modzelewski (20 tahun)
Mereka menemukan metode mobile wallet saat baru menjadi mahasiswa di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Sayangnya, teknologi ini sangat bergantung dengan keberadaan perangkat RFID yang baru digunakan di toko-toko perbelanjaan besar. Keduanya sempat diundang oleh NFC developer untuk mendemonstrasikan aplikasi temuan mereka. NFC sendiri juga merupakan teknologi mobile wal0
Selengkapnya...

16 Juli 2009

Cadangan Devisa Tiongkok Membengkak

Juni Tembus Hingga USD 2,13 Triliun

sumber: Jawapos, 16 Juli 2009

BEIJING - Posisi Tiongkok sebagai pemilik cadangan devisa terbesar di dunia semakin sulit tergeser. Data yang dirilis Bank Sentral Tiongkok menyebutkan, bahwa cadangan devisa Negeri Panda itu mencapai USD 2,13 triliun per akhir Juni lalu. Bank Sentral mengklaim, angka ini meningkat 17,8 persen atau USD 186 miliar hingga pertengahan tahun ini. Cadangan devisa ini juga dikatakan lebih besar dua kali lipat dari cadangan devisa Jepang yang mencapai USD 988 miliar.

''Bulan Juni saja, cadangan devisa meningkat sekitar USD 42 miliar. Ini hampir sama dengan pertumbuhan empat kuartal tahun lalu yaitu USD 45 miliar,'' demikian penjelasan yang dfisampaikan Bank Sentral seperti dikutip Associated Press.

Para analis Tiongkok berpendapat, naiknya cadangan devisa disebabkan aliran hot money yang dibawa dari luar negeri oleh investor Tiongkok. Dana tersebut kemudian dialirkan ke bursa saham serta real estate. Karena, jika dilihat pertumbuhan dari sektor perdagangan dan investasi langsung di bulan Juni, kondisinya justru sedang merosot. ''Ya, kenaikan cadangan devisa mungkin akibat portfolio inflow yang kemudian berdampak pada bursa dan pasar properti,'' kata ekonomis Citigroup Inc Ken Peng di Beijing.

Ekspor Tiongkok sendiri, sampai Juni lalu kondisinya masih drop hingga 21,4 persen. Sedangkan surplus perdagangan mereka hanya mencapai USD 8,2 miliar. Ini yang membuat Gubernur Bank Sentral Zhou Xiaochuan mencoba mengesampingkan perubahan yang bisa terjadi secara mendadak terhadap cadangan devisa tersebut. Sementara, Perdana Menteri China Wen Jiabao juga mulai mencermati kemungkinan surat berharga Tiongkok senilai USD 763,5 miliar, yang nilainya anjlok lantaran Amerika Serikat (AS) menjual dalam jumlah yang cukup besar untuk mendanai stimulus. "Tak bisa dielakkan, Tiongkok akan melanjutkan investasinya dalam bentuk surat berharga karena curamnya skala dari cadangan devisa itu," lanjut Ken Peng,

Nah, dengan kondisi seperti itu, para petinggi Tiongkok menegaskan akan terus memperhatikan stabilitas dolar. Pasalnya, Tiongkok tercatat tercatat sebagai kreditur asing terbesar bagi AS. Mereka menyimpan hampir separuh cadangannya di sana. (jan/bas)

Selengkapnya...

Liem Swie King

Sumber: Jawapos, Kamis 16 Juli 2009

Liem Swie King, Legenda Bulu Tangkis setelah 21 Tahun Menghilang

Jangan Salahkan Situasi

Piala Thomas 1988 menjadi kado pahit perpisahan Liem Swie King. Legenda bulu tangkis dunia itu mundur setelah Indonesia dikalahkan Malaysia 2-3 di babak semifinal.

---


TIDAK mudah menemui Liem Swie King akhir-akhir ini. Hari-hari mantan pemain bulu tangkis itu semakin padat setelah biografinya, Panggil Aku King, dan film King beredar di pasaran. Maklum, jadwal promo yang panjang mengisi agendanya ke depan.

Begitu pula kemarin siang (15/7), masih ada agenda nonton bareng "King" di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Senayan, Jakarta. Saat bukunya diluncurkan bertepatan dengan perhelatan Indonesia Terbuka pada Juni lalu, tak sedikit pun King merasa lelah.

"Ah, lebih capai latihan bulu tangkis setiap hari. Ini cukup menyenangkan," ujar King di sela-sela peluncuran biografinya pada 19 Juni lalu. Namun, dalam perjalanannya, King "menyerah" juga. "Maaf, Papi kurang sehat. Jadi, beliau harus beristirahat dulu," ujar Stephanie King, putri King.

Kata dokter, lanjut Stepahnie, King harus beristirahat selama

beberapa hari. Bahkan, percakapan melalui telepon pun tidak mungkin dilakukan karena suaranya "habis".

Banyak pihak seolah berlomba-lomba mencari King. Padahal, namanya menghilang sejak dia memutuskan untuk pensiun pada 1988. Saat itu, usianya memang sudah tidak muda, 32 tahun. Meski demikian, Indonesia masih memercayai dia dan pasangannya, Bobby Ertanto, sebagai ganda penutup perhelatan Piala Thomas 1988. Sayang, keduanya gagal menjadi pahlawan.

Momen itu pula yang kian memantapkan King untuk pensiun. Nama besarnya dengan King Smash's seolah tertelan bumi. Baru beberapa tahun kemudian, bertepatan dengan ajang Indonesia Open Super Series 2009, nama King kembali melambung. Tanpa rencana untuk rilis bersamaan, buku biografinya, Panggil Aku King, dan film yang terinspirasi kisah hidupnya, King, dapat ditemui di pasaran.

Saat ini, King sudah kembali sehat. Aktivitas hariannya juga mulai "normal" lagi. "Memang, masih ada jadwal promo dan udangan dari sana-sini, tapi sudah tidak terlalu padat lagi," jelas Stephanie.

Namun, jangan dibayangkan bahwa aktivitas normal King adalah berangkat kerja pagi dan pulang malam. Predikat wiraswastawan yang melekat kepada juara tiga kali turnamen bulu tangkis bergengsi All England itu tidak mengharuskannya berangkat dan pulang dengan jadwal rutin layaknya saat dia masih menjadi atlet pelatnas. Apalagi, dua hotel, bisnis properti, dan tiga griya pijat miliknya sudah berjalan dengan cukup baik.

Usaha perhotelan yang ditekuni King merupakan warisan sang mertua. Malah, usahanya di griya pijat, yang lahir belakangan, telah mempekerjakan lebih dari 200 karyawan. Namun, jangan salah. Usaha itu berkembang karena latar belakangnya sebagai pemain nasional yang kerap bepergian dan menginap di hotel berbintang. Dia membuka usaha itu berdasar pengalamannya sebagai pemain dengan jadwal latihan dan turnamen yang sangat padat.

King melihat kalangan eksekutif dan pengusaha Jakarta yang gila kerja membutuhkan kesegaran fisik. Karena itu, dia membuka griya pijat kesehatan Sari Mustika di Grand Wijaya Centre. Kemudian, dia membuka griya pijat lainnya di Jl Fatmawati, Jakarta Selatan, dan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dalam mengelola usahanya, King tidak sungkan-sungkan menyambut sendiri tamu hotel atau griya pijatnya. Selain pengalaman itu, keluarga King memiliki peran penting. "Latar belakang keluarga saya adalah pedagang. Jadi, saya sudah terbiasa mengatur keuangan sendiri," tutur King.

Kebiasaan itu tumbuh sejak King masih berjaya sebagai atlet. Segala apresiasi berbentuk uang atau uang kontrak dengan sponsor segera dialihkan menjadi tanah atau rumah. Langkah itu diambil King sebagai antisipasi setelah dia

pensiun sebagai pebulu tangkis. Sejak awal, bapak tiga anak tersebut ogah menuntut kesejahteraan pemain di akhir karir.

Dia menyadari bahwa pendidikannya yang hanya sampai sekolah menengah atas dan bekal keterampilan dari bulu tangkis tidak cukup untuk mencari uang kelak. Apalagi, King merasa tidak memiliki kepiawaian sebagai pelatih.

"Atletlah yang harus mempersiapkan masa depannya sendiri. Jangan menyalahkan situasi PBSI atau pemerintah," tegas suami Lucia Alamsyah itu. Pesan singkat yang amat penting bagi semua pihak. (femi diah/diq)

BIODATA:

Nama: Liem Swie King

Lahir: Kudus, 28 Februari 1956

Isteri: Lucia Alamsyah

Anak:

- Alexander King, 25

- Stephanie King, 23

- Michelle King, 13

Prestasi:

- Juara All England 1978, 1979, dan 1981

- Runner-up All England 1976, 1977

- Runner-up Kejuaraan Dunia 1980, 1983

- Peringkat III Kejuaraan Dunia 1985 (ganda pria)

- Juara Piala Thomas 1976, 1979, 1984 dari enam kali ikut serta

- Medali emas Asian Games di Bangkok 1978

- Juara Kejuaraan Nasional 1974, 1975

Penghargaan:

International Badminton Federation Badminton Hall of Fame in 2002

Tentang King:

- Hobi fotografi dan mengoleksi kamera.

- Senang menikmati kicauan burung di rumah.

- Penyuka masakan Indonesia seperti nasi liwet dan soto kudus.

- Penggemar Bruce Lee dan Andy Lau.

- Suka nongkrong di toko buku.

- Bacaan politik dan cerita silat jadi favorit.

- Penyuka warna biru.


Simpan Rapat Misteri All England 1976
Sumber: Jawapos, Kamis 16 Juli 2009

LAGA final All England di London pada 1976 cukup istimewa. Saat itu, partai puncak turnamen bulu tangkis tertua di dunia tersebut diisi wakil Merah Putih, Liem Swie King kontra Rudy Hartono.

Akhirnya, Rudy menang 15-7, 15-6. Kemenangan itu menjadikan Rudy sebagai pemain pertama di dunia yang mencetak gelar juara terbanyak di sana. Yakni, delapan gelar.

Namun, kekalahan King tersebut masih menjadi misteri bagi banyak kalangan bulu tangkis. Maklum, waktu itu, performa King justru lebih bagus daripada Rudy. Misteri kekalahan Liem Swie King pada All England 33 tahun silam tersebut kembali mengemuka dalam peluncuran dan diskusi buku Panggil Aku King. Benarkah King diminta mengalah?

Pemilik PB Djarum Robert Budi Hartono menyatakan kecewa dengan cara King bertanding melawan Rudy Hartono pada saat itu. "Aku melatihmu susah-susah, kok kamu dengan mudahnya memberikan kemenangan. Kalau saja saya berada di London waktu itu, saya akan berkata kepada King bahwa dia harus bermain habis-habisan melawan Rudy Hartono. Saya baca hasil di surat kabar. Saya pikir, King jelas mengalah," paparnya.

Mantan pemain bulu tangkis Tan Joe Hok menuturkan, mantan petinggi PB PBSI Suharso Suhandinata pernah bercerita kepada dirinya bahwa sebelum pertandingan, Suharso memanggil King. Keduanya terlibat pembicaraan empat mata.

Suharso meminta King merelakan Rudy menjadi juara All England untuk kedelapan kalinya demi Merah Putih. Pertandingan final All England 1976 tersebut berlangsung relatif singkat. King tidak menunjukan dirinya sebagai juara sejati. Bahkan, yang terlihat, King masuk ke lapangan dengan lesu dan tanpa gairah.

Namun, King tak mau menjawab dengan tegas persoalan itu. Dia hanya mengaku sangat menyesal karena tidak bisa menjadi juara All England 1976. "No comment saja. Yang penting, saya menang atas pebulu tangkis lain pada uji coba menjelang Piala Thomas," katanya. (vem/diq)

Relakan Raket Istimewa

Sumber: Jawapos, Kamis 16 Juli 2009

SMES King begitu melegenda sampai sekarang. Smes tersebut begitu ditakuti lawan. Smes itu pula yang sampai kini menjadi kajian para pelatih dan ilmuwan olahraga.

Tak hanya berbekal latihan disiplin yang dilakoni setiap hari, King memiliki tip khusus untuk menambah power gebukan raketnya. "Rahasianya berada pada raket itu sendiri. Saya memakai Carbonex yang sudah tidak beredar lagi sekarang. Saya meminta grip yang besar. Senarnya juga beda. Saya selalu memasang senar lebih kencang daripada yang normal," ungkapnya.

Selain itu, King selalu meminta produsen raket agar membuat kepala raket yang lebih berat daripada pegangannya. Raket tersebut kini sudah tidak ada. Smes King juga menjadi bagian dari legenda.

Karena itu, tak mengherankan jika King begitu menyayangi raket yang pernah digunakannya tersebut. Tapi, itu tak membuat King menutup diri saat rekannya sedang kesusahan.

Dia turut berpartisipasi menyumbangkan raket istimewa tersebut kepada keluarga pemain bulu tangkis lainnya, Indra Gunawan. Saat lelang, raket King masuk dalam jajaran raket yang paling banyak ditawar pihak luar. "Kalau untuk teman dan niatnya baik, tak perlu menyayangkannya. Saya masih memiliki yang lain," ujarnya. (vem/diq)


Tak Berbakat Main Film

sumber: Jawapos, 16 Juli 2009

TAMPANG menawan dan tubuh atletis tak kali ini saja menjadi modal seorang pria untuk jadi bintang film. Dulu, Liem Swie King muda juga memanfaatkan dua modal itu untuk terjun ke dunia film.

Bukan saat pensiun, tapi justru ketika dia masih aktif sebagai atlet. Kebetulan, King diskors tiga bulan karena terlambat saat diminta memperkuat tim Indonesia pada SEA Games 1979. Dia malah ditawari bermain dalam dua film. Yakni, Kau dan Aku Sayang serta Sakura dalam Pelukan.

Namun, King hanya memilih film yang disebut terakhir. Dia mendapatkan kesempatan mengolah akting bersama Eva Arnaz dengan sutradara Fritz G. Schadt. "Saya bermain film hanya untuk mencari pengalaman dan selingan. Lumayan menghilangkan jenuh," ujarnya.

Maklum, sejak 1973, King sudah mengayunkan raket pada Pekan Olahraga Nasional (PON). Tinggal di pelatnas juga tak mudah. Selain jauh dari keluarga, di sana juga miskin hiburan. Tidak ada televisi untuk meminimalisasi kejenuhan.

Menurut dia, kebosanan mulai muncul sejak penampilannya pada Piala Thomas Mei 1979. Selain itu, dia ingin mengikuti jejak Rudy Hartono yang lebih dalu menjajal karir di layar lebar. Rudy pernah main dalam film berjudul Matinya Seorang Bidadari bersama Poppy Darsono pada 1971.

Namun, setelah melakoni syuting pertama tersebut, King merasa tak memiliki bakat. Dia lebih enjoy bermain bulu tangkis, meski harus berlatih keras. "Di lapangan, saya bisa mengatur, mengendalikan, dan memutuskan apa pun sendiri. Tapi, kalau main film, banyak aturannya," katanya. (vem/diq)
Selengkapnya...

15 Juli 2009

Inspirasi dari Jade Norman, Eks Gelandangan yang Kini Mahasiswi Cambridge

Hamil di Usia 15 Tahun, Diusir karena Menolak Aborsi

Sumber: Jawapos, Selasa 14 Juli 2009

Berjuta masalah yang menghantam tak menghalangi Jade Norman menggapai prestasi. Dia berharap bisa memboyong keluarga ke asrama kampus.

---

JADE Norman masih sering tidak percaya pada apa yang dinikmati­nya kini. Duduk di perpustakaan, belajar di taman, dan menjadi mahasiswi perguruan tinggi nan prestisius sekaligus tertua kedua di dunia, Universitas Cambridge.

"Saya sering sekali berpikir saat berada di perpustakaan sambil memandangi taman, bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Apa yang saya lakukan disini," katanya kepada Daily Mail kemarin (13/7).

Keheranan Norman itu wajar. Sebab, jalan hidup yang harus dia lalui untuk bisa sampai pada keadaan seperti sekarang memang sungguh berliku. Menginjak usia tiga tahun, Norman sudah harus merasakan pahitnya hidup. Orang tuanya bercerai dan pengadilan menyerahkan hak asuhnya kepada sang ibu.

Tapi, Norman yang mulai menginjak usia praremaja sering berselisih paham dengan sang ibu. Maka, pada usia 11 tahun, dia minggat. Gadis asal Bedford, kawasan timur Inggris, itu lantas tinggal bersama sang ayah.

Saat keluarga sudah tidak lagi menjadi masalah, ganti sekolah yang tidak bersahabat dengannya. Norman yang masih belia sering menjadi korban bullying teman-temannya. Kondisi itu sangat memengaruhi kemampuan akademiknya.

Sampai-sampai, pada usia 14 tahun, dia dikeluarkan dari sekolah. Putus sekolah, Norman kemudian tinggal bersama kakek-neneknya di Essex. Berharap membuka lembaran baru yang jauh lebih baik di sekolah dan lingkungan baru, Norman justru semakin terpuruk. Lagi-lagi, dia gagal ber­prestasi di sekolah. Lebih parah lagi, dia hamil di luar nikah pada usia 15 tahun.

"Keluarga menyuruh saya melakukan aborsi. Tapi, saya memilih untuk mempertahankan kehamilan," ujar Norman.

Konsekuensinya, dia harus keluar dari rumah nenek dan kakeknya. Beberapa saat menggelandang di jalanan, dia akhirnya tinggal di asrama penampungan khusus kaum tunawisma dan membesarkan sendiri anaknya.

Meski sibuk menjadi orang tua tunggal, Norman tidak pernah memadamkan harapan untuk sekolah. Setelah lebih dari setahun mengurus anak, dia kembali ke jenjang pendidikan. Tapi, dewi fortuna belum berpihak kepadanya. Dia kembali hamil. Ayah si jabang bayi masih tetap sama. Yakni, kekasih masa remaja yang berusia dua tahun lebih tua darinya, Henry Uko.

Dengan dua anak, Jacey dan Christian yang kini berusia enam dan tiga tahun, Norman tetap semangat mengejar ketertinggalan dalam studi. Semangat belajar ibu muda itu sukses mengantarkannya menjadi mahasiswi brilian di bidang sejarah, politik dan pemerintahan, serta sosiologi. Dia pun mendapatkan beasiswa masuk ke Lucy Cavendish College, salah satu college yang menjadi bagian dari Universitas Cambridge.

"Tentu saja saya harus bekerja ekstrakeras. Tapi, saya sangat menikmati semua ini," papar mahasiswi tingkat dua tersebut.

Saat ini, Norman sedang mengajukan permohonan ke kampus untuk mendapatkan akomodasi keluarga di asrama lingkungan kampus. Dengan demikian, dia bisa tetap serius belajar sambil mengasuh putra-putrinya.

Rencananya, dia juga akan tinggal bersama Uko yang tahun ini diterima di Anglia Ruskin University. "Anak-anak saya sangat luar biasa. Jacey adalah gadis periang yang sangat baik hati. Sedangkan, Christian adalah bocah laki-laki yang punya karakter kuat dan lincah," paparnya. (hep/ttg)

Selengkapnya...

12 Juli 2009

Mengikuti Proses ''Menabung'' Tali Pusat Bayi ke Singapura (2-Habis)

Sel Induk Bisa Sembuhkan Leukemia Ganas

Sumber: Jawapos, 12 Juli 2009

Teknologi pengelolaan darah tali pusat (umbilical cord blood) semakin berkembang. Dengan demikian, bukan hanya biayanya yang kini menjadi kian murah, tetapi juga pemanfaatannya. Di beberapa negara maju, darah bawaan bayi saat lahir itu juga bisa disumbangkan untuk orang lain yang DNA-nya tidak sama dengan si bayi.

NUR AINI ROSILAWATI, Surabaya 

---


SEBENARNYA, teknologi pengelolaan darah tali pusat sudah ada lebih dari 30 tahun lalu. Tetapi, teknologi tersebut baru benar-benar dikembangkan secara luas setelah seorang dokter di Amerika Serikat berhasil mentransplantasikan sel induk -yang diambil dari darah tali pusat- kepada seorang anak lelaki berumur enam tahun yang menderita penyakit kelainan darah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 1988.

Seperti yang disebutkan di bagian pertama tulisan ini kemarin, darah tali pusat mengandung sel-sel induk (stem cells), yang bisa meregenerasi diri sendiri. Untuk mengambil darah tali pusat dari bayi kembar Ny Isna Fitriana itu, Prof Dr dr Suhartono DS SpOG KFER dan dr Hendra Sukma Ratsmawan SpOG bertindak sangat hati-hati. 

Proses dan timing yang tepat memungkinkan dokter mendapatkan sel induk sebanyak-banyaknya dari darah tali pusat. Dari seorang bayi yang baru lahir, umumnya dokter hanya mengambil 75-180 ml darah tali pusat.

Semakin banyak sel induk yang diperoleh, berarti semakin banyak manfaat yang bisa dilakukan. Kalau tidak banyak, sel induk tidak bisa dimanfaatkan untuk transplantasi karena tindakan medis tersebut membutuhkan banyak sel induk.

Tentang pemanfaatan sel induk ini, masih ada beberapa kontroversi. Sampai 2006 saja, dokter-dokter ahli di Barat masih ada yang menentang penggunaan darah tali pusat untuk pemakaian sendiri pada kasus leukemia, pre-leukemia, dan penyakit-penyakit bawaan. Alasan mereka, kalau penyakit-penyakit itu sudah dibawa si bayi sejak lahir, berarti di sel induknya juga sudah ada penyakit-penyakit itu. 

Namun, pada musim panas tahun lalu beberapa percobaan membuktikan bahwa anggapan di atas tidak berlaku. Buktinya, seorang anak yang menderita penyakit diabetes tipe I (bawaan) bisa disembuhkan dengan cara mentransfusikan darah tali pusatnya sendiri.

Ada dua bukti lain yang diangkat para ahli untuk menggugurkan pendapat kolega mereka pada 2006 itu. Bukti pertama, sembuhnya seorang anak yang menderita penyakit cerebral palsy, setelah sel induk dari darah tali pusatnya ditransfusikan. Cerebral palsy adalah kelainan motorik yang permanen akibat tidak sempurnanya pertumbuhan jaringan otak.

Bukti kedua, disembuhkannya seorang anak yang menderita leukemia (kanker darah), juga dengan sel induknya sendiri. Tetapi, ini memang belum bisa dijadikan patokan. Sebab, keberhasilan tersebut baru terjadi pada satu kasus itu saja.

Bahwa sel induk dari darah tali pusat bisa digunakan untuk menyembuhkan secara total seorang penderita leukemia dari tipe yang ganas, tampaknya, semakin dipercaya oleh para ahli. Buktinya, topik itu menjadi bahasan utama dalam simposium internasional ke-7 Transplantasi Darah Tali Pusat, di San Fransisco, Amerika Serikat, awal Juni lalu.

Ketika para dokter ahli membahas dan meneliti penyakit apa saja yang bisa diatasi dengan sel induk dari darah tali pusat, beberapa negara bagian di Amerika Serikat sudah mulai mengembangkan program donasi darah tali pusat. Salah satunya di New York.

Dengan dibukanya program ini, semua ibu bisa menyumbangkan darah tali pusat bayinya untuk orang lain. Caranya dengan memberi tahu bank darah tali pusat untuk umum (publik), sebelum kandungannya genap berumur 34 minggu.

Tim dari bank darah tersebut lantas mendatangi si ibu untuk meminta tanda tangan persetujuannya dan suaminya, serta mengambil sampel darah si ibu untuk diperiksa ''kebersihan" darahnya. 

Proses pemeriksaan, pendaftaran, dan pengambilan darahnya sama persis dengan yang dialami Ny Isna, putri CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan saat melahirkan anak kembar (laki-laki dan perempuan) Kamis lalu (9/7).

Yang membedakan hanya pada biaya dan pemanfaatan darah tali pusat itu. Kalau Isna harus membayar sekitar Rp 15 juta per bayi, plus sekitar Rp 1,8 juta untuk penyimpanan sel induk darah tali pusat bayinya per tahun, ibu yang menyumbangkan darah tali pusat anaknya untuk kepentingan umum itu, gratis.

Mereka tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Risikonya, sel induk darah bayinya disimpan tanpa identitas. Kecuali, tentu saja, golongan darah, rhesus, dan identitas penting lain dari darah itu.

Karena sudah diserahkan kepada negara, tidak mungkin bagi si ibu maupun bayinya untuk suatu saat memanfaatkan darah itu. Kecuali darahnya masih tersimpan di situ. Artinya, belum ditransplantasikan ke orang lain atau keburu digunakan untuk penelitian. Dan, karena darah itu tidak diberi identitas pemiliknya, yang dicocokkan adalah data-data darahnya saja. Jadi, bisa saja, itu bukan miliknya sendiri.

Meski di sana sudah ada bank darah tali pusat untuk umum, tidak berarti para ibu tidak bisa menyimpan darah tali pusat bayinya untuk kepentingan pribadi? Pasti bisa. Tetapi, ya seperti Ny Isna: Harus bayar.

Biaya pengambilan dan pendaftarannya lebih mahal daripada di Singapura dan Indonesia. Yakni, sekitar USD 2.000. Jasa pemeliharaan dan penyimpanannya USD 125 per tahun. Angka ini merupakan data 2007. Bisa jadi, sekarang sedikit lebih mahal dari itu.

Melihat perkembangan teknologi dan semakin banyaknya peneliti yang tertarik pada sel induk darah tali pusat ini, bisa dipastikan kelak ada ratusan jenis penyakit yang berhasil disembuhkan oleh sel induk dari darah tali pusat. Saat ini literatur sudah menyebutkan bahwa ada sekitar 80 jenis penyakit yang bisa disembuhkan oleh sel induk dari tali pusat. 

Data di bank darah tali pusat untuk publik yang ada di New York atau NYCBBP menyebutkan bahwa 20 persen dari 25 ribu darah tali pusat yang disumbangkan ke situ telah ditransplantasikan. Sekitar satu persennya lagi digunakan untuk riset.

Yang juga perlu diketahui, NYCBBP bukan satu-satunya badan pemerintah di AS yang menangani darah tali pusat. Jadi, kalau semua bank sejenis di sana dan di negara-negara maju lain melakukan riset, bisa dipastikan dalam beberapa tahun mendatang, bisa jadi, transplantasi pun tak lagi menggunakan donor hidup maupun cadaver (dari tubuh yang mati batang otaknya). 

Transplantasi menggunakan organ dari tubuh lain memiliki potensi rejeksi (ditolak) yang cukup besar. Karena itu, semua pasien transplan harus minum obat antirejeksi seumur hidup.

Dengan menggunakan sel induk dari darah tali pusat, organ yang rusak itu bisa dibangun kembali tanpa memerlukan obat antirejeksi, karena "kontraktornya" adalah sel induk dari tubuhnya sendiri.

Kegunaan darah tali pusat ini sebenarnya diketahui masyarakat sejak lebih dari 100 tahun lalu. Hanya, cara mereka menyimpan dan memanfaatkannya sulit dibenarkan secara ilmiah.

Uniknya, meski teknologi penyimpanan dan penggunaan darah tali pusat sudah sedemikian maju, ternyata masih banyak anggota masyarakat yang menyimpan tali pusat bayinya dengan cara tradisional. Yakni, dibungkus kain atau disimpan di laci.

Cerita dr Sulung Budianto, direktur RS Surabaya Internasional, misalnya. Dia menyimpan rapi tali pusat ketiga anaknya di laci lemari sampai sekarang. ''Saya kan hanya melakukan pesan orang tua agar tali pusat anak-anak disimpan semua,'' terangnya. Tali pusat itu disimpan di sebuah plastik kecil, lantas ditaruh dalam laci. 

Dia lalu bercerita bahwa tali pusat tersebut bisa digunakan sebagai obat ketika anak (pemilik tali pusat) sakit. Caranya, tali pusat digerus sedikit, lantas direndam dalam air. Airnya diminumkan ke anak yang sakit panas tinggi. Apa tali pusat tersebut pernah digunakan? Sulung menggelengkan kepala. ''Ya, tak pernah. Sampai sekarang, tali pusatnya tetap kering,'' ungkapnya. (*)


Selengkapnya...

11 Juli 2009

Mengikuti Proses ''Menabung'' Tali Pusat Bayi ke Singapura (1)

Ambil Darah, Dokter Berpacu dengan Ari-Ari Bayi

Sumber: Jawapos, Sabtu 11 Juli 2009


Belajar dari pengalamannya harus ganti hati, ketika dua hari lalu memperoleh cucu kembar, Dahlan Iskan, chairman/CEO Jawa Pos, meminta agar tali pusat cucunya itu disimpan. Bukan dengan cara tradisional, melainkan dengan cara baru yang lagi banyak dicoba di seluruh dunia: menyimpannya di bank tali pusat di Singapura. Berikut laporan mengenai hal itu.

Nur Aini Rosilawati, Surabaya

---

Yang disimpan itu sebenarnya tidak lagi berupa tali pusat, tapi darah yang diambil dari tali pusat. Darah yang sudah dimasukkan dalam kantong plastik dengan didesain khusus itulah yang dikirim ke Singapura. Di sana darah tersebut dipisah-pisahkan lagi untuk hanya diambil inti selnya.

Inti sel darah tali pusat itulah yang disimpan baik-baik di dalam tabung yang dinginnya mencapai 196 derajat celcius di bawah nol. Kelak, siapa tahu, inti sel darah itu diperlukan. Yakni, ketika si bayi, setelah besar atau tua kelak, terkena penyakit.

Inti sel darah tali pusat tersebut bisa disuntikkan (ditransplantasikan) untuk mengatasi penyakitnya itu. Misalnya, kelak si bayi mengalami sakit liver seperti kakeknya. Maka, secara teoretis, tidak perlu lagi menjalani transplantasi. Cukup diatasi dengan inti sel darah tali pusat tersebut. (Lihat bagian 2 serial tulisan ini besok).

Karena itulah, Dahlan mengizinkan wartawan Jawa Pos dan fotografernya ikut masuk ke ruang persalinan di RS Surabaya Internasional ketika putrinya, Isna Fitriana, melahirkan bayi kembar itu Kamis lalu (9/7). Dengan begitu, mereka bisa melihat langsung proses pengambilan darah dari tali pusat tersebut.

Bahkan, wartawan Jawa Pos sudah mendampingi Isna sejak sehari sebelumnya. Sebab, untuk mengikuti program penyimpanan darah tali pusat itu, sang ibu harus menjalani serangkaian pemeriksaan sejak sehari sebelumnya. Tujuannya, terutama, melihat apakah darah sang ibu memiliki beberapa kelemahan. Misalnya, mengidap virus atau penyakit.

Informasi itu diperlukan untuk membandingkan dengan darah dari tali pusat bayinya. Lebih khusus lagi, apakah ada virus HIV/AIDS, hepatitis B dan C, cytomegalovirus (CMV), dan sifilis. ''Jika hasil pemeriksaan darah ibu tidak menunjukkan adanya penyakit tersebut, darah bayi bisa disimpan di bank darah,'' terang Hidayat, branch representative Surabaya PT Cordlife Indonesia, perusahaan penyimpanan inti sel darah tali pusat di Singapura. Artinya, jika darah ibu tercemar, bayinya juga mungkin mengidap penyakit tersebut. Dalam kondisi begitu, darah dari tali pusat bayi tidak bisa disimpan dalam bank darah.

Hari Kamis lalu itu, pukul 10.00, Isna mulai dibawa ke ruang operasi. Istri Martha Dinata itu memang akan melahirkan secara caesar. "Sebenarnya, saya ingin melahirkan secara alamiah saja. Tapi, saya sudah tidak kuat bergerak lagi," ujar Isna yang kini menjadi pengusaha mandiri itu. "Baru 36 minggu saja sudah seperti ini. Bagaimana kalau harus melahirkan pada minggu ke-40," tambahnya sambil terus berbaring. Kandungannya memang begitu besar sehingga tiap ke dokter pun dia harus pakai kursi roda.

Kemudian, setelah bayi lahir, memang diketahui berat masing-masing bayi mencapai 2,6 kg dan 2,7 kg. Dokter yang menangani adalah Prof dr Suhartono DS SpOG KFER, dokter spesialis kandungan yang juga konsultan fertilitas endokrin dan reproduksi yang juga membantu kelahiran Isna itu 27 tahun lalu.

Pukul 10.30, Isna sudah menjalani pembiusan lokal yang dilakukan oleh dr Hardiono SpAnKIC, spesialis anestesi. Terdengar jerit pelan dari mulut Isna ketika jarum disuntikkan ke tulang punggungnya. Perawat berusaha memegangi tubuh Isna yang diposisikan melengkung, seperti udang, agar tidak bergerak. ''Ditahan ya Mbak. Agak sakit,'' kata dr Hardiono.

Sesaat kemudian, Isna mengatakan kakinya sakit, namun tidak bisa digerakkan. ''Tidak apa-apa, itu memang efek obatnya,'' lanjut dr Hardiono. Beberapa menit kemudian, Isna terlihat sudah mengantuk.

Tidak lebih dari lima belas menit, Prof Suhartono, didampingi dr Hendra Sukma Ratsmawan SpOG, masuk ke ruang operasi. Prof Suhartono melakukan insisi (pembedahan) melintang sekitar delapan sentimeter pada perut Isna. Dengan menggunakan pisau, Prof Suhartono dan dr Hendra membuka perut Isna hingga sampai bagian rahim.

Sekitar pukul 11.02, lahirlah bayi pertama berjenis kelamin laki-laki yang beratnya 2.600 gram dan panjang 48 sentimeter. Dari situlah proses pengambilan darah tali pusat itu dimulai. Ketika dikeluarkan, tentu si bayi masih terikat dengan tali pusat yang menghubungkannya dengan plasenta (ari-ari). Prof Suhartono lantas menjepit tali pusat itu di dua tempat. Jarak antarjepitan sekitar 5 cm.

Selesai menjepit, Prof Suhartono lantas memotong tali pusat agar si bayi bisa diserahkan kepada dr Agus Harianto SpA (K), dokter anak yang akan memeriksa kondisi sang bayi.

Tidak sulit bagi dr Hendra melakukan itu. Dia mencari vena yang memang mudah dilihat karena berwarna biru dari sisa tali pusat yang masih terhubung dengan plasenta. Vena itulah yang dia coblos dengan jarum yang sudah terhubung dengan kantong plastik.

Ketika dr Hendra mengambil darah tali pusat dan dr Agus merawat bayi yang baru diputus tali pusatnya, Prof Suhartono mulai mengambil bayi kedua. Yakni bayi wanita yang beratnya 2.700 gram dengan panjang sama: 48 cm. Kepada bayi kedua ini, juga dilakukan proses yang sama. Yakni mengambil darah tali pusatnya sebanyak kira-kira 100 ml.

Agar darah yang bisa diambil cukup banyak, Prof Suhartono terlebih dulu memperbaiki posisi tali pusat agar tidak melintir. Prinsipnya memang sebanyak-banyaknya darah yang bisa diambil. Tentu tujuannya agar bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya inti sel darah tali pusat itu. Kian banyak inti sel yang bisa didapat, kian tinggi sukses yang bisa dicapai -seandainya kelak inti sel darah itu dipergunakan untuk memperbaiki organ-organ tubuh yang sakit. Karena itu, untuk memaksimalkan perolehan darah, Prof Suhartono sampai memijat pelan bagian vena hingga seluruh darahnya keluar tuntas.

Prof Suhartono mengatakan, pengambilan darah tali pusat harus dilakukan secepatnya. Sebab, ari-ari keluar paling lama empat menit setelah bayinya lahir. Nah, bila ari-ari sudah keluar, darah tali pusat akan mengering. ''Jadi, berkejaran dengan waktu. Sebelum ari-ari keluar, darah tali pusat sesegera mungkin diambil,'' terangnya.

Berapa banyak seharusnya darah tali pusat yang diambil? Prof Suhartono mengatakan, tidak ada batasan. ''Pokoknya, sebanyak mungkin. Agar sel inti yang disimpan juga tambah banyak,'' katanya. Namun, menurut literatur, darah tali pusat yang diambil sebaiknya lebih dari 50 ml. Dengan begitu, darah tersebut bisa diproses dengan mesin SEPAX, mesin pemisah sel inti dan bagian darah lainnya. Jika kurang dari 50 ml, SEPAX tidak bisa berputar.

Dengan demikian, kurang dari 50 ml pun masih bisa. Tetapi, pemrosesannya harus dilakukan secara manual. Dengan pemrosesan secara manual, tingkat keefektifan pemisahan sel inti dan bagian darah lainnya hanya 82 persen. Lain halnya bila menggunakan mesin SEPAX. Tingkat keefektifannya 96 persen. Ibarat jeruk, diperas hingga hanya sarinya.

Darah tali pusat tersebut lantas diberi label, berisi nama ibu dan identitas lengkapnya. Kemudian, dimasukkan dalam kantong plastik transparan. Selanjutnya, dimasukkan dalam kit yang telah disediakan. ''Darah tersebut akan diterbangkan dengan kurir khusus untuk bahan biomedis,'' kata Hidayat.

Karena itu, kotak berisi darah tersebut juga tidak akan melewati x-ray saat pemeriksaan di bandara. Paparan x-ray dikhawatirkan akan merusak struktur darah. Pihak kurir telah membuat sertifikat khusus mengenai hal tersebut. ''Sebelum 36 jam sudah harus sampai di bank darah Singapura,'' jelasnya.

Hidayat mengatakan, begitu sampai di Singapura, darah tali pusat akan menjalani serangkaian pemeriksaan. Yakni, bakteri, jamur, golongan darah dan rhesusnya, serta sel CD34+. Sel CD34+ merupakan bagian penting dalam prolif­erasi, produksi DNA agar menjadi jaringan.

Sama halnya dengan pemeriksaan darah ibu, darah tali pusat juga bebas dari bibit penyakit. Hidayat menuturkan, pemeriksaan atas darah tali pusat berlangsung dua kali. Sebelum dan sesudah darah tali pusat tersebut diproses. ''Penting untuk memastikan darah tidak tercemar,'' ujarnya.

Jika terjadi pencemaran, darah tidak bisa diberi antibiotik. Sebab, antibiotik tidak bisa menghilangkan endotoksin, komponen luar dari bakteri gram negatif. ''Bakterinya memang terbunuh oleh antibiotik. Namun, endotoksinnya tidak bisa. Endotoksin inilah yang bisa menimbulkan komplikasi pada tubuh bila suatu saat nanti sel inti darah tali pusat tersebut digunakan,'' lanjutnya.

Dalam kondisi tercemar, darah tali pusat tidak bisa digunakan lagi. Pihak Cordlife akan memberi tahu kliennya mengenai hal tersebut. Jika dalam waktu 30 hari tidak ada surat pemberitahuan dari klien, Cordlife secara otomatis akan membuang darah tercemar tersebut.

Kalau dinyatakan tidak tercemar, sel darah lantas diproses untuk diambil sel intinya saja. Pemrosesan darah tali pusat menggunakan triple bag. Tiga kantong darah dengan ukuran berbeda. Satu kantong besar untuk darah yang belum diproses dengan mesin atau manual. Setelah diproses, sel inti darah yang nanti disimpan di bank darah langsung mengalir ke kantong lebih kecil. Sisanya, bagian darah yang tidak terpakai, masuk ke kantong lain. Pemrosesan dengan triple bag itu meminimalkan kontaminasi saat pemisahan sel inti dari bagian darah lainnya.

''Setelah itu, sel inti darah tali pusat bisa langsung disimpan ke bank darah dengan suhu minus 196 derajat Celcius,'' jelas Hidayat.

Penyimpanan menggunakan tabung nitrogen. Bila sewaktu-waktu terjadi bencana alam, ada kemungkinan gas nitrogen habis. Dalam kondisi begitu, sel darah inti masih tetap aman hingga dua minggu. ''Sebelum dua minggu, gas nitrogen harus diisi lagi,'' terangnya. (bersambung/kum)

Selengkapnya...