29 September 2009

Rodrigo Roa Walikota Nyentrik 3


Rodrigo Roa ”Django” Duterte, Wali Kota Nyentrik dari Davao (3-Habis)
Laporan : Kardono S. Davao, Filipina

Bikin Killing Field Damai, Menang Pilwali Enam Kali

Sumber: Jawapos, Selasa 29 September 2009

Davao pernah mempunyai julukan seram: The Killing Field. Selama masa itu sering terjadi gesekan antara polisi dan tentara Filipina versus pemberontak komunis dan Moro. Selain itu, kota tersebut menjadi tempat yang nyaman (safe heaven) bagi kelompok kriminal.

---

DAVAO adalah kota yang pernah mengalami semua jenis kekerasan. Pengeboman, pembunuhan, perang antargeng, dan perang tentara dengan kelompok separatis. Tapi, itu sebelum 1991. ''Totally mess (benar-benar kacau),'' kata Attorney Melchor Y. Quintain, sekretaris kota (Sekkota) Davao, kepada Jawa Pos.

Menurut Quintain, saat itu kotanya "terbelah" menjadi pusat dua kelompok separatis. Davao Utara dikuasai milisi pimpinan Commander Parago, seorang jenderal perang dari NPA (New People's Army, kelompok militan komunis). Sementara sisi selatan menjadi basis kelompok pemberontak muslim Moro National Liberation Front (MNLF).

Maka, bisa dipahami jika Davao menjadi episentrum konflik di Pulau Mindanao. Tembak-menembak sering terjadi ketika polisi dan tentara masuk dan berusaha mengambil kontrol. ''Seperti laboratorium perang mini. Konflik bersenjata hampir tiap hari terjadi. Pengeboman berkali-kali terjadi,'' tutur Quintain.

Kondisi yang kacau juga menjadi "berkah" bagi para penjahat kelas kakap. Bahkan, sejumlah kriminal yang beraksi di Manila maupun Cebu (kota terbesar kedua di Filipina), selalu kabur ke Davao. Mareka aman karena boleh dibilang polisi dan tentara tak mempunyai jangkauan untuk masuk ke kota Davao.

''(Saat itu) kami tak bisa membangun apa-apa. Tiap hari hanya terdengar tembakan, orang tewas, tembakan, orang tewas. Kami tak bisa membangun,'' ujar Quintain.

Begitu angkernya kondisi Davao sehingga kawasan bisnis paling ramai saat itu (hingga sekarang), Magsasay Avenue, sudah senyap saat waktu magrib lengser. Kegiatan bisnis langsung berhenti. ''Warga tak ada yang berani keluar (rumah) lebih dari pukul 19.00. Urusan bisa gawat. Kalau tidak kena peluru nyasar, bisa kena rampok. Serbasalah,'' katanya.

Tak ada turis yang berani datang. ''Yang datang hanyalah orang-orang yang berkepentingan,'' imbuhnya.

Namun, segalanya berubah ketika Rodrigo Roa Duterte terpilih menjadi wali kota Davao pada 1988. Saat itu usianya 43 tahun. Dia memenagi pilwali tiga kali berturut-turut pada 1988, 1992, dan 1995. Karena aturan pemerintah Filipina (setelah tiga kali tak boleh lagi menjabat), pada 1998 Duterte menjadi anggota kongres di Manila hingga 2001. Dia kemudian maju dan memenangi pilwali lagi pada 2001, 2004, dan 2007.

Lewat tangan besi Duterte-lah Davao berubah drastis. Pendekatan yang dilakukan pria yang dijuluki majalah Times pada 2002 sebagai The Punisher tersebut memang berbeda. Alih-alih memerangi, Duterte merangkul kedua kelompok revolusioner (NPA dan MNLF). Bahkan, dia berani mendatangi "sarang" Commander Parago, mempertanyakan aktivitas yang mengganggu ketenteraman warga kota.

''Masalahnya ya ekonomi. Saya bilang ke mereka, saya tidak ada urusan dengan ideologi dan saya menghormatinya. Namun, saya meminta mereka membantu keamanan. Saya rekrut mereka sebagai keamanan,'' ungkap Duterte.

Begitu pula MNLF. Duterte lalu menjadikan Nur Misuari (chairman MNLF) sebagai sahabat. Semua kebutuhan dicukupi dengan satu syarat, Nur Misuari dan anak buahnya mau menjaga keamanan dan tak beraksi di Davao.

Untuk lebih mengambil hati mereka, Duterte membuat langkah kontroversial. Dia menjamin keamanan pentolan NPA dan MNLF dari penangkapan. ''Sepanjang mereka (NPA dan MNLF) tidak melakukan aksi kekerasan, semuanya aman di sini, malah akan saya fasilitasi,'' tuturnya.

Janji Duterte bukan sekadar isapan jempol. Pada 1990-an, ketika Nur Misuari tak puas dengan pemerintah Filipina dan mengobarkan pemberontakan bersenjata di Jolo, dia menjadi buron yang dicari penguasa di Manila. Anehnya, Duterte malah menyediakan rumah "persembunyian" untuk Nur Misuari di Davao. Tindakan ini bisa dianalogikan sama kontroversialnya dengan seorang wali kota di Indonesia menyediakan rumah dan safe house untuk pimpinan OPM.

Namun, Duterte tak ambil pusing. Dia pun menjadi pemrakarsa perundingan damai Misuari dengan pemerintah Filipina. Selama di Davao, Duterte menjamin keselamatan Misuari. Bahkan, ketika perundingan berlangsung, dia mengeluarkan aturan tegas: tidak boleh ada senjata yang masuk ke Davao. Tentara dan milisi MNLF pun harus menaatinya tanpa ke­cuali. ''Kalau mau perang, perang saja di hutan-hutan. Kalau di kota, harus berunding,'' tuturnya.

Di sisi lain, tentara dan polisi juga menghormatinya. Sebab, beberapa kali perwira tentara maupun polisi, termasuk seorang jenderal bintang satu, diculik NPA, Duterte-lah yang membebaskannya. Maka, pada 1991, boleh dibilang pria yang sebelumnya seorang prosecutor (jaksa penuntut umum) telah memegang dua kelompok bersenjata dengan baik. Merasa dicukupi kebutuhannya, bahkan dicarikan pekerjaan, kelompok-kelompok revolusioner itu pun "patuh". Secara tak langsung, Duterte sukses melakukan deradikalisasi kelompok militan. Sesuatu yang masih sangat sulit dilakukan di Indonesia.

Selanjutnya, Duterte tinggal menangani bandit dan kriminal jalanan. Ini tak terlampau sulit. Dia mempunyai banyak sumber melimpah ruah untuk melakukan "pembersihan" tersebut. Yakni, orang-orang dari NPA dan MNLF yang bisa dipekerjakan. Tentu saja dengan diam-diam. Sebab, sampai saat ini Duterte tetap tak mau dikaitkan dengan upaya "pembersihan" tersebut.

Selain melakukan pembersihan, Duterte menegakkan hukum secara ketat. Yang terbaru, Davao mengeluarkan regulasi lalu lintas. Untuk keamanan, seorang pengendara sepeda motor harus memakai helm full face dan sepatu. Sepeda motor juga tak boleh dimodifikasi macam-macam yang membahayakan. Seorang staf KJRI di Davao pernah terkena tilang gara-gara tak mengenakan sepatu saat mengendarai sepeda motor. Dia pun harus membayar denda 500 peso (sekitar Rp 100 ribu).

Penegakan yang dilakukan Duterte mendapat respons masyarakat. Dari yang semula chaotic, masyarakat Davao kini adalah masyarakat yang tertib. Bar dan tempat dugem pun sampai harus membuat ruang khusus merokok, karena memang dilarang merokok di dalam gedung dan ruang publik. Juga, seseorang tak bisa membuka pintu taksi dari samping kiri (Filipina menggunakan jalur kanan), karena itu sudah merupakan aturan -yang didasarkan logika memang berbahaya membuka pintu dari samping kiri pada lajur kanan.

Hasilnya adalah sebuah ledakan ekonomi di Davao. Kota yang kini berani mengklaim sebagai kota "teraman di Asia Tenggara" tersebut pun semakin makmur.

Kalau pada 1991 hanya ada satu mal, kini Davao memiliki enam mal besar-besar di penjuru kota. Dua mal lagi segera menyusul diresmikan. Selain itu, ada 40 universitas di Davao yang siap memasok SDM terdidik untuk menggerakkan laju ekonomi.

Namun, di atas semua itu, yang paling penting kota ini mampu membuat banyak turis mancanegara datang. Sepanjang 2008, setiap bulan tercatat sekitar 4.000 turis datang ke Davao. "Seperempat di antaranya warga Korea," kata kepala Dinas Pariwisata Davao.

Selain dari devisa yang dihasilkan oleh 200 ribu buruh migran Filipina asal Davao di berbagai negara, ekspor buah serta ikan, para turis mancanegara inilah yang membuat ekonomi Davao semakin maju pesat. Ini semua berkat dua kata kunci Duterte dalam menjalankan pemerintahannya: Peace and Order. Damai dan Tertib. (el)



Selengkapnya...

28 September 2009

Rodrigo Roa Walikota Nyentrik 2


Rodrigo Roa ''Django'' Duterte, Wali Kota Nyentrik dari Davao (2)
Buka Praktik Curhat Seminggu Tiga Kali

Sumber: Jawapos, Senin 28 September 2009

Rodrigo Roa Duterte adalah wali kota dengan karakter yang sangat ''jalanan''. Davao yang diklaimnya sebagai kota terluas di dunia dia atur sebagaimana mengatur sebuah gang. Banyak persoalan diselesaikan dengan model street justice. Davao kini jadi kota termakmur di Mindanao, bahkan Filipina. Semangat begitu mungkin bisa ditiru dikit-dikit pejabat publik di Indonesia.

Laporan : Kardono S. Davao, Filipina

---

RUANG ''praktik curhat'' Duterte berbentuk memanjang, kira-kira berukuran 6 x 10 meter. Suasananya persis dengan ruang tunggu dokter. Ada kursi panjang dan orang-orang yang hendak menyampaikan unek-unek duduk berjejer menunggu giliran. Di depan para pengantre ada sebuah meja panjang yang diisi tiga orang. Yang duduk di tengah tentu saja Rodrigo Roa ''Django'' Duterte, city mayor Davao. Dua orang lainnya bergantian. Kadang deputinya, kadang kepala dinasnya. Bergantung situasi.

Itu sangat berbeda dengan tatap muka langsung antara penguasa dan rakyat model kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) zaman Pak Harto. Itu adalah forum tanya jawab Duterte sebagai wali kota dengan warga, tanpa rekayasa dan dilakukan secara rutin. Di forum itu Duterte mendengar langsung keluhan, aduan, protes, dan semacamnya dari masyarakat, lalu mencarikan penyelesaiannya. Solusi itu sebisa mungkin juga diupayakan secara langsung oleh Duterte. Masyarakat bebas mengadukan semua persoalan. Buruknya pelayanan publik, persoalan sosial, masalah pribadi dalam rumah tangga, atau apa pun ke sang wali kota.

Duterte melakukan itu di City Hall of Davao setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Dia buka ''praktik curhat'' mulai pukul 13.00 hingga selesai -biasanya selesai paling cepat pukul 19.00.

''Pada Selasa dan Kamis, saya biasanya ke daerah. Ya seperti ini, mendengarkan langsung keluhan masyarakat,'' kata sang wali kota.

Davao adalah sebuah kota yang sangat luas -Duterte mengklaim kota itu terluas di dunia. Luasnya lebih dari 2.000 km persegi. Jawa Pos pergi dari ujung selatan ke timur, juga selatan ke barat, menghitung jarak yang ditempuh adalah 50 km. Jadi, tak semua warga bisa mencapai kota untuk sekadar mengeluh.

Macam-macam yang diadukan, mulai kesulitan bayar bill rumah sakit, buruknya jalan di kampung, orang yang mau naik haji tapi tak punya uang, hingga ke layanan publik. Saat Jawa Pos melihat secara langsung public complaint tersebut pada Rabu (23/9), Duterte tengah mendengarkan pengaduan seorang wanita yang suaminya melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada dirinya. Mendengar itu, Duterte langsung memanggil Attorney Melchor Y. Quintain, city legal office-nya, dan meminta dia mengambil langkah-langkah hukum untuk menjaga sang istri dari keke­rasan suami. Selain itu, Duterte meminta Quintain segera memanggil sang suami untuk membahas masalahnya. Kepada si perempuan, Duterte juga meminta untuk segera menyelesaikan masalah internalnya.

Hal itu menarik karena jarang-jarang ada pejabat publik yang levelnya lebih tinggi daripada gubernur mau berhubungan langsung dengan warga yang sedang dirundung masalah. Sistem pemerintahan dalam negeri Filipina memang unik. City mayor adalah pejabat yang langsung bertanggung jawab kepada presiden, sedangkan gubernur bertanggung jawab kepada Mendagri. Gubernur hanya mengepalai kota-kota kabupaten. Bukan kota madya. Di Mindanao, ada empat daerah yang dikepalai city mayor. Yaitu, Davao, General Santos, Kagayan, dan Zamboanga.

Sungguh menyenangkan rasanya melihat pejabat setingkat di atas mau mendengarkan langsung dan menyelesaikan keluhan masyarakat. Berbeda dengan di Indonesia, yang kebanyakan pejabatnya hanya menyediakan kalimat: ya, aspirasi Anda kami tampung, nanti kami selesaikan... Tak jelas entah kapan penyelesaiannya.

Kasus yang dilakukan Duterte juga termasuk masalah-masalah finansial dalam rumah tangga. ''Tiap hari ada saja masyarakat kurang mampu yang terbelit masalah keuangan. Misalnya, tak mampu membayar biaya rumah sakit,'' katanya. Terhadap problem jenis itu, Duterte berusaha membantu secara langsung. ''Tiap hari kami menganggarkan 500 ribu peso hingga 700 ribu peso (sekitar Rp 100 juta-Rp 140 juta). Dana itu dari anggaran departemen sosial kami. Begitu sudah sampai 700 ribu peso kami stop. Pemohon yang belum kebagian hari itu bisa datang lagi besok,'' lanjut Duterte.

Apa yang membuat dia melakukan itu? Duterte mengatakan, itu adalah konsekuensi pilihan langsung. ''Mereka memilih saya secara langsung dan saya juga harus mendengarkan mereka langsung. Bila ada apa-apa, masyarakat tentu pengin mengadu langsung ke wali kota untuk segera diselesaikan. Kalau saya menjadi masyarakat, kalau ada apa-apa, saya pasti juga ingin langsung mengadu ke penentu keputusan,'' ucap sosok yang tak suka basa-basi itu dengan suara keras.

Gaya Duterte memang tak lazim. Namun, dia berhasil menyenangkan rakyatnya. Indikator ekonomi memang kurang menggembirakan. Pendapatan rata-rata masyarakat Davao sekitar Rp 1 juta per bulan, dengan harga bensin fluktuatif mengikuti pasar dunia (di kisaran Rp 7.300 per liter). Dua hal yang seharusnya membuat masyarakat Davao hidup dalam kemiskinan.

Namun, itu tak terjadi. Rakyat Davao tergolong tak kekurangan dan merupakan yang paling makmur di seantero Mindanao. Itu terjadi karena Duterte menyiapkan banyak jaring pengaman sosial. Angkutan publik, misalnya. Untuk jeepney (semacam angkot, Red), dengan harga bensin Rp 7.200, tarifnya hanya Rp 1.400. Untuk anak sekolah, warga sepuh, dan orang cacat malah hanya cukup membayar Rp 500. Begitu pula taksi, tarifnya sangat murah. Dengan Rp 20 ribu saja, Anda bisa bepergian dari ujung Davao ke ujung lainnya. Itu masih ada diskon pula untuk senior citizen dan orang cacat. ''Kami memang menyiapkan anggaran besar untuk kepentingan sosial. Jeepney dan taksi memang kami subsidi,'' tuturnya. Subsidi untuk taksi diberikan ketika membeli bensin dan langsung mendapat potongan tiap liter.

Saya membatin, bila diterapkan di Indonesia, pasti akan banyak penyalahgunaan. Angkot dan taksi bisa datang ke SPBU berkali-kali untuk isi bensin, tapi kemudian ditap dan dijual lagi ke pengecer. Namun, itu tidak terjadi di Davao karena Duterte meminta para sopir jujur. ''Kalau ketahuan curang, kami akan menindak secara tegas,'' paparnya. Sanksinya adalah pelarangan menyopir selama satu bulan atau bahkan hak mengemudinya dicabut, bila pelanggarannya berat.

Spanduk-spanduk di terminal yang bertulisan Be honest, even if the others are not (Jujurlah, meski yang lain tidak) ternyata bukan slogan kosong. Tak ada sopir yang memutar-mutarkan penumpang dulu supaya argo banyak. Bahkan, sopir mengembalikan barang penumpang yang tertinggal adalah cerita sehari-hari di Davao. Ketika saya bertanya ke Mao, taksi yang saya tumpangi, bagaimana cara mengontrol kejujuran, ternyata parameternya sederhana. ''Anda tinggal mencatat nomor lambung kami dan mengadukan ke public complaints,'' tandasnya. Duterte dikenal sangat menghargai para turis. Dia akan langsung marah ketika ada turis yang mengadu karena dicurangi sopir. Dan, para sopir sangat takut bila Duterte marah.

Selain itu, Davao bercita-cita ingin menjadikan Davao kota pro lingkungan. Makanya, penerapan kawasan terbatas merokok sangat ketat. Di Davao, larangan merokok bisa dibilang lebih ketat daripada di Singapura. Kalau masih berada di bawah atap (bahkan bila berada di bawah halte yang ada atapnya kecil, Red), tak boleh merokok sama sekali. Juga di dalam kamar hotel. Termasuk di taman kota yang notabene adalah kawasan terbuka. ''Kami ingin kota ini menjadi aman dan nyaman bagi siapa pun,'' tandasnya.

Duterte juga terbantu dalam mengelola kotanya. Karena yang menjadi wakil wali kota adalah Sarah Duterte, anak sendiri. Di Davao, wakil wali kota otomatis menjadi ketua city council (dewan kota, seperti DPR kota, Red). Belum lagi, Paulo Duterte, anaknya yang satu lagi, juga menjadi anggota dewan kota. Jadi, kebijakan Duterte biasanya langsung lolos ketika diajukan di dewan kota.

Tak heran bila tagline kota Davao adalah ''The most livable place in Philippines''. Dengan penataan seperti itu, Davao terus menggeliat dengan pertumbuhan 4,9 persen hingga 5,7 persen tiap tahun (menurut Department of Budgeting and Management Filipina). Menurut seorang diplomat yang tak mau disebutkan namanya, delapan tahun lalu Davao masih lebih kecil daripada Manado. ''Tapi, kini sudah menyamai Makassar,'' ucapnya. Makanya, Davao memang menjadi tempat yang livable. Udara segar, di seluruh sudut kota tertata apik, jalur hijau yang ditumbuhi tanaman (meski belum sebagus Surabaya), dan para sopir transportasi publik yang jujur. (lea)

Selengkapnya...

Rodrigo Roa Wali Kota Nyentrik 1

Rodrigo Roa ''Django'' Duterte, Wali Kota Nyentrik dari Davao, Filipina (1)
Warning Penjahat Melalui TV, Punya Eksekutor Khusus

Sumber: Jawapos, Minggu 27 September 2009

Masih ingat -atau setidaknya pernah dengar- film koboi klasik pada 1970-an, Django, yang dibintangi Franco Nero? Rodrigo Roa Duterte adalah sosok wali kota yang memimpin Davao, Filipina, dengan gaya seperti koboi jagoan itu. Wilayah yang tadinya dipenuhi peperangan antarkelompok revolusioner dan keributan antarbandit di bawah kekuasaannya kini aman.

Kardono Setyorakhmadi, Davao

---

PEACE and Order. Damai dan tertib. Dua kata itu merupakan kredo Duterte dalam mengelola kotanya. Dia merangkul banyak pihak, namun sangat tegas memberesi para penjahat yang membuat kota menjadi tak aman. ''No security, no business. No business, you cannot pay anything. People can not go to school, and the economy stuck,'' tandasnya. Ba­ginya, keamanan adalah investasi yang sangat mahal.

Duterte yang sehari-hari selalu bercelana jeans, membagi ancaman keamanan di wilayahnya ke dalam empat hal. Yaitu, ancaman keamanan dari kelompok revolusioner (MILF, MNLF, NPA, Abu Sayyaf), konflik antarsuku, tindakan semena-mena aparat, dan para bandit. Dia sangat serius menangani kasus-kasus itu. Beginilah cara dia menangani.

Yang pertama adalah kelompok revolusioner. Alih-alih memerangi, Duterte malah merangkul mereka. ''Saya tidak memerangi kelompok revolusioner. Mereka punya idealisme sendiri yang saya hargai,'' ucapnya.

Untuk itu, Duterte mempersilakan kelompok revolusioner bertemu dan berkumpul tanpa takut ditangkap. Syaratnya cuma satu, Duterte meminta kelompok itu tak beraksi di Davao. Hasilnya, cespleng.

Tak pernah ada aksi kekerasan di Davao oleh kelompok revolusioner kendati Mindanao adalah daerah yang bergolak.

Kedua adalah konflik antarsuku. Di Filipina, itu adalah masalah serius. Untuk mengatasi masalah itu, Duterte mengangkat deputi dari tiap suku yang ada, kemudian meminta mereka ''menertibkan'' suku masing-masing. Dia juga cukup bijak bila ada tanda kerusuhan. ''Selain meminta deputi, saya mengirimkan tentara dan polisi. Tapi, saya lihat dulu apa agamanya,'' urainya.

Bila konflik terjadi di suku beragama Islam, Duterte mengerahkan tentara dan polisi Islam untuk melakukan pendekatan. Karena itu, meski di kota lain sering terjadi konflik suku, tak sekali pun itu terjadi di Davao.

Ketiga adalah soal aparat yang sewenang-wenang. Duterte sangat keras terhadap masalah itu. Pernah, Maret lalu, dia menerima pengaduan dari seorang warga. Pelapor mengaku dipukuli seorang polisi ketika sama-sama mabuk di sebuah kelab malam.

Tanpa banyak cingcong, di hadapan pelapor, Duterte menelepon chief of Davao City Police untuk mengirimkan anggota yang mokong itu ke kantornya. Dia kemudian menutup semua ruangan dan menanyakan kepada pelapor diapakan saja.

''Saat itu dia (pelapor) mengatakan bahwa kepalanya dipukul. Karena itu, langsung saya pukul kepala polisi itu,'' ucapnya, lantas menirukan gerakan memukul. Kemudian, Duterte bertanya kepada pelapor lagi dan dijawab ditendang. Duterte pun menendang si polisi itu.

Benar-benar Django! Warga yang melapor puas, polisi itu kapok. Setelah berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatan buruknya, si polisi nakal dipulangkan. ''Di sini, saya berkuasa. Polisi pun takut kepada saya,'' katanya, sedikit jemawa.

Duterte memang tak omong kosong. Karena sistem pemerintahannya, Davao City Police tak hanya bertanggung jawab kepada Philippines National Police (PNP), tetapi juga ke penguasa daerah. Sebab, meski gaji polisi berasal dari pemerintah pusat, anggaran operasional semua dari pemerintah daerah. Bahkan, PNP tak punya kewenangan menempatkan seorang polisi menjadi Kapolwil. PNP hanya mengajukan nama-nama untuk kemudian dipilih oleh city mayor. Bila Duterte merasa tak ada yang cocok dengan nama yang diusulkan, PNP harus mencari nama lain.

Namun, yang paling fenomenal adalah cara Duterte berurusan dengan para pelaku tindak kriminal yang beraksi di jalanan. ''I am very strict. They must pay for the crimes they committed,'' tegasnya. Kebijakan yang diambil simpel saja: sikat habis. Meski tak pernah mengungkapkan itu secara formal, kebijakannya adalah di-810 (tembak mati untuk istilah polisi Indonesia, Red).

Yang menjadi sasaran adalah para pelaku kriminal yang sudah beberapa kali masuk penjara, penjahat kakap, dan terutama para pengedar narkoba. Duterte benci setengah mati terhadap para pengedar narkoba. ''Karena yang menjadi korban bukan hanya penggunanya, tapi juga masyarakat,'' ucapnya dengan nada geram.

Karena itu, tak heran bahwa dalam beberapa kali wawancara TV, seorang Atorney yang juga merangkap City Administrator, Melchor Y. Quintain, sering membawa foto para buron dan memberikan peringatan. ''Orang ini sudah beberapa kali melakukan kejahatan berat. Saya rasa, hidupnya tak lama lagi. Bisa jadi dibunuh oleh musuh gangnya. Tapi, ini saya bercanda lho,'' kata Quintain.

Meski ada kata ''saya ini bercanda'' di akhir kalimat, siapa pun tahu bahwa Quintain tak sekadar bercanda. Kata itu lebih bermakna pengingkaran secara formal. Tapi, kata-katanya jelas merupakan peringatan. Dan, benar, berselang tiga hari sejak siaran TV itu, orang tersebut ditemukan tewas tertembak di kota General Santos.

Itu terjadi karena ada yang dinamakan satu kelompok misterius bernama DDS (Davao Death Squad). Kelompok itulah yang melakukan ''pekerjaan kotor'' tersebut. Namanya itu disebarkan dari mulut ke mulut dan secara formal kelompok ini sebenarnya tak pernah ada. Tak ada satu pun pejabat resmi Duterte's Administration yang mengakui itu. Duterte sendiri ketika saya tanya soal DDS mengelak. ''Saya tidak tahu itu. Lebih baik kita bicara soal lain,'' jawabnya.

Menurut salah seorang pejabat kota yang tak mau disebut namanya, DDS memang ada dan sifat keanggotaannya sangat cair. ''Nunggu order saja. Ada yang dari militer, polisi, dan juga orang sipil. Di sini banyak orang sipil yang jago tembak,'' tuturnya. Menurut dia, yang biasa dikontak ada 50-100 orang. Bayarannya 5 ribu peso per kepala.

Karena itu, sejak dua tahun lalu -wacana soal DDS kali pertama muncul-, tak ada ampun bagi para penjahat di Davao. Sebelumnya memang sudah ada petrus, tapi belum sesistematis seperti dua tahun terakhir ini. Hingga kini, DDS masih terus beroperasi.

Masyarakat Davao sudah paham bahwa ketika tiba-tiba ada seorang pria mendekat, kemudian menembak kepala preman atau pengedar narkoba, pria itu adalah anggota DDS. ''Bahkan, tak jarang di tengah keramaian sekalipun pada siang bolong,'' ucap Jerry, warga Indonesia yang sudah 10 tahun tinggal di Davao.

Menurut Jerry, tiap bulan lebih dari 20 penjahat tewas. ''Lihat saja di koran. Hampir tiap hari ada penjahat yang tewas. Kadang, sekali tembak bisa lima orang,'' urainya.

Menariknya, salah seorang murid Sekolah Indonesia Davao (SID) pernah diambil oleh DDS saat di mal. Dia sudah dibawa ke tempat sepi. Namun, ketika akan mengeksekusi, anggota DDS itu mencocokkan lagi fotonya. Karena memang bukan yang dimaksud, anggota DDS tersebut meminta maaf, memberi dia uang sebagai tanda penyesalan, dan kemudian mengantarkan kembali ke tempat dia diambil.

Semua warga yang saya temui mengatakan tahu soal DDS. ''Katanya digaji sendiri oleh Mayor. Cuma, tidak ada yang tahu siapa mereka,'' kata Joseph, sopir taksi yang saya tumpangi.

Dia menyatakan senang dengan adanya DDS. ''Bagi orang baik-baik, DDS itu malah membantu. Jadi, kami tak ada masalah dengan adanya DDS,'' tuturnya.

Namun, tak semua sependapat dengan Joseph, terutama Komisi HAM Filipina. Agustus lalu Komisi HAM Filipina mendatangi Duterte dan mengklarifikasi atas disappearance in person (penghilangan orang). Sebab, sejak Januari lalu, komisi ini mendapat pengaduan dari keluarga penjahat yang di-810, yang merasa bahwa kejahatan yang dilakukan anggota keluarganya tak sepadan dengan hukuman mati.

Tapi, di hadapan komisi itu, Duterte tetap menyanggah dan menyatakan tak tahu-menahu soal disappearance tersebut. Tentu saja, mana ada pejabat yang mengaku melakukan pekerjaan kotor tersebut. Bukan itu saja. Goyangan terhadap wali kota yang telah memimpin selama 15 tahun tersebut juga merambah ke bidang lain. Duterte juga dibidik lawan-lawan politiknya atas tudingan kolusi. Sejumlah proyek besar kota, kabarnya, jatuh ke tangan keluarganya.

Namun, apa pun tudingan lawan politik dan komisi HAM, banyak warga yang merasa senang kepada Duterte. ''Dia wali kota yang baik dan tegas. Kami senang kepadanya,'' klaim Joseph. (lea)

Selengkapnya...

04 September 2009

Mantan Pelatih Indonesia yang Kini Tangani India


Sumber: Jawapos, Kamis 3 September 2009

Atik Jauhari, Mantan Pelatih Indonesia yang Kini Tangani India

Lelah Berpetualang Terus

Beberapa tahun terakhir, bulu tangkis India maju pesat. Puncaknya, Saina Nehwal sanggup menjadi juara Indonesia Super Series 2009. Faktor Atik Jauhari tidak bisa dianggap sebelah mata.
---

INDIA menorehkan sejarah dalam Indonesia Terbuka 2009. Gelar tunggal wanita jatuh ke tangan pebulu tangkis negara yang beribu kota di New Delhi tersebut, Saina Nehwal. Pebulu tangkis peringkat ketujuh dunia itu mampu menundukkan Wang Lin asal Tiongkok. Sayang, di Kejuaraan Dunia 2009 di negeri sendiri, India gagal mendapatkan gelar.

Kendati begitu, harus diakui bahwa India kembali menjadi kekuatan bulu tangkis dunia. Sebelumnya, negeri tersebut pernah diperhitungkan di era 1980-an lewat Prakash Padukone dan awal 1990-an melalui Pullela Gopichand.

Bulu tangkis India maju salah satunya berkat jasa Atik Jauhari. Mantan pelatih Pelatnas Cipayung itu adalah pelatih kepala di pelatnas India. Sejak 19 Agustus 2008, pria kelahiran Bandung, 14 Agustus 1949 itu membesut para pebulu tangkis terbaik di India. Pelatnas di India dilakukan di dua tempat, Bangalore dan Hyderabad.

Atik mengepalai pelatnas di Hyderabad di Pullela Gopichand Badminton Academy. Di Bangalore, pelatnas dilangsungkan di Prakash Padukone Badminton Academy. Dua akademi itu milik dua legenda bulu tangkis India, Pullela Gopichand dan Prakash Padukone, yang menyumbangkan gelar juara All England bagi negaranya.

"Di sini, saya menangani semuanya. Mulai membuat program sampai mengawasi kemanjuan anak-anak satu per satu," jelas Atik saat ditemui di tempat tinggalnya, Ridge Hills Apartment, Hyderabad.

Namun, Atik tidak sendiri. Di sana dia memiliki asisten dari Indonesia, Hadi Idris. Hadi bertugas menjadi multifeeder bagi para pebulu tangkis India.

Atik menyatakan, kontraknya habis pada Desember tahun depan, usai dihelatnya Commonwealth Game 2010 (Pesta Olahraga Persemakmuran). Kebetulan, multieven antarnegara persemakmuran Inggris itu dilangsungkan di India.

"Sebelum kontrak saya habis, saya menargetkan mengantarkan Saina masuk jajaran lima besar. Tahun lalu, Saina berada di urutan ke-15, sekarang sudah keenam. Artinya, tugas saya tinggal sedikit," urainya. Setelah kontraknya dengan BAI (Asosiasi Bulu Tangkis India) habis, Atik mengatakan tidak akan memperpanjangnya, meski sudah ada omongan-omongan kontraknya. "Saya sudah lelah terus bertualang ke luar negeri. Saya ingin menghabiskan masa tua di kampung halaman," tuturnya.

Sebelum melatih India, selama dua tahun (2006-2008) suami Neng Titi itu menjadi pelatih di Thailand dan memoles Ponsana bersaudara (Boonsak dan Salakjit). Sebelum itu, Atik memoles para pemain Pelatnas Cipayung pada 2004-2006.

Di Pelatnas Cipayung, tugasnya melatih para pemain ganda wanita. Di antaranya, Gresyia Polii/Jo Novita. Sebelum kembali ke pelatnas, Atik melatih para pemain Swedia. Dia berada di Swedia pada 1999-2003.

Awal karir Atik sebagai pelatih memang diawali di Pelatnas Cipayung pada 1974-1999. Lalu, apa yang membuat Atik akhirnya melatih di luar negeri? Atik tak menampik bahwa alasan utamanya melanglang ke luar negeri adalah penghasilan. "Saya butuh banyak uang untuk membiayai anak-anak saya. Terus-terang, di luar negeri hasilnya lebih baik. Tapi, kapan pun PBSI membutuhkan bantuan, saya pasti bersedia. Itu adalah komitmen saya sebagai insan bulu tangkis Indonesia," jawab ayah empat anak tersebut.

Dia mengatakan, negara yang membuatnya terkesan saat menjadi pelatih adalah Swedia. Tak heran, dia bertahan di sana sampai empat tahun. Anak terakhirnya, Yanuar Anas, bahkan tinggal dan berkuliah di Negeri Skandinavia tersebut.

Menurut Atik, federasi bulu tangkis Swedia cukup puas dengan kinerjanya. Sampai-sampai mereka menawari Atik dan keluarganya untuk menjadi warga negara di sana. "Saya tidak menerima tawaran itu. Sebab, bagaimanapun saya masih cinta Indonesia," ujarnya.

Atik sebenarnya tidak menyangka akan menjadi pelatih keliling. Karirnya sebagai pelatih bisa dibilang bermula dari kecelakaan. Pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an, Atik adalah pebulu tangkis nasional. Terakhir, dia berpasangan dengan Christian Hadinata pada 1971. Saat itulah musibah tersebut terjadi.

"Waktu latihan, smes Christian tidak sengaja mengenai mata saya. Akibatnya, mata saya tidak begitu awas lagi. Pada 1974, saya coba main lagi, tapi tidak bisa maksimal. Akhirnya, saya belajar melatih," lanjutnya.

Dia mengatakan, selama melatih di pelatnas, anak didiknya yang paling membuatnya terkesan adalah ganda Ricky Subagja/Rexy Mainaky dan Chandra Wijaya/Tony Gunawan. Menurut Atik, dua pasangan itu merupakan ganda pria terbaik Indonesia sepanjang masa. "Mereka sangat berbakat. Tapi, mereka juga giat berlatih. Itu membuat mereka semakin baik," tegasnya. (m. dinarsa kurniawan/diq)

Biasa Borong Beras

Sumber: Jawapos, Kamis 3 September 2009

SETIAP tempat pasti memiliki budaya dan situasi yang berbeda. Karena itu, setiap kali berpindah tempat, Atik Jauhari harus menyesuaikan diri dengan budaya setempat.

Dia menyatakan, kali pertama melatih di luar negeri, yaitu di Swedia, dirinya butuh waktu cukup lama untuk beradaptasi. Sebab, kondisinya memang sangat berbeda. Terutama suhu yang jauh lebih rendah daripada di Indonesia. Apalagi, di sana ada musim salju.

Hal serupa dialami di India, tempat Atik kini melatih. Dia juga harus beradaptasi. Adaptasi itu lebih banyak dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan budaya di negeri yang dilalui aliran Sungai Gangga tersebut. "Mengenai masalah iklim, tidak jauh berbeda dari Indonesia. Jadi, nggak ada masalah," katanya.

Mengenai budaya, Atik harus bekerja ekstrakeras untuk menyesuaikan diri. Mayoritas penduduk Swedia bukan muslim seperti di Indonesia. Warna religius di negara itu juga tidak begitu terasa. Kondisi tersebut berbeda dari India yang sangat kental dengan pengaruh Hindu dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya. Apalagi, penduduk India memiliki karakter unik. "Di sini, semua persiapan serba mendadak. Awalnya, stres. Tapi, lama-lama bisa melatih kesabaran," ungkapnya.

Salah satu contohnya dialami Atik saat mempersiapkan tim jelang Makau Gold Grand Prix bulan lalu. Saat itu, hanya sehari sebelum keberangkatan, dia diberi tahu bahwa dirinya akan dibrangkatkan ke Makau. Tapi, dia batal berangkat. Sebab, dia masih tersandung urusan administrasi di New Delhi.

Atik dan istrinya yang ikut diboyong ke India cukup maklum dengan budaya India. Tapi, lidah mereka belum bisa menerima masakan India. Dia menuturkan bahwa masakan India terlalu banyak mengandung rempah-rempah. Dia juga tidak cocok dengan beras India yang disebut Basmati.

"Kalau lagi ke luar negeri, seperti Tiongkok, Makau, atau Vietnam, saya selalu borong beras. Kadang-kadang, saya titipkan anak-anak biar bisa bawa banyak," paparnya.

Apalagi, saat sedang berkunjung ke Indonesia. Bahan makanan adalah barang yang paling banyak dibawa ke India. Saat berkunjung ke apartemennya, memang barang yang terlihat adalah bahan makanan dari Indonesia. Misalnya, kerupuk udang, terasi, dan kopi toraja. (nar/diq)


Hafal Seratus Lagu

Sumber: Jawapos, Kamis 3 September 2009

KESEHARIAN Atik Jauhari memang kerap dihabiskan di lapangan bulu tangkis. Tapi, ketika tidak sedang melatih, dia banyak menghabiskan waktu untuk bernyanyi sembari bermain gitar yang menjadi hobinya.

Atik mengatakan, hobi bermain gitar dimulai sejak menjadi pebulu bulu tangkis di pelatnas. "Waktu saya masuk pelatnas, di kamar saya selalu ada gitar yang saya beli di Guangzhou. Selain saya hobi nyanyi, waktu itu di pelatnas tidak ada hiburan," kenang Atik.

Kala menjadi atlet, dia menyatakan baru berpisah dengan gitar ketika harus pergi ke luar negeri untuk mengikuti turnamen. Atik belajar bermain gitar dan bernyanyi secara otodidak.

Masa mudanya, kata Atik, merupakan zaman keemasan para musisi rock n roll. Tak heran, Atik hafal lagu-lagu The Beatles atau Elvis Presley. Untuk musisi Indonesia, Atik menyukai Broery Marantika, Bimbo, dan Ebiet G. Ade.

"Saya hafal sekitar seratus lagu Indonesia maupun Barat," ujar Atik sambil menyetel gitar akustiknya.

Selain sebagai pelatih bulu tangkis andal, ternyata, Atik sangat berbakat menjadi penyanyi. Suaranya merdu dan lantang dengan vibrasi yang menggetarkan. Saat ditemui di apartemennya di Hyderabad, India, dia membawakan beberapa lagu. Di antaranya, Angin Malam dari Broery Marantika dan Melati dari Jayagiri milik Bimbo.

Dengan modal suara merdu, Atik mengatakan sering didaulat untuk menyanyi setiap kali Asosiasi Bulu Tangkis India (BAI) mengadakan acara. Tidak hanya di India, di tempat-tempat lain dia melatih, Atik juga kerap menjadi penghibur dadakan.

Dia memang piawai bernyanyi dan bermain gitar. Bakat seni itu menurun kepada anak-anaknya, terutama anak bungsu, Yanuar Anas, 23. Atik mengatakan, Yanuar sempat memiliki band dan rekaman di Swedia.

Selain bernyanyi dan bermain gitar, hobi lain Atik adalah memasak dan meminum kopi. Minimal dua cangkir kopi selalu dia minum setiap hari. Di apartemennya, dia juga selalu menyediakan kopi. Saat itu, Atik bilang di dapurnya ada dua macam, yakni kopi Toraja dan kopi Italia. "Kopi membuat saya lebih bersemangat,'' ucapnya. (nar/diq)
Selengkapnya...

Dokter Lo Siaw Ging, Tak Sudi Berdagang

Kamis, 16 Juli 2009
Laporan wartawan KOMPAS Sonya Helen Sinombor

Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.

Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.

Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.

Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan ”biasa saja”. Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.

Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, ”Memangnya kamu sudah punya uang banyak?”

Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. ”Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima,” ucapnya.

Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. ”Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa,” katanya.

Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.

Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.

Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? ”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan.”

Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.

Kerusuhan 1998

Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif ”populer”. Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.

”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya.

Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,” ujarnya.

Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.

Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.

”Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat,” cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.

Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.

”Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?” ucapnya.

Anugerah

Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.

Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. ”Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang tarif,” kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.

Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.

Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. ”Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana,” ujarnya.

Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. ”Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang,” katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.

Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.

”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?” ujar Lo.

Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, ”Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan.”

DATA DIRI

• Nama: Lo Siaw Ging
• Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934
• Istri: Maria Gan May Kwee (62)
• Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995
• Profesi: - Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo


Selengkapnya...