19 Oktober 2009

Perkembangan Turisme Kota Beijing 3

Dahlan Iskan: Pesatnya Perkembangan Kota Beijing (3-habis)
Tarif Parkir Akan Dinaikkan Setinggi Yao Ming

Sumber: Jawapos, Sabtu 17 Oktober 2009
(http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=95627)


MELEDAKNYA pembangunan kota Beijing memang juga membawa sisi buruk: kemacetan total di jalan-jalan raya. Sangat melelahkan. Dari Beijing Hotel ke lapangan basket di Fuxing Lu (untuk nonton pertandingan basket NBA) perlu waktu satu jam. Untuk ke stasiun kereta api Beijing Selatan (stasiun kereta api yang modern dan mewahnya setara dengan Bandara Hongkong) juga satu jam. Padahal, kalau lagi lancar, jarak itu bisa ditempuh hanya 15 menit.

Di kota Beijing saja, kini memang sudah ada 4.920.000 mobil. Dan masih terus bertambah setiap hari. Meski harga bensin 6 yuan/liter (sekitar Rp 9.000/liter), itu tidak membuat orang menghemat. Padahal, naik kereta bawah tanah ke mana pun arahnya dan ganti kereta berapa kali pun, tarifnya hanya 2 yuan (sekitar Rp 3.000).

Memang sudah ada aturan baru. Mobil dengan nomor-nomor tertentu tidak boleh terlihat di jalan raya pada hari-hari tertentu. Bukan lagi aturan genap-ganjil, tapi sudah dua nomor sekaligus. Kalau hanya genap-ganjil, orang masih bisa mengakali dengan membeli dua mobil. Pemerintah Beijing tidak mau ''tertipu" seperti itu. Bahkan, nomor-nomor yang dilarang beroperasi pun selalu diubah setiap delapan minggu. Pengaturan nomor ini saja sudah mengurangi beroperasinya 200.000 mobil setiap hari.

Tapi, ternyata Beijing masih macet saja. Terutama pada hari libur Sabtu-Minggu, ketika semua nomor boleh masuk jalan raya. Saya selalu berpikir apa yang akan terjadi dengan lalu lintas di Beijing lima tahun lagi?

Ternyata sudah ada konsep matang. Tinggal melaksanakan dalam waktu dua tahun ini: menaikkan tarif parkir setinggi pemain basket Yao Ming. Jalan keluar ini diambil setelah para pejabat Beijing melakukan kunker ke luar negeri. Yakni ke Tokyo. Pulang dari kunker, mereka langsung membahas hasil kunker itu dan membuat keputusan untuk dilakukan segera.

Berapa tingginya kenaikan itu, kini masih disimulasikan. Yang jelas, akan sangat tinggi dan revolusioner. Tidak ada jalan lain untuk menghindarkan kota Beijing dari neraka kemajuan. Sekarang ini tarif parkir di Beijing memang tergolong murah untuk kota metropolis. Di pusat kota sampai wilayah ring road 2, tarifnya 10 yuan per jam (Rp 15.000/jam). Di kawasan antara ring road 2 sampai ring road 5, tarifnya 5 yuan per jam (sekitar Rp 7.500/jam). Sedangkan di luar ring road 5 adalah 2 yuan/jam (sekitar Rp 3.000/jam).

Sistem ring road itu sebenarnya dibangun untuk menjamin agar lalu lintas kota Beijing yang kian besar tersebut tetap lancar. Prinsipnya: infrastruktur jalan akan terus ditambah seiring dengan pertambahan mobil dan perkembangan kota. Dengan sistem ring road, kendaraan dari timur ke barat atau dari selatan ke utara tidak harus lewat tengah kota. Sampai-sampai pembangunan jalan lingkar itu terus ditambah. Sekarang ini sudah membangun jalan lingkar yang kedelapan! Toh, kenaikan kemakmuran Tiongkok yang pesat tidak bisa mengatasi bertambahnya jumlah mobil. Maka, aturan yang sangat ''kejam" terpaksa akan diberlakukan.

Sangat mungkin, tarif parkir di kawasan pusat kota sampai ring road 2 akan naik dari 10 yuan menjadi 50 yuan/jam (atau sekitar Rp 75.000/jam). Ini masih sedikit lebih murah daripada tarif parkir di kota San Fransisco. Bahkan, masih jauh lebih murah daripada tarif parkir di Tokyo. Karena itu, kalau tarif semahal itu masih belum juga bisa mengatasi kemacetan Beijing, tidak ada jalan lain kecuali akan terus dinaikkan sampai ke angka di mana masyarakat terpaksa mengendalikan diri untuk tidak menggunakan mobil pribadi lagi.

Saya bayangkan, nanti, kota Beijing yang sudah sangat elegan itu akan mencapai tahap yang setara dengan Tokyo: modern, bersih, dan tidak terasa sesak. Tentu ada kurang lebihnya. Mungkin, di beberapa sektor Tokyo masih unggul, tapi di banyak sektor, Beijing akan jauh lebih unggul.

Karena itu, janganlah lagi punya pikiran bahwa belanja di Beijing lebih murah. Beijing sudah kian mahal saja. Dulu, makan di Beijing lebih murah daripada di Jakarta. Kini sudah terbalik. Dulu, koki-koki terbaik Tiongkok ''lari" ke Hongkong karena bisa lebih makmur. Itulah sebabnya, makanan di Hongkong terkenal enaknya. Restoran-restoran di Hongkong dipegang oleh juru masak-juru masak terbaik. Kini mereka sudah mulai kembali ke Tiongkok, khususnya ke Beijing, karena kemakmuran juga sudah ada di sana.

Beijing saya lihat juga sudah mulai ''mengancam" posisi Shanghai. Inilah yang membuat Shanghai, sebuah kota yang sudah lebih dulu mempunyai citra lebih modern dan menjadi pusat keuangan, juga terus berbenah. Shanghai yang akan menjadi tuan rumah Ekspo Dunia tahun depan (Arab Saudi untuk kali pertama akan memamerkan bentuk masa depan kota Mina di World Expo ini) lagi berusaha keras untuk menjadi satu dengan Hanzhou. Yakni, dengan jalan membangun kereta berkecepatan 330 km/jam yang menghubungkan dua kota itu.

Persaingan Beijing yang sedang mencoba menjadi satu dengan Tianjin ini akan sangat keras di saat Shanghai sedang dalam proses bersatu dengan Hanzhou. Persaingan itu juga telah mendorong Guangzhou untuk menjalin kombinasi dengan Shenzhen di wilayah selatan.

Di Guangzhou, misalnya, saya diberi kesempatan meninjau pembangunan ''kota baru" seluas 28 km2 yang khusus untuk segala fasilitas Asian Games tahun depan. Begitu Asian Games selesai, kota baru tersebut akan menjadi kota modern Guangzhou menggantikan kota yang sekarang. Karena itu, meski dibangun untuk Asian Games, perencanaan dan penataan kota di selatan Guangzhou tersebut sudah disesuaikan dengan perencanaan sebuah kota baru.

Siapa yang kalah dalam persaingan itu nanti? Saya kira tiga-tiganya tidak akan kalah. Yang akan kalah justru Singapura dan Tokyo yang tidak terlibat dalam persaingan tersebut. Ini biasa dalam marketing. Dua raksasa bertempur habis-habisan, yang kalah justru perusahaan yang kecil-kecil. (*)
Selengkapnya...

Perkembangan Turisme Kota Beijing 2

Dahlan Iskan: Pesatnya Perkembangan Kota Beijing (2)
Saatnya Menarik Turis Tiongkok ke Indonesia

Sumber: Jawapos, 16 Oktober 2009

(http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=95465)


"Beijing baru" telah membuat sikap orang Beijing berubah. Kalau dulu terbiasa naik sepeda dan gerobak, kini sudah harus hidup dengan fasilitas serbadigital dan eskalator. Perokok berat (yang antara lain juga membuat kota kotor) menurun drastis karena terlalu banyak tempat "dilarang merokok". Kebiasaan berdahak dan meludah tidak terlihat lagi di jalan-jalan dan tempat umum. Toilet-toilet yang dulu berbau menyengat tiba-tiba lenyap.

Bus kotanya bagus-bagus dan bersih. Sistem karcisnya juga digital. Sistem kereta bawah tanahnya sudah meluas bersilang-silang ke seluruh penjuru kota. Petunjuk jalan di stasiun bawah tanahnya serbadigital. Petanya digital. Iklan-iklan di dalam kereta bawah tanah itu hanya ada iklan digital.

Kalau dulu hanya ada satu lin, kini kereta bawah tanahnya sudah 10 lin. Dari 10 lin itu tinggal satu yang tidak serbadigital. Yakni, lin timur-barat yang melewati Tian An Men. Maklum, inilah lin yang pertama dibangun 30 tahunan lalu. Tapi, 9 jurusan lainnya sudah serbadigital dan tangganya sudah eskalator semua. Saya yang 10 tahun lalu merasa lebih modern dari mereka, kini harus banyak bertanya tentang cara membeli karcis di mesin-mesin yang tidak bisa diajak bicara itu. Saya sudah kalah dengan orang-orang kampung yang dulu menarik gerobak itu.

Maka, kalau dulu orang Beijing sangat memimpikan pergi ke Singapura untuk bisa merasakan kehidupan yang modern, kini berubah total. Pikiran seperti itu sudah dianggap masa lalu. Mereka sendiri sehari-hari sudah berada di kehidupan itu sekarang. Orang Beijing sudah semakin tidak tertarik ke Singapura. Orang-orang Tiongkok di luar Beijing pun, misalnya yang di wilayah selatan, akan kian mimpi ke Beijing daripada ke Singapura.

Perayaan 1 Oktober lalu, misalnya, ternyata telah membuat orang Tiongkok begitu bermimpi ingin melihat Beijing. Perayaan yang isinya perpaduan antara kekuatan militer dan kekuatan hiburan itu memang dikemas sangat intertainment. Lalu harus disiarkan secara langsung di semua channel televisi. Bahkan, selama penyiaran perayaan itu sehari semalam, tidak boleh ada iklan sama sekali. Hari itu semua stasiun tv yang memang dimiliki negara, harus mengabdi sepenuhnya kepada negara. Pemerintah komunis Tiongkok sadar benar peran dan kekuatan media massa dalam memobilisasi emosi dan mengaduk-aduk perasaan. Termasuk membangkitkan perasaan ai guo -cinta negara.

Dan berhasil. Sebagaimana yang dilakukan selama Olimpiade tahun lalu, upaya membangun kebanggaan rakyat melalui pengerahan televisi bukan main dampaknya. Keesokan harinya, setelah Kota Beijing ditutup satu hari untuk perayaan itu, Beijing kebanjiran turis sembilan hari. Di kawasan sekitar Tian An Men, tempat yang sangat populer dalam siaran masal televisi itu, padat manusia. Mereka ingin melihat langsung apa yang mereka lihat di televisi sehari sebelumnya. Apalagi semua yang diparadekan masih dipamerkan di sana. Termasuk dua vtron raksasa masih terus memutar video rekaman parade itu.

Meski penyiarannya dipaksakan oleh pemerintah, siaran itu sendiri memang sangat layak ditonton. Kalaupun ada tv yang dibolehkan menyiarkan acara lain, tidak akan ditonton orang. Parade itu sendiri, dan hiburan pada malam harinya, sangat layak dikagumi: serbaindah dan serbakolosal. Penari, penyanyi, bintang film, pemain kungfu, dan kekuatan persenjataan terbaik yang dimiliki negara memang dikerahkan habis-habisan. Termasuk Peng Li Yuan, penyanyi yang sampai mendapat pangkat tituler brigjen, yang kini menjadi isteri Xi Jinping. Xi Jinping adalah wakil presiden Tiongkok yang tiga tahun mendatang hampir dipastikan menjabat presiden menggantikan Hu Jintao.

Perayaan seperti itu memang hanya boleh dilakukan 10 tahun sekali. Karena itu, sangat emosional. Apalagi, bersamaan dengan kebangkitan Tiongkok dari negara gagal ekonomi (lebih rendah dari status negara sangat miskin) menjadi superpower seperti sekarang.

Di satu pihak apa yang terjadi di Beijing pekan lalu kian membuat kita tertinggal. Tapi, di pihak lain ada pula kesempatan. Yakni, ketika mereka sudah kian makmur dan tidak lagi tertarik ke Singapura. Saatnya kita mengisap turis mereka ke Indonesia. Minat mereka melihat Indonesia sudah kian besar. Apalagi, ke Bali dan Jogja. Sebuah kekayaan alam yang tidak akan bisa dimiliki Beijing sampai kapan pun.

Tinggal bagaimana usaha keras kita mengalihkan turis Tiongkok yang kian lama kian banyak jumlahnya itu. Saya bangga bahwa Garuda mulai melangkah maju. Bahkan, pekan lalu Garuda menjadi berita penting di koran terbesar Hongkong. Judulnya begini: Garuda telah memberi pelajaran pada perusahaan penerbangan Tiongkok.

Isinya menceritakan bagaimana manajemen baru Garuda di bawah Dirut Emirsyah Satar telah melakukan perombakan yang membuat Garuda dari berantakan dan rugi besar menjadi perusahaan berlaba. Lalu mampu menambah pesawat-pesawat baru dari jenis Airbus 330 dan Boeing 737-800. Lalu bisa membuka rute baru di dalam negeri dan luar negeri. Termasuk akan menambah penerbangan Jakarta-Shanghai dan Jakarta-Beijing menjadi setiap hari. Satar juga tahu bahwa turis dari Tiongkok kian meledak saja dan tahun ini mencapai 48 juta orang. Dari jumlah itu baru 250.000 yang ke Indonesia.

Dengan menampilkan Satar itu kelihatannya koran terbesar di Hongkong tersebut ingin mengkritik pemerintah Tiongkok dengan cara halus. Misalnya, ketika menulis bagaimana Satar berani mengurangi jumlah karyawan Garuda dari 6.000 menjadi 5.000. Keberanian seperti inilah yang tidak dimiliki perusahaan penerbangan Tiongkok, sehingga dua tahun terakhir banyak yang rugi besar. Koran itu mengkritik bagaimana panggabungan China Eastern Airlines (Dongfang) dengan Shanghai Airlines akhir tahun ini nanti tidak diikuti restrukturisasi karyawan yang jumlahnya mencapai 52.000. Bagaimana pemerintah Tiongkok telah menjanjikan tidak adanya PHK itu hanya demi terjaminnya lapangan kerja mereka.

Koran itu juga menulis bagaimana Satar berani mengajukan syarat khusus kepada menteri perhubungan ketika dia akan diangkat menjadi CEO Garuda pada 2004 dulu. Syarat itu adalah agar pemerintah tidak mencampuri penetapan rute mana yang harus diterbangi dan rute mana yang harus dihapus. Satar juga minta agar boleh melakukan apa saja untuk membuat perusahaan bisa laba. Ini, kata koran tersebut, bisa dijadikan pelajaran bagi Tiongkok untuk memperbaiki perusahaan penerbangannya.

Persaingan antarnegara, bahkan antarkota, memang kian keras. Diperlukan orang-orang seperti Emirsyah lebih banyak lagi. Saya yakin Indonesia akan punya hubungan ekonomi yang kuat dan saling menguntungkan dengan Tiongkok. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya. Dan, Indonesia akan maju, mengalahkan negara-negara seperti Thailand, Filipna, Malaysia, dan Vietnam dalam waktu tujuh tahun ke depan. (*)
Selengkapnya...

16 Oktober 2009

Perkembangan Turisme Kota Beijing 1

Dahlan Iskan: Pesatnya Perkembangan Turisme Kota Beijing (1)
Geser Singapura sebagaiPusat Turisme KotaAsia

Sumber: Jawapos/Batampost, Kamis 15 Oktober 2009
(http://batampos.co.id/Kolom/Catatan_Dahlan_Iskan/Pesatnya_Perkembangan_Turisme_Kota_Beijing_(1).html)

KALAU dulu hanya ditemani Wangfujing, kini pusat turisme Tian An Men -Forbiden City sudah dikitari tiga pusat kya-kya sekaligus. Masing-masing dengan ciri khas dan segmennya sendiri-sendiri. Ditambah pembangunan CDB (Central Business District) di arah timur Tian An Men, saya sudah bisa membuat kesimpulan ini: turisme-kota di Asia yang selama ini hanya disimbolkan oleh Singapura, segera diambil alih Beijing.


Setelah penutupan World Media Summit, saya pergi ke CDB dan naik ke lantai 66 sebuah gedung baru di kompleks yang isinya hanya gedung-gedung yang menuding langit. Saya masuk ke restorannya di beberapa lantai di atas lantai 66, lalu naik lagi untuk mengintip diskoteknya, naik lagi untuk melongok ke bar-barnya: saya tidak tahu lagi kalau malam itu berada di Beijing yang pernah saya kenal. Saya sudah seperti berada di kehidupan malam Los Angeles, atau New York, atau Tokyo. Sudah mengalahkan Singapura.

Di samping wisata yang mengandalkan kekunoannya, belanjanya, dan kya-kyanya, kini Beijing pun sudah memiliki wisata hiburan malam yang elegannya seperti di Barat. Bahkan, dengan alokasi ruangan yang lebih besar. Ini karena Beijing juga sudah menjadi salah satu pusat keuangan di luar Shanghai dan Shenzhen.

Pembenahan Kota Beijing yang gila-gilaan lima tahun terakhir memang telah membuat kota ini sangat modern, bersih, cantik, dan terasa sekali sangat elegan. Beijinglah kota paling elegan di Tiongkok. Sudah lebih 15 tahun ini saya tidak pernah tidak ke Beijing setiap tahun. Yakni, sejak saya masih tinggal di hotel yang di halamannya masih berserakan batubara yang sangat kotor untuk menyediakan air panas sampai kini masuk ke hotel yang lobinya saja di lantai 66. Bahkan belakangan, dengan semakin banyaknya kegiatan, saya bisa ke Beijing tiga-lima kali setahun. Saya bisa "menggrafikkan" dengan baik perkembangan Beijing dari tahun ke tahun. Terasa sekali ambisinya untuk mengalahkan Tokyo segera terwujud. Tidak lagi memperhitungkan Singapura.

Maka, kalau dulu turisme hanya mengandalkan peninggalan kuno yang memang sangat berharga seperti Kota Terlarang dan Tembok Besar, kini Beijing sudah benar-benar masuk ke turisme kota. Tian An Men dengan Forbiden Citynya, terus dibenahi sehingga kekunoannya ditambahi daya tarik modernisasi: air mancur bermain di sepanjang tembok depan Kota Terlarang, perombakan tata cahaya di waktu malam dan vtron-vtron raksasa. Orang yang pernah ke kawasan Tian An Men pun akan selalu ingin melihat perkembangan barunya.

Dari sini, ke timur sedikit ada tempat jalan-jalan Wangfujing yang sudah legendaris, tapi juga terus diperbarui. Kini orang juga sudah diberi pilihan untuk jalan-jalan ke arah barat: Xidan. Kawasan inilah yang disiapkan untuk anak-anak muda dengan turisme gaya hidup mudanya.

Bahkan, sekarang ini (baru sekali ini saya lihat karena memang baru saja jadi), kampung di belakang (selatan) Tian An Men sudah pula diubah menjadi pusat jalan-jalan baru yang desainnya sangat modern, tapi dengan ciri khas Tiongkok. Inilah pusat kya-kya baru yang khas dan elegan sepanjang 1 km: Qianmen.

Begitu kuatnya pembentukan ciri khas pusat jalan-jalan di Qianmen ini sehingga tidak satu gerai pun yang boleh melanggar ciri khas yang sudah ditetapkan. Tidak ada kompromi untuk mencapai pencitraan yang kuat itu. Merek terkuat di dunia seperti Starbuck pun harus tunduk. Tidak boleh menampilkan logo Starbuck yang amat spesial itu di sini. Warna gerainya juga tidak boleh menggunakan warna khas Starbuck. Harus diubah menjadi agak abu-abu-hitam yang mencitrakan bangunan modern, tapi terasa kuno.

Inilah rasanya kasus marketing di mana pemilik merek yang menguasai dunia harus kalah total di Beijing. Sampai-sampai di papan nama besar di luarnya pun tidak boleh ada tulisan Starbuck. Yang boleh adalah tulisan Xing Pa Ke dalam huruf Mandarin. Xing Pa Ke adalah nama Mandarin untuk Starbuck sebagaimana nama Iskan menjadi Yu Shi Gan. Nama Starbuck hanya boleh ditulis kecil di bawah samping gerai, itu pun di barisan kedua. Maka, orang asing yang jalan-jalan ke situ tidak akan mengira kalau gerai itu adalah gerai Starbuck.

Ini menandakan bahwa posisi tawar pusat jalan-jalan Qianmen sangat kuat. Sampai bisa membuat merek kelas dunia tunduk pada aturannya. Saya jadi ingat ketika diberi hak sewa tiga tahun untuk mengelola Jalan Kembang Jepun menjadi Kya Kya di malam hari: ingin mengecat bangunan di sepanjang Jalan Kembang Jepun saja tidak mendapat respons dari pemiliknya. Betapa lemahnya posisi saya saat itu. Mungkin juga karena saat itu saya hanya dapat hak kelola dari pemda tiga tahun sehingga tidak bisa mendapat kepercayaan pasar.

Di Qianmen ini bahkan restoran Peking Duck tertua di Tiongkok (tahun ini berumur 145 tahun) harus tunduk pula. Akibatnya, restoran ini harus mundur ke barisan kedua di belakang bangunan barisan pertama. Kalaupun ngotot tetap buka di barisan pertama, restoran ini tidak akan bisa mendapat jatah ruang yang luas. Padahal, ribuan orang makan bebek di sini.

Saya harus minta tolong teman di Beijing mengantrekan sejak pukul 15.00 untuk bisa mengajak rombongan para pengelola DBL dari seluruh Indonesia untuk makan pukul 16.30 (saat restoran mulai dibuka). Itu pun sudah kalah dulu. Mendapat nomor 17.

Tembok depan berumur 145 tahun yang menjadi ciri khas restoran ini pun harus dipindah! Tidak cocok dengan karakter yang ingin dibentuk pusat jalan-jalan ini. Pemilik restoran terpaksa mengabadikan tembok bersejarah itu dengan cara membangun tembok baru dengan desain yang sama di pintu masuknya yang baru di barisan kedua bangunan di Qianmen.

Sebenarnya restoran ini sudah punya satu cabang tidak jauh dari situ. Yakni, sebuah bangunan besar 7 lantai yang setiap lantai selalu penuh dengan orang yang makan bebek. Saya juga sering membawa keluarga makan di sini. Kelebihannya: kita mendapat sertifikat yang berisi pemberitahuan bebek ke berapa yang kita makan hari itu. Bebek yang saya makan hari itu, misalnya, adalah bebek yang ke 1.684.356.245. Artinya, sampai hari itu sudah 1,6 miliar lebih bebek yang oleh manusia tidak dihargai perikebebekannya.

Tentu saya tidak pernah bertanya apakah benar bebek yang saya makan itu adalah bebek yang ke 1.684.356.245. Saya takut dianggap tidak percaya lalu disuruh menghitung sendiri. Angka yang saya tulis itu pun tidak perlu Anda tanyakan keakuratannya. Sertifikat asli saya sudah hilang. Saya hanya ingat angka-angka depannya. Kalau tidak percaya, Anda terpaksa membantu menemukan kembali sertifikat saya....(*)
Selengkapnya...

09 Oktober 2009

Herman Hartanto Pemilik Tanto Line

Herman Hartanto, Pemilik Perusahaan Pelayaran/Perkapalan Tanto Line
Modal Kaya: Bisa Marah, Memerintah, dan Tanda Tangan

Sumber: Jawapos, Kamis 8 Oktober 2009

Salah satu perusahaan yang di masa sulit pun masih bisa terus berkembang adalah yang satu ini: Tanto Line. Yakni, sebuah perusahaan milik Herman Hartanto, warga kebanggaan Surabaya, yang bergerak di bidang pelayaran/perkapalan. Sebagai orang Hokkian yang bermarga Tan, maka di bagian belakang nama Indonesianya tertulis Hartanto. Bahkan, nama perusahaannya itu pun tidak lepas dari nama marganya dan nama belakang Indonesianya.

Dahlan Iskan, Hongkong

---

DI Surabaya memang ada tiga perusahaan pelayaran yang sangat besar. Yakni Spil, Meratus, dan Tanto. Sulit menilai siapa di antara tiga itu yang terbesar. Tiga-tiganya saya kenal dengan baik. Setiap saya tanya siapa di antara mereka yang terbesar tidak pernah ada yang menepuk dada. Yang satu selalu menyebut yang lain sebagai yang lebih besar. "Kami ini kecil, Pak," ujar Herman Hartanto saat kebetulan bersama-sama terbang ke Hongkong Rabu kemarin (7/10).

Demikian juga Soegeng Hendarto (Huang Dji Tju), si pemilik Spil, mengatakan dirinya masih kecil. Ketua marga Huang Indonesia itu bukan main rendah hatinya. Sikap yang sama juga ditunjukkan pemilik Meratus, Menaro, sampai ke anaknya yang memegang kendali perusahaan sekarang, Charles Menaro. Bahkan, orang seperti mendiang Menaro bukan saja mengaku kecil, melainkan seumur hidupnya tidak pernah naik pesawat di kelas bisnis.

Yang jelas, tiga-tiganya kini masih terus berkembang. Armada kapal mereka masih terus bertambah. Tanto sendiri dalam perjalanannya ke Hongkong kali ini harus mengajak banyak anak buah. Mengapa? Tanto baru saja membeli kapal tambahan. Anak buahnya itulah yang akan membawa kapal tersebut menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Itu adalah kapalnya yang ke-39. Dalam enam bulan terakhir ini saja, Tanto sudah menambah 12 kapal di jajaran armadanya.

"Ini perusahaan jasa. Kami harus terus-menerus meningkatkan servis. Antara lain dengan harus terus menambah kapal," ujar Tanto, merendah. Kapal-kapal yang lama, di samping sudah mulai tua, juga tidak bisa mencukupi keinginan pelanggan yang terus meningkat. Pelanggan menginginkan Tanto Line punya kian banyak tujuan. Itu berarti diperlukan kian banyak kapal.

Herman Hartanto membangun Tanto Line atas usahanya sendiri. Sejak remaja, dia sudah memisahkan diri dari orang tuanya di Medan. "Umur 16 tahun kami bersama empat teman sebaya pergi ke Jakarta," kisah Herman, mengenang masa kecilnya. Waktu itu dia tidak tahu Jakarta itu seperti apa. Tapi, sebagai remaja yang senang sepak bola, dia ingin melihat Asian Games di Jakarta. Itu berarti tahun 1962. Dia naik kapal Ambolombo yang kebetulan singgah di Medan dalam perjalanannya dari Jeddah ke Jakarta mengangkut jamaah haji.

"Tiba di Jakarta, kami kaget. Kok Jakarta ini hebat sekali. Besar sekali. Kami bingung mau ke mana dulu," ujarnya, mengenang. Tapi, sebagai remaja 16 tahun, mereka senang-senang saja. Mereka keliling Jakarta. Bahkan, kemudian mereka hanya bisa nonton Asian Games di televisi hitam putih karena karcis masuk stadion tergolong mahal bagi para remaja itu. Di Jakarta (juga Indonesia) saat Asian Games itulah pertama ada siaran televisi dan masih hitam putih.

Beberapa hari di Jakarta, masing-masing baru ingat bahwa kepergian mereka ke Jakarta itu belum diberitahukan kepada orang tuanya. Mereka pun segera ke kantor pos untuk kirim telegram. "Kami di Jakarta. Ingin nonton Asian Games." Begitu bunyi telegramnya. "Kami saat anak-anak memang sudah biasa tidak pulang. Tidur di rumah teman. Kalau tidak pulang 2-3 hari saja tidak akan dicari orang tua," kata Tanto.

Ternyata, itulah kepergiannya keluar dari Medan yang pertama dan tidak pernah kembali lagi. Dia hijrah dalam pengertian yang sebenarnya. Sekolahnya di kelas 1 SMA tidak dia teruskan. Di Jakarta, karena sudah tidak punya uang lagi, Herman lantas ikut famili temannya. Lalu pindah ikut orang lain. Akhirnya mulai ikut-ikutan bekerja di toko ban. Lalu kirim-kirim onderdil mobil. Pernah juga ikut kapal bea cukai ke Karimun. "Saat berada di Karimun, saya pergi naik perahu ke Singapura. Itulah pertama kalinya saya lihat Singapura," ujarnya. "Kesan saya ketika itu Jakarta jauh lebih hebat daripada Singapura. Jakarta sudah punya Jalan Thamrin yang hebat. Singapura masih seperti kota nelayan," katanya. Dia tidak mengira dalam sekian tahun kemudian, Singapura bisa seperti sekarang.

Setelah malang-melintang di usia pemudanya itu, akhirnya Tanto tahu bagaimana harus mulai usaha sendiri. Yakni usaha jasa pengiriman: ekspedisi. Karena sering kirim barang ke Surabaya, akhirnya dia pun memutuskan untuk menetap di Surabaya.

Lima tahun bekerja di perusahaan ekspedisi, Herman mulai berpikir kalau saja punya kapal sendiri akan bisa lebih untung. Tapi, membeli kapal belumlah waktunya. Dia cari akal bagaimana tidak punya uang, tapi bisa menguasai kapal. Maka, dia sewa kapal milik orang lain. Kebetulan, ada kapal milik Pemda Kalimantan Selatan (Kalsel) yang rusak. Kapal itu sudah tiga tahun tidak beroperasi. Mesinnya sudah hancur.

Herman berusaha memperbaiki kapal itu. Dari sini pula, Herman belajar mesin kapal. Juga belajar bagaimana mengelola kapal -yang kelak menjadi sangat berarti ketika sudah memiliki kapal sendiri. Meski dia bukan insinyur (tamat SMA pun tidak), dia punya kemauan keras untuk belajar. Dia banyak bertanya di bengkel-bengkel mesin. Bahkan, dia ikut menunggui ketika bengkel memperbaiki mesin. Lama-lama Herman mengerti mesin kapal. "Pengusaha kapal yang tidak mengerti mesin kapal sangat bahaya. Bisa dibohongi terus-menerus," katanya.

Usaha apa pun, kalau mau sukses, haruslah kerja keras, ulet, tidak mudah putus asa, dan memegang kepercayaan. Itulah juga prinsip kerja Herman. Bahkan, dia menilai bisnis di bidang perkapalan jauh lebih sulit daripada yang lain. "Kalau bisnis pabrik, begitu pabriknya dibuka, bisa jalan, tidak terlalu stres. Kerja kapal ini siang-malam harus deg-degan. Apalagi kalau ada telepon berdering. Langsung saja punya pikiran ada apa ini? Kapal tenggelam? Kandas? Bocor di tengah laut? Dan seterusnya," kisahnya. "Apalagi kalau dering teleponnya tengah malam di saat tidur nyenyak. Pasti deg-degan," ungkapnya.

Kini, di usianya yang 65 tahun, Tanto masih kelihatan antusias. Badannya yang langsing dan sehat membuat dirinya kelihatan lebih muda daripada umurnya. Sampai tahun 2009 ini, berarti sudah 38 tahun dia menggeluti bisnis perkapalannya itu. "Saya tidak pernah menyesali mengapa saya terjun ke bisnis kapal ini," ujarnya. "Memang banyak sekali kesulitan, tapi harus dihadapi. Kian sulit persoalan yang dihadapi kian menantang untuk diselesaikan," katanya.

Bagaimana soal latar belakang pendidikannya yang tidak tamat SMA? Dengan bergurau, Tanto mengatakan bahwa yang penting dirinya bisa melakukan tiga hal saja: bisa marah, bisa memerintah, dan bisa tanda tangan... ha ha ha.

Tiga perusahaan kapal (Spil, Meratus, dan Tanto) itu tentu menjadi kebanggaan Surabaya. Sebab, tiga perusahaan itu saja, di tambah banyak lagi perusahaan Surabaya lainnya, kalau disatukan sudah lebih besar daripada perusahaan serupa di Jakarta. Maka, kalau sampai sekarang Surabaya masih layak disebut sebagai Kota Maritim, antara lain, itu berkat jasa tiga perusahaan tersebut. Tanpa mereka, gelar Surabaya itu harus dicabut. (*)


Selengkapnya...