12 Juli 2009

Mengikuti Proses ''Menabung'' Tali Pusat Bayi ke Singapura (2-Habis)

Sel Induk Bisa Sembuhkan Leukemia Ganas

Sumber: Jawapos, 12 Juli 2009

Teknologi pengelolaan darah tali pusat (umbilical cord blood) semakin berkembang. Dengan demikian, bukan hanya biayanya yang kini menjadi kian murah, tetapi juga pemanfaatannya. Di beberapa negara maju, darah bawaan bayi saat lahir itu juga bisa disumbangkan untuk orang lain yang DNA-nya tidak sama dengan si bayi.

NUR AINI ROSILAWATI, Surabaya 

---


SEBENARNYA, teknologi pengelolaan darah tali pusat sudah ada lebih dari 30 tahun lalu. Tetapi, teknologi tersebut baru benar-benar dikembangkan secara luas setelah seorang dokter di Amerika Serikat berhasil mentransplantasikan sel induk -yang diambil dari darah tali pusat- kepada seorang anak lelaki berumur enam tahun yang menderita penyakit kelainan darah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 1988.

Seperti yang disebutkan di bagian pertama tulisan ini kemarin, darah tali pusat mengandung sel-sel induk (stem cells), yang bisa meregenerasi diri sendiri. Untuk mengambil darah tali pusat dari bayi kembar Ny Isna Fitriana itu, Prof Dr dr Suhartono DS SpOG KFER dan dr Hendra Sukma Ratsmawan SpOG bertindak sangat hati-hati. 

Proses dan timing yang tepat memungkinkan dokter mendapatkan sel induk sebanyak-banyaknya dari darah tali pusat. Dari seorang bayi yang baru lahir, umumnya dokter hanya mengambil 75-180 ml darah tali pusat.

Semakin banyak sel induk yang diperoleh, berarti semakin banyak manfaat yang bisa dilakukan. Kalau tidak banyak, sel induk tidak bisa dimanfaatkan untuk transplantasi karena tindakan medis tersebut membutuhkan banyak sel induk.

Tentang pemanfaatan sel induk ini, masih ada beberapa kontroversi. Sampai 2006 saja, dokter-dokter ahli di Barat masih ada yang menentang penggunaan darah tali pusat untuk pemakaian sendiri pada kasus leukemia, pre-leukemia, dan penyakit-penyakit bawaan. Alasan mereka, kalau penyakit-penyakit itu sudah dibawa si bayi sejak lahir, berarti di sel induknya juga sudah ada penyakit-penyakit itu. 

Namun, pada musim panas tahun lalu beberapa percobaan membuktikan bahwa anggapan di atas tidak berlaku. Buktinya, seorang anak yang menderita penyakit diabetes tipe I (bawaan) bisa disembuhkan dengan cara mentransfusikan darah tali pusatnya sendiri.

Ada dua bukti lain yang diangkat para ahli untuk menggugurkan pendapat kolega mereka pada 2006 itu. Bukti pertama, sembuhnya seorang anak yang menderita penyakit cerebral palsy, setelah sel induk dari darah tali pusatnya ditransfusikan. Cerebral palsy adalah kelainan motorik yang permanen akibat tidak sempurnanya pertumbuhan jaringan otak.

Bukti kedua, disembuhkannya seorang anak yang menderita leukemia (kanker darah), juga dengan sel induknya sendiri. Tetapi, ini memang belum bisa dijadikan patokan. Sebab, keberhasilan tersebut baru terjadi pada satu kasus itu saja.

Bahwa sel induk dari darah tali pusat bisa digunakan untuk menyembuhkan secara total seorang penderita leukemia dari tipe yang ganas, tampaknya, semakin dipercaya oleh para ahli. Buktinya, topik itu menjadi bahasan utama dalam simposium internasional ke-7 Transplantasi Darah Tali Pusat, di San Fransisco, Amerika Serikat, awal Juni lalu.

Ketika para dokter ahli membahas dan meneliti penyakit apa saja yang bisa diatasi dengan sel induk dari darah tali pusat, beberapa negara bagian di Amerika Serikat sudah mulai mengembangkan program donasi darah tali pusat. Salah satunya di New York.

Dengan dibukanya program ini, semua ibu bisa menyumbangkan darah tali pusat bayinya untuk orang lain. Caranya dengan memberi tahu bank darah tali pusat untuk umum (publik), sebelum kandungannya genap berumur 34 minggu.

Tim dari bank darah tersebut lantas mendatangi si ibu untuk meminta tanda tangan persetujuannya dan suaminya, serta mengambil sampel darah si ibu untuk diperiksa ''kebersihan" darahnya. 

Proses pemeriksaan, pendaftaran, dan pengambilan darahnya sama persis dengan yang dialami Ny Isna, putri CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan saat melahirkan anak kembar (laki-laki dan perempuan) Kamis lalu (9/7).

Yang membedakan hanya pada biaya dan pemanfaatan darah tali pusat itu. Kalau Isna harus membayar sekitar Rp 15 juta per bayi, plus sekitar Rp 1,8 juta untuk penyimpanan sel induk darah tali pusat bayinya per tahun, ibu yang menyumbangkan darah tali pusat anaknya untuk kepentingan umum itu, gratis.

Mereka tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Risikonya, sel induk darah bayinya disimpan tanpa identitas. Kecuali, tentu saja, golongan darah, rhesus, dan identitas penting lain dari darah itu.

Karena sudah diserahkan kepada negara, tidak mungkin bagi si ibu maupun bayinya untuk suatu saat memanfaatkan darah itu. Kecuali darahnya masih tersimpan di situ. Artinya, belum ditransplantasikan ke orang lain atau keburu digunakan untuk penelitian. Dan, karena darah itu tidak diberi identitas pemiliknya, yang dicocokkan adalah data-data darahnya saja. Jadi, bisa saja, itu bukan miliknya sendiri.

Meski di sana sudah ada bank darah tali pusat untuk umum, tidak berarti para ibu tidak bisa menyimpan darah tali pusat bayinya untuk kepentingan pribadi? Pasti bisa. Tetapi, ya seperti Ny Isna: Harus bayar.

Biaya pengambilan dan pendaftarannya lebih mahal daripada di Singapura dan Indonesia. Yakni, sekitar USD 2.000. Jasa pemeliharaan dan penyimpanannya USD 125 per tahun. Angka ini merupakan data 2007. Bisa jadi, sekarang sedikit lebih mahal dari itu.

Melihat perkembangan teknologi dan semakin banyaknya peneliti yang tertarik pada sel induk darah tali pusat ini, bisa dipastikan kelak ada ratusan jenis penyakit yang berhasil disembuhkan oleh sel induk dari darah tali pusat. Saat ini literatur sudah menyebutkan bahwa ada sekitar 80 jenis penyakit yang bisa disembuhkan oleh sel induk dari tali pusat. 

Data di bank darah tali pusat untuk publik yang ada di New York atau NYCBBP menyebutkan bahwa 20 persen dari 25 ribu darah tali pusat yang disumbangkan ke situ telah ditransplantasikan. Sekitar satu persennya lagi digunakan untuk riset.

Yang juga perlu diketahui, NYCBBP bukan satu-satunya badan pemerintah di AS yang menangani darah tali pusat. Jadi, kalau semua bank sejenis di sana dan di negara-negara maju lain melakukan riset, bisa dipastikan dalam beberapa tahun mendatang, bisa jadi, transplantasi pun tak lagi menggunakan donor hidup maupun cadaver (dari tubuh yang mati batang otaknya). 

Transplantasi menggunakan organ dari tubuh lain memiliki potensi rejeksi (ditolak) yang cukup besar. Karena itu, semua pasien transplan harus minum obat antirejeksi seumur hidup.

Dengan menggunakan sel induk dari darah tali pusat, organ yang rusak itu bisa dibangun kembali tanpa memerlukan obat antirejeksi, karena "kontraktornya" adalah sel induk dari tubuhnya sendiri.

Kegunaan darah tali pusat ini sebenarnya diketahui masyarakat sejak lebih dari 100 tahun lalu. Hanya, cara mereka menyimpan dan memanfaatkannya sulit dibenarkan secara ilmiah.

Uniknya, meski teknologi penyimpanan dan penggunaan darah tali pusat sudah sedemikian maju, ternyata masih banyak anggota masyarakat yang menyimpan tali pusat bayinya dengan cara tradisional. Yakni, dibungkus kain atau disimpan di laci.

Cerita dr Sulung Budianto, direktur RS Surabaya Internasional, misalnya. Dia menyimpan rapi tali pusat ketiga anaknya di laci lemari sampai sekarang. ''Saya kan hanya melakukan pesan orang tua agar tali pusat anak-anak disimpan semua,'' terangnya. Tali pusat itu disimpan di sebuah plastik kecil, lantas ditaruh dalam laci. 

Dia lalu bercerita bahwa tali pusat tersebut bisa digunakan sebagai obat ketika anak (pemilik tali pusat) sakit. Caranya, tali pusat digerus sedikit, lantas direndam dalam air. Airnya diminumkan ke anak yang sakit panas tinggi. Apa tali pusat tersebut pernah digunakan? Sulung menggelengkan kepala. ''Ya, tak pernah. Sampai sekarang, tali pusatnya tetap kering,'' ungkapnya. (*)


Tidak ada komentar: