11 Juli 2009

Mengikuti Proses ''Menabung'' Tali Pusat Bayi ke Singapura (1)

Ambil Darah, Dokter Berpacu dengan Ari-Ari Bayi

Sumber: Jawapos, Sabtu 11 Juli 2009


Belajar dari pengalamannya harus ganti hati, ketika dua hari lalu memperoleh cucu kembar, Dahlan Iskan, chairman/CEO Jawa Pos, meminta agar tali pusat cucunya itu disimpan. Bukan dengan cara tradisional, melainkan dengan cara baru yang lagi banyak dicoba di seluruh dunia: menyimpannya di bank tali pusat di Singapura. Berikut laporan mengenai hal itu.

Nur Aini Rosilawati, Surabaya

---

Yang disimpan itu sebenarnya tidak lagi berupa tali pusat, tapi darah yang diambil dari tali pusat. Darah yang sudah dimasukkan dalam kantong plastik dengan didesain khusus itulah yang dikirim ke Singapura. Di sana darah tersebut dipisah-pisahkan lagi untuk hanya diambil inti selnya.

Inti sel darah tali pusat itulah yang disimpan baik-baik di dalam tabung yang dinginnya mencapai 196 derajat celcius di bawah nol. Kelak, siapa tahu, inti sel darah itu diperlukan. Yakni, ketika si bayi, setelah besar atau tua kelak, terkena penyakit.

Inti sel darah tali pusat tersebut bisa disuntikkan (ditransplantasikan) untuk mengatasi penyakitnya itu. Misalnya, kelak si bayi mengalami sakit liver seperti kakeknya. Maka, secara teoretis, tidak perlu lagi menjalani transplantasi. Cukup diatasi dengan inti sel darah tali pusat tersebut. (Lihat bagian 2 serial tulisan ini besok).

Karena itulah, Dahlan mengizinkan wartawan Jawa Pos dan fotografernya ikut masuk ke ruang persalinan di RS Surabaya Internasional ketika putrinya, Isna Fitriana, melahirkan bayi kembar itu Kamis lalu (9/7). Dengan begitu, mereka bisa melihat langsung proses pengambilan darah dari tali pusat tersebut.

Bahkan, wartawan Jawa Pos sudah mendampingi Isna sejak sehari sebelumnya. Sebab, untuk mengikuti program penyimpanan darah tali pusat itu, sang ibu harus menjalani serangkaian pemeriksaan sejak sehari sebelumnya. Tujuannya, terutama, melihat apakah darah sang ibu memiliki beberapa kelemahan. Misalnya, mengidap virus atau penyakit.

Informasi itu diperlukan untuk membandingkan dengan darah dari tali pusat bayinya. Lebih khusus lagi, apakah ada virus HIV/AIDS, hepatitis B dan C, cytomegalovirus (CMV), dan sifilis. ''Jika hasil pemeriksaan darah ibu tidak menunjukkan adanya penyakit tersebut, darah bayi bisa disimpan di bank darah,'' terang Hidayat, branch representative Surabaya PT Cordlife Indonesia, perusahaan penyimpanan inti sel darah tali pusat di Singapura. Artinya, jika darah ibu tercemar, bayinya juga mungkin mengidap penyakit tersebut. Dalam kondisi begitu, darah dari tali pusat bayi tidak bisa disimpan dalam bank darah.

Hari Kamis lalu itu, pukul 10.00, Isna mulai dibawa ke ruang operasi. Istri Martha Dinata itu memang akan melahirkan secara caesar. "Sebenarnya, saya ingin melahirkan secara alamiah saja. Tapi, saya sudah tidak kuat bergerak lagi," ujar Isna yang kini menjadi pengusaha mandiri itu. "Baru 36 minggu saja sudah seperti ini. Bagaimana kalau harus melahirkan pada minggu ke-40," tambahnya sambil terus berbaring. Kandungannya memang begitu besar sehingga tiap ke dokter pun dia harus pakai kursi roda.

Kemudian, setelah bayi lahir, memang diketahui berat masing-masing bayi mencapai 2,6 kg dan 2,7 kg. Dokter yang menangani adalah Prof dr Suhartono DS SpOG KFER, dokter spesialis kandungan yang juga konsultan fertilitas endokrin dan reproduksi yang juga membantu kelahiran Isna itu 27 tahun lalu.

Pukul 10.30, Isna sudah menjalani pembiusan lokal yang dilakukan oleh dr Hardiono SpAnKIC, spesialis anestesi. Terdengar jerit pelan dari mulut Isna ketika jarum disuntikkan ke tulang punggungnya. Perawat berusaha memegangi tubuh Isna yang diposisikan melengkung, seperti udang, agar tidak bergerak. ''Ditahan ya Mbak. Agak sakit,'' kata dr Hardiono.

Sesaat kemudian, Isna mengatakan kakinya sakit, namun tidak bisa digerakkan. ''Tidak apa-apa, itu memang efek obatnya,'' lanjut dr Hardiono. Beberapa menit kemudian, Isna terlihat sudah mengantuk.

Tidak lebih dari lima belas menit, Prof Suhartono, didampingi dr Hendra Sukma Ratsmawan SpOG, masuk ke ruang operasi. Prof Suhartono melakukan insisi (pembedahan) melintang sekitar delapan sentimeter pada perut Isna. Dengan menggunakan pisau, Prof Suhartono dan dr Hendra membuka perut Isna hingga sampai bagian rahim.

Sekitar pukul 11.02, lahirlah bayi pertama berjenis kelamin laki-laki yang beratnya 2.600 gram dan panjang 48 sentimeter. Dari situlah proses pengambilan darah tali pusat itu dimulai. Ketika dikeluarkan, tentu si bayi masih terikat dengan tali pusat yang menghubungkannya dengan plasenta (ari-ari). Prof Suhartono lantas menjepit tali pusat itu di dua tempat. Jarak antarjepitan sekitar 5 cm.

Selesai menjepit, Prof Suhartono lantas memotong tali pusat agar si bayi bisa diserahkan kepada dr Agus Harianto SpA (K), dokter anak yang akan memeriksa kondisi sang bayi.

Tidak sulit bagi dr Hendra melakukan itu. Dia mencari vena yang memang mudah dilihat karena berwarna biru dari sisa tali pusat yang masih terhubung dengan plasenta. Vena itulah yang dia coblos dengan jarum yang sudah terhubung dengan kantong plastik.

Ketika dr Hendra mengambil darah tali pusat dan dr Agus merawat bayi yang baru diputus tali pusatnya, Prof Suhartono mulai mengambil bayi kedua. Yakni bayi wanita yang beratnya 2.700 gram dengan panjang sama: 48 cm. Kepada bayi kedua ini, juga dilakukan proses yang sama. Yakni mengambil darah tali pusatnya sebanyak kira-kira 100 ml.

Agar darah yang bisa diambil cukup banyak, Prof Suhartono terlebih dulu memperbaiki posisi tali pusat agar tidak melintir. Prinsipnya memang sebanyak-banyaknya darah yang bisa diambil. Tentu tujuannya agar bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya inti sel darah tali pusat itu. Kian banyak inti sel yang bisa didapat, kian tinggi sukses yang bisa dicapai -seandainya kelak inti sel darah itu dipergunakan untuk memperbaiki organ-organ tubuh yang sakit. Karena itu, untuk memaksimalkan perolehan darah, Prof Suhartono sampai memijat pelan bagian vena hingga seluruh darahnya keluar tuntas.

Prof Suhartono mengatakan, pengambilan darah tali pusat harus dilakukan secepatnya. Sebab, ari-ari keluar paling lama empat menit setelah bayinya lahir. Nah, bila ari-ari sudah keluar, darah tali pusat akan mengering. ''Jadi, berkejaran dengan waktu. Sebelum ari-ari keluar, darah tali pusat sesegera mungkin diambil,'' terangnya.

Berapa banyak seharusnya darah tali pusat yang diambil? Prof Suhartono mengatakan, tidak ada batasan. ''Pokoknya, sebanyak mungkin. Agar sel inti yang disimpan juga tambah banyak,'' katanya. Namun, menurut literatur, darah tali pusat yang diambil sebaiknya lebih dari 50 ml. Dengan begitu, darah tersebut bisa diproses dengan mesin SEPAX, mesin pemisah sel inti dan bagian darah lainnya. Jika kurang dari 50 ml, SEPAX tidak bisa berputar.

Dengan demikian, kurang dari 50 ml pun masih bisa. Tetapi, pemrosesannya harus dilakukan secara manual. Dengan pemrosesan secara manual, tingkat keefektifan pemisahan sel inti dan bagian darah lainnya hanya 82 persen. Lain halnya bila menggunakan mesin SEPAX. Tingkat keefektifannya 96 persen. Ibarat jeruk, diperas hingga hanya sarinya.

Darah tali pusat tersebut lantas diberi label, berisi nama ibu dan identitas lengkapnya. Kemudian, dimasukkan dalam kantong plastik transparan. Selanjutnya, dimasukkan dalam kit yang telah disediakan. ''Darah tersebut akan diterbangkan dengan kurir khusus untuk bahan biomedis,'' kata Hidayat.

Karena itu, kotak berisi darah tersebut juga tidak akan melewati x-ray saat pemeriksaan di bandara. Paparan x-ray dikhawatirkan akan merusak struktur darah. Pihak kurir telah membuat sertifikat khusus mengenai hal tersebut. ''Sebelum 36 jam sudah harus sampai di bank darah Singapura,'' jelasnya.

Hidayat mengatakan, begitu sampai di Singapura, darah tali pusat akan menjalani serangkaian pemeriksaan. Yakni, bakteri, jamur, golongan darah dan rhesusnya, serta sel CD34+. Sel CD34+ merupakan bagian penting dalam prolif­erasi, produksi DNA agar menjadi jaringan.

Sama halnya dengan pemeriksaan darah ibu, darah tali pusat juga bebas dari bibit penyakit. Hidayat menuturkan, pemeriksaan atas darah tali pusat berlangsung dua kali. Sebelum dan sesudah darah tali pusat tersebut diproses. ''Penting untuk memastikan darah tidak tercemar,'' ujarnya.

Jika terjadi pencemaran, darah tidak bisa diberi antibiotik. Sebab, antibiotik tidak bisa menghilangkan endotoksin, komponen luar dari bakteri gram negatif. ''Bakterinya memang terbunuh oleh antibiotik. Namun, endotoksinnya tidak bisa. Endotoksin inilah yang bisa menimbulkan komplikasi pada tubuh bila suatu saat nanti sel inti darah tali pusat tersebut digunakan,'' lanjutnya.

Dalam kondisi tercemar, darah tali pusat tidak bisa digunakan lagi. Pihak Cordlife akan memberi tahu kliennya mengenai hal tersebut. Jika dalam waktu 30 hari tidak ada surat pemberitahuan dari klien, Cordlife secara otomatis akan membuang darah tercemar tersebut.

Kalau dinyatakan tidak tercemar, sel darah lantas diproses untuk diambil sel intinya saja. Pemrosesan darah tali pusat menggunakan triple bag. Tiga kantong darah dengan ukuran berbeda. Satu kantong besar untuk darah yang belum diproses dengan mesin atau manual. Setelah diproses, sel inti darah yang nanti disimpan di bank darah langsung mengalir ke kantong lebih kecil. Sisanya, bagian darah yang tidak terpakai, masuk ke kantong lain. Pemrosesan dengan triple bag itu meminimalkan kontaminasi saat pemisahan sel inti dari bagian darah lainnya.

''Setelah itu, sel inti darah tali pusat bisa langsung disimpan ke bank darah dengan suhu minus 196 derajat Celcius,'' jelas Hidayat.

Penyimpanan menggunakan tabung nitrogen. Bila sewaktu-waktu terjadi bencana alam, ada kemungkinan gas nitrogen habis. Dalam kondisi begitu, sel darah inti masih tetap aman hingga dua minggu. ''Sebelum dua minggu, gas nitrogen harus diisi lagi,'' terangnya. (bersambung/kum)

Tidak ada komentar: