16 Juli 2009

Liem Swie King

Sumber: Jawapos, Kamis 16 Juli 2009

Liem Swie King, Legenda Bulu Tangkis setelah 21 Tahun Menghilang

Jangan Salahkan Situasi

Piala Thomas 1988 menjadi kado pahit perpisahan Liem Swie King. Legenda bulu tangkis dunia itu mundur setelah Indonesia dikalahkan Malaysia 2-3 di babak semifinal.

---


TIDAK mudah menemui Liem Swie King akhir-akhir ini. Hari-hari mantan pemain bulu tangkis itu semakin padat setelah biografinya, Panggil Aku King, dan film King beredar di pasaran. Maklum, jadwal promo yang panjang mengisi agendanya ke depan.

Begitu pula kemarin siang (15/7), masih ada agenda nonton bareng "King" di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Senayan, Jakarta. Saat bukunya diluncurkan bertepatan dengan perhelatan Indonesia Terbuka pada Juni lalu, tak sedikit pun King merasa lelah.

"Ah, lebih capai latihan bulu tangkis setiap hari. Ini cukup menyenangkan," ujar King di sela-sela peluncuran biografinya pada 19 Juni lalu. Namun, dalam perjalanannya, King "menyerah" juga. "Maaf, Papi kurang sehat. Jadi, beliau harus beristirahat dulu," ujar Stephanie King, putri King.

Kata dokter, lanjut Stepahnie, King harus beristirahat selama

beberapa hari. Bahkan, percakapan melalui telepon pun tidak mungkin dilakukan karena suaranya "habis".

Banyak pihak seolah berlomba-lomba mencari King. Padahal, namanya menghilang sejak dia memutuskan untuk pensiun pada 1988. Saat itu, usianya memang sudah tidak muda, 32 tahun. Meski demikian, Indonesia masih memercayai dia dan pasangannya, Bobby Ertanto, sebagai ganda penutup perhelatan Piala Thomas 1988. Sayang, keduanya gagal menjadi pahlawan.

Momen itu pula yang kian memantapkan King untuk pensiun. Nama besarnya dengan King Smash's seolah tertelan bumi. Baru beberapa tahun kemudian, bertepatan dengan ajang Indonesia Open Super Series 2009, nama King kembali melambung. Tanpa rencana untuk rilis bersamaan, buku biografinya, Panggil Aku King, dan film yang terinspirasi kisah hidupnya, King, dapat ditemui di pasaran.

Saat ini, King sudah kembali sehat. Aktivitas hariannya juga mulai "normal" lagi. "Memang, masih ada jadwal promo dan udangan dari sana-sini, tapi sudah tidak terlalu padat lagi," jelas Stephanie.

Namun, jangan dibayangkan bahwa aktivitas normal King adalah berangkat kerja pagi dan pulang malam. Predikat wiraswastawan yang melekat kepada juara tiga kali turnamen bulu tangkis bergengsi All England itu tidak mengharuskannya berangkat dan pulang dengan jadwal rutin layaknya saat dia masih menjadi atlet pelatnas. Apalagi, dua hotel, bisnis properti, dan tiga griya pijat miliknya sudah berjalan dengan cukup baik.

Usaha perhotelan yang ditekuni King merupakan warisan sang mertua. Malah, usahanya di griya pijat, yang lahir belakangan, telah mempekerjakan lebih dari 200 karyawan. Namun, jangan salah. Usaha itu berkembang karena latar belakangnya sebagai pemain nasional yang kerap bepergian dan menginap di hotel berbintang. Dia membuka usaha itu berdasar pengalamannya sebagai pemain dengan jadwal latihan dan turnamen yang sangat padat.

King melihat kalangan eksekutif dan pengusaha Jakarta yang gila kerja membutuhkan kesegaran fisik. Karena itu, dia membuka griya pijat kesehatan Sari Mustika di Grand Wijaya Centre. Kemudian, dia membuka griya pijat lainnya di Jl Fatmawati, Jakarta Selatan, dan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dalam mengelola usahanya, King tidak sungkan-sungkan menyambut sendiri tamu hotel atau griya pijatnya. Selain pengalaman itu, keluarga King memiliki peran penting. "Latar belakang keluarga saya adalah pedagang. Jadi, saya sudah terbiasa mengatur keuangan sendiri," tutur King.

Kebiasaan itu tumbuh sejak King masih berjaya sebagai atlet. Segala apresiasi berbentuk uang atau uang kontrak dengan sponsor segera dialihkan menjadi tanah atau rumah. Langkah itu diambil King sebagai antisipasi setelah dia

pensiun sebagai pebulu tangkis. Sejak awal, bapak tiga anak tersebut ogah menuntut kesejahteraan pemain di akhir karir.

Dia menyadari bahwa pendidikannya yang hanya sampai sekolah menengah atas dan bekal keterampilan dari bulu tangkis tidak cukup untuk mencari uang kelak. Apalagi, King merasa tidak memiliki kepiawaian sebagai pelatih.

"Atletlah yang harus mempersiapkan masa depannya sendiri. Jangan menyalahkan situasi PBSI atau pemerintah," tegas suami Lucia Alamsyah itu. Pesan singkat yang amat penting bagi semua pihak. (femi diah/diq)

BIODATA:

Nama: Liem Swie King

Lahir: Kudus, 28 Februari 1956

Isteri: Lucia Alamsyah

Anak:

- Alexander King, 25

- Stephanie King, 23

- Michelle King, 13

Prestasi:

- Juara All England 1978, 1979, dan 1981

- Runner-up All England 1976, 1977

- Runner-up Kejuaraan Dunia 1980, 1983

- Peringkat III Kejuaraan Dunia 1985 (ganda pria)

- Juara Piala Thomas 1976, 1979, 1984 dari enam kali ikut serta

- Medali emas Asian Games di Bangkok 1978

- Juara Kejuaraan Nasional 1974, 1975

Penghargaan:

International Badminton Federation Badminton Hall of Fame in 2002

Tentang King:

- Hobi fotografi dan mengoleksi kamera.

- Senang menikmati kicauan burung di rumah.

- Penyuka masakan Indonesia seperti nasi liwet dan soto kudus.

- Penggemar Bruce Lee dan Andy Lau.

- Suka nongkrong di toko buku.

- Bacaan politik dan cerita silat jadi favorit.

- Penyuka warna biru.


Simpan Rapat Misteri All England 1976
Sumber: Jawapos, Kamis 16 Juli 2009

LAGA final All England di London pada 1976 cukup istimewa. Saat itu, partai puncak turnamen bulu tangkis tertua di dunia tersebut diisi wakil Merah Putih, Liem Swie King kontra Rudy Hartono.

Akhirnya, Rudy menang 15-7, 15-6. Kemenangan itu menjadikan Rudy sebagai pemain pertama di dunia yang mencetak gelar juara terbanyak di sana. Yakni, delapan gelar.

Namun, kekalahan King tersebut masih menjadi misteri bagi banyak kalangan bulu tangkis. Maklum, waktu itu, performa King justru lebih bagus daripada Rudy. Misteri kekalahan Liem Swie King pada All England 33 tahun silam tersebut kembali mengemuka dalam peluncuran dan diskusi buku Panggil Aku King. Benarkah King diminta mengalah?

Pemilik PB Djarum Robert Budi Hartono menyatakan kecewa dengan cara King bertanding melawan Rudy Hartono pada saat itu. "Aku melatihmu susah-susah, kok kamu dengan mudahnya memberikan kemenangan. Kalau saja saya berada di London waktu itu, saya akan berkata kepada King bahwa dia harus bermain habis-habisan melawan Rudy Hartono. Saya baca hasil di surat kabar. Saya pikir, King jelas mengalah," paparnya.

Mantan pemain bulu tangkis Tan Joe Hok menuturkan, mantan petinggi PB PBSI Suharso Suhandinata pernah bercerita kepada dirinya bahwa sebelum pertandingan, Suharso memanggil King. Keduanya terlibat pembicaraan empat mata.

Suharso meminta King merelakan Rudy menjadi juara All England untuk kedelapan kalinya demi Merah Putih. Pertandingan final All England 1976 tersebut berlangsung relatif singkat. King tidak menunjukan dirinya sebagai juara sejati. Bahkan, yang terlihat, King masuk ke lapangan dengan lesu dan tanpa gairah.

Namun, King tak mau menjawab dengan tegas persoalan itu. Dia hanya mengaku sangat menyesal karena tidak bisa menjadi juara All England 1976. "No comment saja. Yang penting, saya menang atas pebulu tangkis lain pada uji coba menjelang Piala Thomas," katanya. (vem/diq)

Relakan Raket Istimewa

Sumber: Jawapos, Kamis 16 Juli 2009

SMES King begitu melegenda sampai sekarang. Smes tersebut begitu ditakuti lawan. Smes itu pula yang sampai kini menjadi kajian para pelatih dan ilmuwan olahraga.

Tak hanya berbekal latihan disiplin yang dilakoni setiap hari, King memiliki tip khusus untuk menambah power gebukan raketnya. "Rahasianya berada pada raket itu sendiri. Saya memakai Carbonex yang sudah tidak beredar lagi sekarang. Saya meminta grip yang besar. Senarnya juga beda. Saya selalu memasang senar lebih kencang daripada yang normal," ungkapnya.

Selain itu, King selalu meminta produsen raket agar membuat kepala raket yang lebih berat daripada pegangannya. Raket tersebut kini sudah tidak ada. Smes King juga menjadi bagian dari legenda.

Karena itu, tak mengherankan jika King begitu menyayangi raket yang pernah digunakannya tersebut. Tapi, itu tak membuat King menutup diri saat rekannya sedang kesusahan.

Dia turut berpartisipasi menyumbangkan raket istimewa tersebut kepada keluarga pemain bulu tangkis lainnya, Indra Gunawan. Saat lelang, raket King masuk dalam jajaran raket yang paling banyak ditawar pihak luar. "Kalau untuk teman dan niatnya baik, tak perlu menyayangkannya. Saya masih memiliki yang lain," ujarnya. (vem/diq)


Tak Berbakat Main Film

sumber: Jawapos, 16 Juli 2009

TAMPANG menawan dan tubuh atletis tak kali ini saja menjadi modal seorang pria untuk jadi bintang film. Dulu, Liem Swie King muda juga memanfaatkan dua modal itu untuk terjun ke dunia film.

Bukan saat pensiun, tapi justru ketika dia masih aktif sebagai atlet. Kebetulan, King diskors tiga bulan karena terlambat saat diminta memperkuat tim Indonesia pada SEA Games 1979. Dia malah ditawari bermain dalam dua film. Yakni, Kau dan Aku Sayang serta Sakura dalam Pelukan.

Namun, King hanya memilih film yang disebut terakhir. Dia mendapatkan kesempatan mengolah akting bersama Eva Arnaz dengan sutradara Fritz G. Schadt. "Saya bermain film hanya untuk mencari pengalaman dan selingan. Lumayan menghilangkan jenuh," ujarnya.

Maklum, sejak 1973, King sudah mengayunkan raket pada Pekan Olahraga Nasional (PON). Tinggal di pelatnas juga tak mudah. Selain jauh dari keluarga, di sana juga miskin hiburan. Tidak ada televisi untuk meminimalisasi kejenuhan.

Menurut dia, kebosanan mulai muncul sejak penampilannya pada Piala Thomas Mei 1979. Selain itu, dia ingin mengikuti jejak Rudy Hartono yang lebih dalu menjajal karir di layar lebar. Rudy pernah main dalam film berjudul Matinya Seorang Bidadari bersama Poppy Darsono pada 1971.

Namun, setelah melakoni syuting pertama tersebut, King merasa tak memiliki bakat. Dia lebih enjoy bermain bulu tangkis, meski harus berlatih keras. "Di lapangan, saya bisa mengatur, mengendalikan, dan memutuskan apa pun sendiri. Tapi, kalau main film, banyak aturannya," katanya. (vem/diq)

Tidak ada komentar: