17 Juni 2009

Bryant Lepas dari Bayang-bayang

Kompas, 17 Juni 2009 Oleh J Waskita Utama

Sejak masuk draft NBA tahun 1996, predikat calon bintang sudah melekat pada diri seorang pemuda berusia 17 tahun bernama Kobe Bean Bryant. Setelah tiga belas tahun menanti, semua ekspektasi akan kebintangannya itu terwujud di Amway Arena, Orlando, Florida, Amerika Serikat, Minggu (14/6).

Bryant mengantar Los Angeles Lakers mengalahkan Orlando Magic 4-1, untuk merebut gelar juara ke-15 sepanjang sejarah klub itu. Sang pelatih, Phil Jackson, juga masuk buku rekor dengan merebut cincin juara ke-10. Bagi Bryant sendiri, ini gelar keempat, gelar yang mengukuhkan namanya sebagai seorang bintang NBA.

Bryant bergabung ke NBA pada paruh kedua dominasi mahabintang NBA, Michael Jordan. Bersama Chicago Bulls yang diasuh Jackson, Jordan enam kali menjuarai NBA pada tahun 1991-1993 dan 1996-1998.

Sepeninggal Jordan, NBA sibuk mencari bintang lain untuk mempertahankan popularitas liga yang mulai merosot. Bryant dan nama lain seperti Grant Hill, Vince Carter, Allen Iverson, dan Tracy McGrady digadang-gadang menjadi bintang baru. Akan tetapi, tidak ada yang benar-benar layak menjadi penerus sang legenda.

Hanya dua tahun setelah dominasi Bulls berakhir, Bryant sebenarnya sudah membawa Lakers menjadi juara NBA. Tak hanya sekali, tetapi tiga kali berturut-turut hingga tahun 2002. Namun, pebasket kelahiran Philadelphia ini tak bisa mengklaim keberhasilan itu sebagai sukses pribadi karena ada bintang lain bernama Shaquille O’Neal yang mendapat kredit lebih besar.

Peran center bertubuh raksasa ini dinilai lebih menonjol bagi Lakers. O’Neal pula yang dinobatkan sebagai pemain terbaik (most valuable player/MVP) final NBA tiga kali berturut-turut, dalam setiap kesuksesan Lakers tersebut.

Meski rekan setim, O’Neal dan Bryant tidak bisa dibilang berteman dekat. Rivalitas keduanya semakin menonjol dan berpuncak pada kegagalan Lakers di tangan Detroit Pistons pada final NBA tahun 2004. Jackson pun mundur dari kursi pelatih dan O’Neal hengkang ke Miami Heat.
O’Neal menuduh kepergian mereka itu karena manajemen Lakers berusaha memuaskan keinginan Bryant.

Reputasi Bryant juga tercemar karena tuduhan pelecehan seksual terhadap seorang pegawai hotel pada musim panas 2003. Namun, kasus tersebut dihentikan setahun kemudian karena korban menolak bersaksi di pengadilan. Bryant kemudian meminta maaf secara terbuka, dan kedua pihak lalu sepakat menyelesaikan kasus itu secara tertutup.
Berdamai

Jackson kembali ke Lakers pada tahun 2005. Dia berdamai dengan Bryant untuk membangun kembali kekuatan Lakers. Kehadiran pemain Spanyol, Pau Gasol, pada awal tahun 2008 membangun harapan Bryant. Kesempatan pertama langsung datang pada akhir musim itu juga.

Bryant mengantar Lakers ke final NBA menghadapi Boston Celtics setelah sebelumnya meraih gelar MVP reguler untuk pertama kali. Namun, Bryant ternyata belum berhasil melepaskan diri dari bayang-bayang O’Neal karena Lakers ditundukkan musuh bebuyutannya ini, Celtics.
Kekalahan menyakitkan itu memompa semangatnya. Sepanjang musim ini, penampilannya semakin matang dan dia tak lagi egois. Bryant lebih kerap memberikan peluang bagi rekan setimnya untuk mencetak angka.

Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu tiba. Lakers lolos ke final menghadapi Magic. Rekan-rekan Bryant membalas kepercayaan sang bintang dengan memberi kontribusi penting sepanjang seri final. Hanya perlu lima game, Lakers pun menghentikan Magic dan Bryant dinobatkan sebagai pemain terbaik final.

Jackson yang saat berseteru dengan Bryant sempat mengecap dia sebagai pemain egois kemudian bisa melihat anak asuhnya ini semakin matang pada usia 30 tahun.

”Dia belajar menjadi pemimpin yang dihormati rekan-rekannya. Hal itu sangat penting karena dia belajar untuk membalas dukungan mereka. Dia kini lebih banyak memberi, bukannya seorang pemimpin yang banyak menuntut. Hal ini baik untuk dia dan menarik untuk ditonton,” puji Jackson terhadap Bryant.

Bryant menyamai rekor O’Neal dan Tim Duncan. Dia meraih empat cincin juara NBA dan menjadi pemain tersukses setelah era Michael Jordan. Namun, hal yang lebih penting adalah dia kini terbebas dari bayang-bayang O’Neal. Bryant membuktikan diri bisa menjadi juara NBA tanpa O’Neal, komentar yang kerap didengarnya selama tujuh tahun ini.

”Hal itu konyol dan sangat mengganggu. Seperti menyiksa orang dengan air yang menetes terus-menerus di kepala. Namun, itu menjadi tantangan yang harus dihadapi karena saya tidak bisa membantahnya. Anda bisa terus mencari pembenaran sampai pingsan, tetapi tak akan ada yang percaya sampai Anda membuktikan bahwa hal itu keliru. Kami sudah menjawab tantangan itu,” ujar Bryant.

O’Neal pun tak ragu mengucapkan selamat pada kesuksesan Bryant. ”Selamat, Kobe, kamu layak mendapatkannya. Kamu bermain sangat baik. Nikmatilah itu, teman, nikmatilah,” tulis O’Neal di situs Twitter-nya.

Dalam lima pertandingan final, Bryant mengoleksi rata-rata 32,4 angka, 7,4 assist, dan 5,6 rebound. Selama play off, jarang terlihat dirinya tersenyum. Dia terlihat sangat berdedikasi untuk menyelesaikan tantangan ini.

”Saya sangat fokus dengan laga ini. Untuk sesaat rasanya seperti kehilangan kesadaran. Namun sekarang saya sangat gembira, seperti anak kecil yang masuk toko permen,” ujarnya.
Bryant mewarisi bakat basket dari ayahnya, Joe ”Jellybean” Bryant, mantan pemain Philadelphian 76ers dan pelatih LA Sparks. Masa kecilnya banyak dihabiskan di Eropa mengikuti karier sang ayah yang bermain di Italia. Tak heran, Bryant fasih berbahasa Italia dan Spanyol, serta berteman dekat dengan Gasol.

Nama Bryant mulai dikenal di AS lewat prestasinya selama bersekolah di Lower Merion High School. Pada tahun ketiganya, dia membawa Lower Merion Aces menjadi juara negara bagian. Dengan nilai SAT 1.080, Bryant dijamin mendapat tawaran beasiswa basket ke banyak perguruan tinggi. Namun, dia memutuskan langsung menuju NBA dalam usia 17 tahun.
Tiga belas tahun kemudian, Bryant membuktikan keputusannya itu tidak keliru.

Tidak ada komentar: