20 Juni 2009

Kemakmuran yang Merepotkan Kebijakan ''Satu Anak Cukup'' di Tiongkok (1)

Terbang ke Hongkong demi Lahirkan Anak Kedua
Jawapos, Sabtu 20 Juni 2009

Kebijakan satu anak cukup yang sukses mengendalikan jumlah penduduk Tiongkok kali pertama diterapkan saat sebagian besar warganya masih miskin. Namun, bagi orang kaya baru yang terus tumbuh di negeri itu, ada beberapa cara untuk menyiasati pembatasan itu. Laporan ROHMAN BUDIJANTO yang baru pulang dari Guangzhou.

---

GENERASI anak tunggal di Tiongkok boleh berharap agar anak mereka tak lagi ''bercakap-cakap sendiri''. Bila mereka kawin dengan anak tunggal juga, mereka boleh punya anak dua. ''Putra saya satu. Saya pengin satu lagi, anak putri,'' kata Kaifeng Kang.

Karyawan perusahaan besar itu lahir di awal kebijakan ''satu anak cukup'' (one child policy) diterapkan di Tiongkok. Kebijakan keluarga berencana itu dilaksanakan secara ketat sejak akhir 1970-an dan kini hasilnya adalah generasi anak tunggal yang beranjak dewasa.

Meski semasa kecil kesepian dan bermain sendiri, serta bercakap-cakap sendiri di rumah karena tak punya adik, kini mereka bisa memetik hasil kebijakan tersebut. Anak-anak tunggal itu mendapatkan pendidikan dan kesejahteraan yang baik.

Kaifeng Kang menjawab pertanyaan di sela-sela memandu delegasi wartawan Indonesia yang diundang pemerintah Tiongkok. Selain Kang, yang memandu di berbagai acara di Beijing, Chongqing, Guangzhou, dan Shenzhen selama 10 hari hingga kemarin itu kebanyakan anak-anak tunggal. Mereka mendapatkan pendidikan yang tuntas karena yang dipikirkan masa depannya oleh orang tua cuma dirinya seorang.

Zhang Jun dan Yu Dan, anak muda pemandu dari Departemen Informasi, tumbuh dengan nyaman. Zhang bahkan sempat disekolahkan ke Amerika Serikat oleh pemerintah. ''Saya selesai kuliah di Universitas Beijing jurusan studi internasional,'' kata Zhang.

Begitu pula, Kang dan Zheng Yong. Dua anak muda dari Guangzhou itu punya orang tua guru. Gaji sebagai guru cukup untuk menyekolahkan keduanya hingga universitas. Zheng mengatakan, ayahnya sebagai guru SD digaji Rp 8 juta per bulan. Zheng Yong lulus dari Beijing Foreign Studies University jurusan sastra Indonesia. Sosok yang pernah menjadi staf Konjen Tiongkok di Indonesia itu bekerja di perusahaan telekomunikasi Huawei.

Seorang bapak asal Indonesia ingat betapa kesepiannya anaknya semasa kecil. ''Saya kasihan, dia suka bicara sendiri," katanya tentang putrinya yang pernah sekolah di UGM dan sudah bekerja. Putrinya yang kelahiran 1984 itu akan boleh punya anak dua. Tapi, dia harus menikah dengan anak tunggal juga. Kalau bersuami yang punya saudara, mereka hanya boleh punya anak satu.

Pemerintah tak keberatan pasutri dari anak tunggal boleh punya anak dua agar jumlah penduduk tak merosot. Ada kekhawatiran juga Tiongkok yang kini berpenduduk 1,3 miliar akan dihuni para orang tua yang makin panjang umur karena kemakmuran.

Tapi, banyak juga anak muda yang punya saudara kandung. Kristyn Hwang mengaku punya saudara. ''Sebab, saya lahir di desa. Di desa, kebijakan lebih longgar,'' kata pemandu di Guangzhou kemarin. Kristyn punya kakak lelaki.

Mengapa penduduk desa diberi kelonggaran, karena mereka harus punya anak laki-laki untuk mengerjakan sawah. Begitu pula nelayan. Pemerintah juga melonggarkan untuk etnis minoritas dan pasangan yang masing-masing anak tunggal. Jadi, kini Zhang, Yu, Kang, dan Zheng Yong boleh punya anak dua.

Kemakmuran itu terkadang juga ''merongrong'' kebijakan satu anak cukup di Tiongkok. Orang-orang kaya kini mudah saja melahirkan anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Mereka tinggal terbang ke Hongkong, atau ke luar negeri.

Dengan akta kelahiran dari sana, orang-orang kaya itu terhindar dari kewajiban mematuhi kebijakan tersebut. Selama 2001-2008, tercatat 78 ribu bayi dari orang tua Tiongkok lahir di Hongkong. Meski menjadi bagian dari Tiongkok, Hongkong memiliki aturan tersendiri sebagai penerapan kebijakan satu negara dua sistem.

Kalaupun mereka harus bayar, tentu bagi orang kaya itu enteng. Denda itu bisa sebesar 200 ribu yuan atau sekitar Rp 300 juta. Uang itu digunakan untuk membiayai jaminan sosial dan sekolah si anak kedua. Si kaya pun tak keberatan membayar biaya bersalin di rumah sakit Hongkong hingga 80 ribu yuan atau sekitar Rp 120 juta. (bersambung)

Tidak ada komentar: