19 Juni 2009

Phil Jackson, Pelatih Sepuluh Cincin

Kompas, Kamis 18 Juni 2009 Oleh Gatot Widakdo

Sukses Los Angeles Lakers merebut gelar juara NBA, Minggu (14/6), tidak lepas dari peran pelatihnya, Philip Douglas Jackson. Pria berusia 63 tahun ini juga mencatatkan namanya dalam buku sejarah NBA sebagai pelatih yang meraih sepuluh gelar juara.

Bukan kebetulan kalau Phil Jackson bisa membawa Lakers menjadi juara untuk ke-15 kalinya. Sebelumnya, pelatih yang juga dijuluki dengan nama ”Zen Master” karena keahlian strateginya ini pernah tiga kali memberi gelar buat Lakers dan Chicago Bulls sebanyak enam kali.

Dengan 10 cincin juara, Jackson melewati rekor sembilan titel juara yang dia pegang bersama Red Auerbach, sang pelatih legendaris. Auerbach meraup kesembilan gelarnya itu bersama Boston Celtics.

Seusai meraih cincin kesepuluh, Jackson mengatakan, sebenarnya tidak pernah ada rencana untuk menyamai apalagi melewati rekor Auerbach. Saat era Michael Jordan di Chicago Bulls berakhir tahun 1998, Jackson sempat menyatakan pensiun dan tidak mau melatih lagi.

Akan tetapi, tak lama kemudian Jackson berubah pikiran dan dia menerima pinangan Lakers. Dengan mengandalkan Kobe Bryant dan Shaquille O’Neal, Jackson kemudian tiga kali mengantar Lakers menjadi juara NBA tahun 2000-2002.

Tahun 2004 Jackson sempat meninggalkan Lakers, tetapi kembali lagi setahun kemudian. Setelah tujuh tahun tanpa gelar, Jackson akhirnya berhasil membawa Lakers kembali ke takhta tertingginya pada tahun ini.

Di mata para pemain, Jackson merupakan sosok pelatih yang karismatik. Dia juga selalu berprinsip ingin membantu setiap orang untuk menjadi manusia yang lebih baik. Pemain legendaris Chicago Bulls, Michael Jordan, menilai Jackson sebagai sosok seorang guru, pelatih, teman, sekaligus konselor.

Di mata Jordan, Jackson selalu ”terlihat” dan siap sedia. Dia memerhatikan kesejahteraan dan tidak melebih-lebihkan kesalahan para pemain. Jika pemain berbuat kesalahan dan semua orang tahu pemain tersebut berbuat kesalahan, itu bukanlah kritik pribadi. Jackson menyeimbangkan antara kritik dan pujian.

Menurut Jordan, Jackson menyebut caranya melatih itu sebagai kepemimpinan yang simpatik. Dia memperlakukan orang lain dengan rasa hormat dan memberi perhatian yang sama kepada orang lain seperti memperlakukan diri sendiri.

”Saya belajar banyak dari Jackson dan dia merupakan salah satu faktor dari rahasia kesuksesan saya,” ujar Jordan.

Selain simpatik, Jackson juga punya rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan diri itu membuat dia disegani pemain. Shaquille O’Neal, mantan bintang Lakers, juga memuji kepemimpinan Jackson.

”Setiap Phil memberi instruksi, kami memerhatikannya baik-baik. Dulu, kami suka ngobrol sendiri setiap kali pelatih memberi instruksi,” kata Shaq memuji Jackson.

Soal percaya diri itu, Jackson mengatakan, jika ingin sukses seorang pelatih, memang harus punya rasa percaya diri. Percaya diri yang dia maksud adalah percaya pada keberhasilan rencana yang telah dibuat dan percaya kepada pemain yang diturunkan di lapangan.

”Keberhasilan dalam NBA bukan masalah pada apa yang akan kamu buat, melainkan pada bagaimana kamu melaksanakan itu,” kata Jackson.

Sempat frustrasi

Meski sudah bergelimang kesuksesan, perjalanan karier Jackson di dunia basket sesungguhnya tidak mulus dan sangat berliku. Sebagai mantan pemain NBA di New York Knicks pada 1967-1978 dan di New Jersey Nets selama 1978-1980, tahun 1980 Jackson memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Montana.

Itu dia lakukan setelah merasa tidak punya masa depan lagi di dunia basket. Di Montana, dia menjalankan bisnis pusat kebugaran milik keluarganya.

Namun, dunia basket tetap tidak bisa hilang dari kehidupannya. Jackson kemudian mencoba peruntungan dengan menjadi pelatih Chicago Bulls. Ketika itu, akhir tahun 1986, klub Chicago Bulls sedang mencari pelatih pendamping untuk Doug Collins. Seorang makelar menawarkan Phil Jackson kepada manajer Bulls, Jerry Krause.

Jadilah Phil Jackson mulai mengukir namanya di kancah NBA. Setelah itu, kisah sukses Chicago Bulls dengan Phil Jackson di belakangnya sudah menjadi legenda sampai sekarang.

Setelah memberi gelar keenam untuk Bulls, Jackson memilih beristirahat sebelum hengkang dan berlabuh di Los Angeles Lakers. Tugas Jackson di Lakers tidak mudah. Dia dihadapkan pada tantangan besar untuk memberi gelar buat tim yang bertabur bintang tetapi tidak pernah menjadi juara ini.

Sebagai langkah awal, Jackson mulai membenahi masalah psikologi pemain.

”Sekitar 60 persen pemain NBA adalah sosok berkulit hitam dengan latar belakang yang khas. Setelah menjadi pemain NBA, mereka mengalami kehidupan yang sama sekali berbeda dengan latar belakang mereka. Saya harus membawa mereka untuk bisa terus berkembang,” katanya.

Jackson pun membangun Lakers dengan sedikit mengadopsi strategi yang selalu dia terapkan ketika melatih Bulls, yakni ”triangle offence”. Peran Jordan dilakukan Shaquille O’Neal, peran Scottie Pippen dijalankan Kobe Bryant. Adapun peran pemain ketiga tidak terlalu signifikan di Lakers, tetapi sering diperankan Ron Harper, mantan pemain Bulls.

Tak butuh waktu lama, Jackson langsung sukses pada musim pertamanya bersama Lakers yang kemudian dipertahankan pada dua musim selanjutnya. Episode selanjutnya menjadi masa pasang surut buat Jackson. Setelah gagal pada final musim 2003-2004, Jackson kembali memutuskan untuk istirahat.

Setahun tanpa aktivitas, Jackson lalu memutuskan kembali ke Lakers. Namun, dia harus memulai dari bawah. Musim 2005-2006 dan 2006-2007 kinerja Jackson masih belum memuaskan karena timnya selalu tersisih di babak pertama play-off.

Akhir musim 2007, Jackson membuat langkah mengejutkan dengan merekrut Trevor Ariza dari Orlando Magic. Keputusannya ini mengejutkan karena Jackson berani menukarnya dengan Brian Cook dan Maurice Evans ke Orlando.

Awalnya, para pemain Lakers sempat terkejut dengan keputusan sang pelatih. Namun, keputusannya itu ternyata benar. Ariza berhasil menjadi pelapis buat Bryant dan Pau Gasol dalam menyerang dan juga bertahan.

Praktis, keputusan dia membuang small forward muda itu disesali pelatih Magic, Stan Van Gundy. Sementara Jackson mengisap cerutu kemenangan, mengenang tradisi yang dilakukan Red Auerbach ketika meraih juara.

Di NBA, seorang pelatih yang dinobatkan sebagai Pelatih Terbaik akan memperoleh Red Auerbach Trophy. Barangkali, suatu saat trofi itu harus diganti namanya menjadi Phil Jackson Trophy.

Tidak ada komentar: