29 September 2009

Rodrigo Roa Walikota Nyentrik 3


Rodrigo Roa ”Django” Duterte, Wali Kota Nyentrik dari Davao (3-Habis)
Laporan : Kardono S. Davao, Filipina

Bikin Killing Field Damai, Menang Pilwali Enam Kali

Sumber: Jawapos, Selasa 29 September 2009

Davao pernah mempunyai julukan seram: The Killing Field. Selama masa itu sering terjadi gesekan antara polisi dan tentara Filipina versus pemberontak komunis dan Moro. Selain itu, kota tersebut menjadi tempat yang nyaman (safe heaven) bagi kelompok kriminal.

---

DAVAO adalah kota yang pernah mengalami semua jenis kekerasan. Pengeboman, pembunuhan, perang antargeng, dan perang tentara dengan kelompok separatis. Tapi, itu sebelum 1991. ''Totally mess (benar-benar kacau),'' kata Attorney Melchor Y. Quintain, sekretaris kota (Sekkota) Davao, kepada Jawa Pos.

Menurut Quintain, saat itu kotanya "terbelah" menjadi pusat dua kelompok separatis. Davao Utara dikuasai milisi pimpinan Commander Parago, seorang jenderal perang dari NPA (New People's Army, kelompok militan komunis). Sementara sisi selatan menjadi basis kelompok pemberontak muslim Moro National Liberation Front (MNLF).

Maka, bisa dipahami jika Davao menjadi episentrum konflik di Pulau Mindanao. Tembak-menembak sering terjadi ketika polisi dan tentara masuk dan berusaha mengambil kontrol. ''Seperti laboratorium perang mini. Konflik bersenjata hampir tiap hari terjadi. Pengeboman berkali-kali terjadi,'' tutur Quintain.

Kondisi yang kacau juga menjadi "berkah" bagi para penjahat kelas kakap. Bahkan, sejumlah kriminal yang beraksi di Manila maupun Cebu (kota terbesar kedua di Filipina), selalu kabur ke Davao. Mareka aman karena boleh dibilang polisi dan tentara tak mempunyai jangkauan untuk masuk ke kota Davao.

''(Saat itu) kami tak bisa membangun apa-apa. Tiap hari hanya terdengar tembakan, orang tewas, tembakan, orang tewas. Kami tak bisa membangun,'' ujar Quintain.

Begitu angkernya kondisi Davao sehingga kawasan bisnis paling ramai saat itu (hingga sekarang), Magsasay Avenue, sudah senyap saat waktu magrib lengser. Kegiatan bisnis langsung berhenti. ''Warga tak ada yang berani keluar (rumah) lebih dari pukul 19.00. Urusan bisa gawat. Kalau tidak kena peluru nyasar, bisa kena rampok. Serbasalah,'' katanya.

Tak ada turis yang berani datang. ''Yang datang hanyalah orang-orang yang berkepentingan,'' imbuhnya.

Namun, segalanya berubah ketika Rodrigo Roa Duterte terpilih menjadi wali kota Davao pada 1988. Saat itu usianya 43 tahun. Dia memenagi pilwali tiga kali berturut-turut pada 1988, 1992, dan 1995. Karena aturan pemerintah Filipina (setelah tiga kali tak boleh lagi menjabat), pada 1998 Duterte menjadi anggota kongres di Manila hingga 2001. Dia kemudian maju dan memenangi pilwali lagi pada 2001, 2004, dan 2007.

Lewat tangan besi Duterte-lah Davao berubah drastis. Pendekatan yang dilakukan pria yang dijuluki majalah Times pada 2002 sebagai The Punisher tersebut memang berbeda. Alih-alih memerangi, Duterte merangkul kedua kelompok revolusioner (NPA dan MNLF). Bahkan, dia berani mendatangi "sarang" Commander Parago, mempertanyakan aktivitas yang mengganggu ketenteraman warga kota.

''Masalahnya ya ekonomi. Saya bilang ke mereka, saya tidak ada urusan dengan ideologi dan saya menghormatinya. Namun, saya meminta mereka membantu keamanan. Saya rekrut mereka sebagai keamanan,'' ungkap Duterte.

Begitu pula MNLF. Duterte lalu menjadikan Nur Misuari (chairman MNLF) sebagai sahabat. Semua kebutuhan dicukupi dengan satu syarat, Nur Misuari dan anak buahnya mau menjaga keamanan dan tak beraksi di Davao.

Untuk lebih mengambil hati mereka, Duterte membuat langkah kontroversial. Dia menjamin keamanan pentolan NPA dan MNLF dari penangkapan. ''Sepanjang mereka (NPA dan MNLF) tidak melakukan aksi kekerasan, semuanya aman di sini, malah akan saya fasilitasi,'' tuturnya.

Janji Duterte bukan sekadar isapan jempol. Pada 1990-an, ketika Nur Misuari tak puas dengan pemerintah Filipina dan mengobarkan pemberontakan bersenjata di Jolo, dia menjadi buron yang dicari penguasa di Manila. Anehnya, Duterte malah menyediakan rumah "persembunyian" untuk Nur Misuari di Davao. Tindakan ini bisa dianalogikan sama kontroversialnya dengan seorang wali kota di Indonesia menyediakan rumah dan safe house untuk pimpinan OPM.

Namun, Duterte tak ambil pusing. Dia pun menjadi pemrakarsa perundingan damai Misuari dengan pemerintah Filipina. Selama di Davao, Duterte menjamin keselamatan Misuari. Bahkan, ketika perundingan berlangsung, dia mengeluarkan aturan tegas: tidak boleh ada senjata yang masuk ke Davao. Tentara dan milisi MNLF pun harus menaatinya tanpa ke­cuali. ''Kalau mau perang, perang saja di hutan-hutan. Kalau di kota, harus berunding,'' tuturnya.

Di sisi lain, tentara dan polisi juga menghormatinya. Sebab, beberapa kali perwira tentara maupun polisi, termasuk seorang jenderal bintang satu, diculik NPA, Duterte-lah yang membebaskannya. Maka, pada 1991, boleh dibilang pria yang sebelumnya seorang prosecutor (jaksa penuntut umum) telah memegang dua kelompok bersenjata dengan baik. Merasa dicukupi kebutuhannya, bahkan dicarikan pekerjaan, kelompok-kelompok revolusioner itu pun "patuh". Secara tak langsung, Duterte sukses melakukan deradikalisasi kelompok militan. Sesuatu yang masih sangat sulit dilakukan di Indonesia.

Selanjutnya, Duterte tinggal menangani bandit dan kriminal jalanan. Ini tak terlampau sulit. Dia mempunyai banyak sumber melimpah ruah untuk melakukan "pembersihan" tersebut. Yakni, orang-orang dari NPA dan MNLF yang bisa dipekerjakan. Tentu saja dengan diam-diam. Sebab, sampai saat ini Duterte tetap tak mau dikaitkan dengan upaya "pembersihan" tersebut.

Selain melakukan pembersihan, Duterte menegakkan hukum secara ketat. Yang terbaru, Davao mengeluarkan regulasi lalu lintas. Untuk keamanan, seorang pengendara sepeda motor harus memakai helm full face dan sepatu. Sepeda motor juga tak boleh dimodifikasi macam-macam yang membahayakan. Seorang staf KJRI di Davao pernah terkena tilang gara-gara tak mengenakan sepatu saat mengendarai sepeda motor. Dia pun harus membayar denda 500 peso (sekitar Rp 100 ribu).

Penegakan yang dilakukan Duterte mendapat respons masyarakat. Dari yang semula chaotic, masyarakat Davao kini adalah masyarakat yang tertib. Bar dan tempat dugem pun sampai harus membuat ruang khusus merokok, karena memang dilarang merokok di dalam gedung dan ruang publik. Juga, seseorang tak bisa membuka pintu taksi dari samping kiri (Filipina menggunakan jalur kanan), karena itu sudah merupakan aturan -yang didasarkan logika memang berbahaya membuka pintu dari samping kiri pada lajur kanan.

Hasilnya adalah sebuah ledakan ekonomi di Davao. Kota yang kini berani mengklaim sebagai kota "teraman di Asia Tenggara" tersebut pun semakin makmur.

Kalau pada 1991 hanya ada satu mal, kini Davao memiliki enam mal besar-besar di penjuru kota. Dua mal lagi segera menyusul diresmikan. Selain itu, ada 40 universitas di Davao yang siap memasok SDM terdidik untuk menggerakkan laju ekonomi.

Namun, di atas semua itu, yang paling penting kota ini mampu membuat banyak turis mancanegara datang. Sepanjang 2008, setiap bulan tercatat sekitar 4.000 turis datang ke Davao. "Seperempat di antaranya warga Korea," kata kepala Dinas Pariwisata Davao.

Selain dari devisa yang dihasilkan oleh 200 ribu buruh migran Filipina asal Davao di berbagai negara, ekspor buah serta ikan, para turis mancanegara inilah yang membuat ekonomi Davao semakin maju pesat. Ini semua berkat dua kata kunci Duterte dalam menjalankan pemerintahannya: Peace and Order. Damai dan Tertib. (el)



Tidak ada komentar: