16 April 2009

Vaksinasi Cegah Hepatitis

sumber: Kompas

Pengendalian Harus Berbasis Riset
Kamis, 16 April 2009 | 03:34 WIB

Jakarta, Kompas - Tingginya angka kasus hepatitis menjadi beban kesehatan masyarakat, terutama bila sudah kronis dan mengakibatkan kanker hati. Padahal, penularan virus itu bisa dikendalikan dengan vaksinasi dan deteksi secara dini disertai pengembangan riset penyakit itu.

Peneliti senior hepatitis Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, David Handojo Muljono, Rabu (15/4) di Jakarta, menyatakan, sebagai daerah endemi penanganan hepatitis di Indonesia harus terkoordinasi dengan baik. Hal ini terkait pendataan, penelitian klinik, dan pengobatan.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Unggul Budihusodo menyatakan, pencegahan hepatitis bisa dilakukan dengan menghindari cara hidup berisiko tertular hepatitis. Caranya antara lain tidak menggunakan narkoba suntik, tidak berhubungan intim tanpa pengaman dengan pasangan terinfeksi hepatitis, tidak menindik dan menato tubuh dengan alat tidak steril.

Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Departemen Kesehatan Ali Sulaiman menambahkan, penularan virus hepatitis bisa dicegah dengan pemberian vaksin hepatitis. Saat ini sudah ada vaksin hepatitis A dan B, tetapi hepatitis C belum ada vaksinnya. Vaksinasi hepatitis B amat diperlukan mengingat jenis hepatitis ini kronis dan berbahaya bagi keselamatan jiwa penderita.

”Upaya preventif itu sangat murah tetapi bisa mencegah kejadian fatal yang sangat memberatkan pasien, keluarga, dan pemerintah,” kata Ali. Bila menderita hepatitis B, apalagi terjadi sirosis dan kanker hati, biaya pengobatan amat besar.

”Vaksin hepatitis B aman diberikan kepada bayi,” ujarnya. Bila sudah diberi vaksin sesuai dengan jadwal imunisasi yang direkomendasikan Ikatan Dokter Anak Indonesia, tubuh bayi akan membentuk kekebalan tubuh terhadap virus hepatitis B.

Imunisasi hepatitis B bisa mencegah penularan virus itu sejak usia dini. ”Makin dini usia seseorang terkena hepatitis B, kemungkinan penderita mengalami sirosis dan kanker hati saat dewasa kian besar,” kata Ali.

Di banyak negara, vaksin itu terbukti efektif dalam menurunkan angka kasus hepatitis B. Di Taiwan, misalnya, vaksinasi itu telah dilakukan sejak tahun 1984. Hasil evaluasi 10 tahun kemudian menunjukkan, angka kasus penyakit itu menurun drastis dan mencegah kanker hati.

Hasil studi di Indonesia juga menunjukkan, prevalensi hepatitis B di lokasi penelitian menurun drastis dari 7,6 persen menjadi hanya 1,6 persen. ”Ini juga berarti kita sudah memutuskan mata rantai terjadinya infeksi hepatitis B,” ujarnya.

”Yang memprihatinkan bila penularan terjadi pada bayi baru lahir dari ibunya. Penularan itu sulit dicegah dengan vaksinasi,” kata Ali menambahkan.

Pemberian vaksin hepatitis B juga diperlukan bagi penderita hepatitis A dan C untuk mencegah infeksi ganda karena infeksi ganda hepatitis lebih buruk gejalanya dan mempercepat terjadi sirosis hati daripada menderita satu jenis hepatitis.

Sejauh ini vaksin hepatitis B telah masuk dalam program nasional imunisasi dasar rutin. Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Tjandra Yoga Aditama, hepatitis kini dimasukkan dalam program infeksi saluran pencernaan lain tetapi masih terbatas program nasionalnya.

Berbasis riset



David menyatakan, sebagai daerah endemik hepatitis, penanganan penyakit itu harus berbasis riset. Apalagi di Indonesia ada lebih dari 500 etnik dengan sifat imunologi atau respons kekebalan tubuh berbeda-beda.

Karena virus hepatitis B bisa bermutasi, penelitian berkala tentang karakteristik virus harus dilakukan. ”Riset itu juga untuk mengetahui pola resistensi virus terhadap obat-obatan,” ujarnya.

”Pendataan hepatitis juga harus dikoordinasi dengan baik agar tidak tumpang tindih dan lebih efisien,” kata David. Selain itu, jejaring peneliti hepatitis perlu diperkuat untuk saling tukar informasi dan mewujudkan kemandirian riset hepatitis. (EVY)

Tidak ada komentar: